Suasana kunjungan wisatawan ke DTW Jatiluwih. (BP/bit)

Kini Pemprov Bali sedang membuat rancangan pergub soal tata kelola pariwisata. Alasannya logis, semua komponen pariwisata harus bersinergi membuat produk pariwisata yang baik, pelayanan terbaik dengan syarat ujung-ujungnya menguntungkan masyarakat Bali.

Jangan seperti sekarang semua dibuat sesuai dengan kepentingan kelompok tertentu. Lalu masyarakat Bali mau dapat apa dari sektor ini?

Jawabnya adalah bagaimana Bali mengelola pariwisata yang berkualitas. Bicara soal kualitas dan kuantitas wisatawan yang diinginkan Bali, jawabnya jelas keduanya. Jumlah wisman ke Bali terus meningkat, juga mestinya berimplikasi pada meningkatnya pertumbuhan ekonomi Bali.

Jangan hanya mengejar target kunjungan wisman 2 juta per tahun, namun tidak membawa dampak positif peningkatan ekonomi masyarakat Bali. Buktinya dengan program bebas visa ke Bali, membuat sektor pariwisata Bali terguncang.

Baca juga:  Mengedukasi Warga Patuh Bayar Pajak

Mereka yang datang adalah wisman pengangguran yang di negara asalnya sudah kekurangan. Padahal secara teori jumlah wisman ke  suatu destinasi di daerah, resort, kawasan, atau objek meningkat jika daerah ini mampu mengembangkan diri dan menjalankan Sapta Pesona yang terdiri dari aman, tertib, bersih, sejuk, indah dan ramah.

Namun di Bali Sapta Pesona belumlah cukup. Bali memiliki taksu tersendiri dengan napas kehidupan masyarakatnya yang riligius mayoritas beragama Hindu lengkap dengan adat dan istiadatnya. Makanya sangat benar kalau mengandalkan objek wisata alam dan keunikan, banyak objek wisata negara lain yang lebih unggul. Namun Bali beserta budayanya yang menjadi subjek pariwisatanya memiliki taksu tersebut.

Jika sekarang muncul objek wisata baru, sah-sah saja. Sebab, secara ekonomis jika ingin mengelola pariwisata secara utuh, semua segmen harus mendatangkan duit. Kuncinya wisman harus berbelanja. Kasarnya, tidak ada yang gratis jika sudah berlabel menjadi wisatawan.

Baca juga:  Mempersiapkan Generasi Emas Bali

Hanya objek wisata baru ini tidak malahan merusak tatanan yang ada. Seperti grasa-grusu membuka objek wisata baru, namun belum didukung oleh fasilitas, sarana jalan dan kenyamanan pengunjung. Ini menjadi tantangan bagi masyarakat Bali, jangan tergesa-gesa berbuat sekalipun alasannya mendapat pemasukan bagi desa/warga.

Jika ingin jujur menganggap sektor pariwisata berbasis pertanian tak akan pernah merugikan Bali itu sendiri. Lihat saja harga cabai yang mencapai Rp100 ribu/kg, selain bernilai ekonomis pariwisata berbasis pertanian sangat universal.

Petani untung, wisatawan juga dimanjakan dengan atraksi pertanian petani Bali yang konvensional. Lagi pula, sektor ini mengoptimalkan lahan tanpa mengorbankan lahan pertanian. Jadilah ekosistem Bali yang lestari.

Baca juga:  Kasus Temuan Jasad Dikubur di Kebun, Kuatnya Dugaan Dibunuh Karena Ini

Hal ini bisa kita lihat di Jepang. Mereka sengaja membuat jalan layang di atas lahan pertanian warganya, alias tak mau menjadikan tanah pertanian untuk jalan. Kita berbanding terbalik, jalan baru mencaplok lahan pertanian. Sebab, secara teori dikatakan pertumbuhan pariwisata yang melambat bisa disebabkan terjadinya kerusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Terjadinya pertumbuhan jumlah wisatawan yang menurun bisa juga disebabkan karena mulai terjadi kejenuhan pasar wisata sebagai akibat ketidakpuasan wisatawan terhadap pelayanan dan kualitas daya tarik wisata. Yang paling bahaya, mulai terjadinya kerusakan pada daya tarik wisata. Makanya upaya pembinaan pariwisata sangat diperlukan. Bali jangan sampai demikian.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *