Ngusaba kalima di Pura Penataran Kebon Agung, dengan dangsil Banjar tumpang 11. (BP/dok)

Oleh: GPB Suka Arjawa 

Beberapa waktu lalu, di Jawa Tengah dihebohkan dengan adanya oknum yang mengaku raja dan mencoba memperlihatkan ‘’wibawanya’’ dengan menggelar karnaval sebelum kemudian ditangkap oleh pihak kepolisian. Ternyata itu hanya penipuan belaka kepada masyarakat dengan janji-janji palsu.

Persoalan demikian tidak hanya terjadi di Jawa Tengah, tetapi juga di Jawa Barat yang mencoba-coba meniru Kerajaan Sunda. Bahkan di Bali juga ada ribut-ribut soal Raja Majapahit. Fenomena ini terkesan kuno dan menggelikan, tetapi bahwa ada yang menjadi pengikut dan menjadi fanatisme raja gadungan demikian, memang seperti itulah kondisi rakyat Indonesia.

Satu tulisan menyebutkan bahwa itu merupakan gejala masyarakat yang sedang sakit, berupaya mengutak-atik masa lalu karena merasa termarginalkan dalam kehidupan sosial. Jika masalahnya termarginalkan itu, pemerintah juga kelihatannya mempunyai peran di sini.

Munculnya kerajaan-kerajaan ‘’reborn’’, raja ‘’reborn’’ atau mengaku-ngaku raja yang tidak tahu malu itu, memang lekat dengan feodalisme yang merupakan fenomena kental dalam sistem sosial di Indonesia. Sebelum kemerdekaan yang baru berusia 74 tahun ini, Indonesia memang dicengkram dengan kerajaan.

Perilaku, kebudayaan, sistem politik, dan sudah tentu sistem sosial, dapat dikatakan dibentuk oleh raja dan sistem kerajaan yang ada. Lapangan umum yang ada di depan pusat kerajaan, kiranya merupakan bagian dari pembentukan sistem sosial tersebut. Artinya di masa lalu lapangan bisa berfungsi bagi berkumpulnya rakyat, dengan pengarahan raja atau mahapatih dengan berbagai petuah dan perintahya.

Baca juga:  Statistik Dalam Kebijakan Publik

Maka, umur kemerdekaan yang ‘’baru’’ 74 tahun tidak cukup untuk menghapus sifat-sifat feodalisme yang mengakar di masyarakat. Generasi kedua dari orang tua yang masih terhubung dengan kerajaan (saat proklamasi kemerdekaan) saat ini masih tersosialisasi dan terinternalisasi dengan sifat feodalisme tersebut, yang kemudian meneruskannya kepada generasi ketiga yang kini masih beranjak dewasa tua.

Hal ini mudah dilihat dari pada fenomena politik, di mana trah-trah kerajaan masih secara mudah  memperoleh kekuatan politik, baik sebagai pemimpin pemerintahan maupun sebagai anggota legislatif. Ini masih menandakan bahwa masyarakat masih mudah melekat dan terpengaruh oleh dunia kerajaan tersebut.

Dari situlah kemudian orang-orang yang merasa punyai karisma dan kemudian mempunyai kemampuan orasi tinggi, sumber daya ekonomi plus tidak tahu malu, secara mudah mengelaborasi diri dan mengikat masyarakat ke dalam pengaruhnya. Dalam hal ini adalah orientasi kerajaan dengan segala sistem dan tujuannya. Sayangnya, sekarang di masyarakat muncul lagi upaya-upaya untuk ‘’merebornkan’’ raja masa lalu itu.

Masyarakat yang struktur sosialnya tersegmentasi ketat secara ekonomi, sosial maupun budaya, mempunyai kecenderungan tinggi untuk percaya dan ikut ‘’terhisap’’ ke dalam budaya kerajaan palsu dan raja gadungan tersebut. Dalam masyarakat yang terstruktur dan tersegemntasi demikian, selalu saja dijumpai orang-orang yang tersilosasi, teralienasi atau merasa terjauh dan merasa tidak terakui. Maka, kedekatan dengan ‘’raja’’ akan menjadi pembenaran status sosialnya.

Pada konteks ini, masyarakat Bali secara jujur  arus hati-hati dan waspada terhadap adanya pendekatan-pendekatan pengaruh gadungan seperti itu. Secara jujur juga harus diakui bahwa sejarah Bali itu ‘’dipenuhi’’ dengan kerajaan. Dan bukan sekadar itu, berbagai kerajaan itu saling bersaing dan saling bertempur serta beraliansi di masa lalu. Bisa dibayangkan, bagaimana cerita kerajaan itu masih hidup hingga kini.

Baca juga:  Galungan, Waspadai Tren “Negakin” Dharma

Di samping “dipenuhi” oleh lingkup kerajaan tersebut, stratifikasi masyarakat Bali sampai sekarang masih nyata tentang pengaruh kasta yang keliru itu, yang menstratifikasi masyarakat bahkan sampai menuju ranah kelahiran. Perkembangan mutakhir di Bali adalah terstratifikasi secara ekonomi.

Pembangunan ekonomi masif melalui politik pariwisata, telah membuat modal banyak masuk menuju Bali. Akibatnya, mereka yang mempunyai  keterampilan dan pengetahuan yang memadai, dapat mengikuti perkembangan itu dan meraih keuntungan serta hidup yang lebih baik. Yang tidak mampu, secara serampangan mengejarnya melalui penjualan tanah, dan kemudian kalah telak setelah modalnya habis.

Fenomena ini melahirkan marginalisasi baru dalam struktur sosial masyarakat di Bali. Barangkali inilah salah satunya yang memunculkan begitu banyaknya orang bertatto di Bali. Jadi, kondisi inilah yang harus diwaspadai masyarakat Bali ke depan agar tidak mudah terbius oleh hal-hal yang berbau feodal, raja dan kerajaan gadungan tersebut.

Ngusaba Dangsil

Bali mempunyai aneka ragam pesan budaya yang dapat ditafsirkan untuk dipakai cerminan dan patokan untuk merenung, bagaimana seharusnya raja dan bagaimana seharusnya bersistem sosial. Budaya merupakan hasil pemikiran yang sudah terkristalisasi dari pergulatan pikiran.

Baca juga:  Nomaden Digital dan Industri Pariwisata

Salah satu yang telah terkristalisasi dan dapat dimaknai melalui penafsiran itu adalah ritual Ngusaba Dangsil. Ritual ini berlangsung di Desa Bongaya di Karangasem, dan dilaksanakan setiap 12 atau 14 tahun sekali. Apabila direnungkan, ada banyak pembelajaran dari ritual tersebut, mulai dari sisi persaudaran kelompok, toleransi, penghormatan kepada pimpinan, bahkan pengerahan massa.

Sederhananya, ritual ini mengusung beberapa dangsil yang diarak oleh ribuan massa. Dangsil tersebut mempunyai tingkatan-tingkatan, mirip dengan meru atau wadah yang bertumpang. Tingkatan tersebut mengandung makna dan simbolisasi pemimpin, mulai dari pemimpin (kerajaan di masa lalu) Bali, pemimpin regional (kabupaten/kerajaan di masa lalu) sampai pemimpin setempat.

Dangsil inilah yang digotong ramai-ramai. Dangsil ditarik oleh seorang masyarakat yang berasal dari agama Islam. Dan ribuah masyarakat datang terlibat dalam ritual itu adalah masyarakat Bali Aga dari Karangasem.

Mereka mengarak dan menggotong sebagai wujud hormat kepada pemimin (raja). Hanya raja yang memperhatikan rakyatlah yang mampu dingat dan dikenang sampai sekarang. Mereka menjaga kekompakan sebagai masyarakat Bali Aga dari berbagai kecamatan untuk hadir di Bongaya merayakan ritual tersebut. Dan mereka menjaga toleransi dan mengingat sejarah untuk memberikan peran kepada anggota masyarakat dari agama lain untuk menarik Dangsil.

Inilah salah satu contoh penghormatan kepada pemimpin, persatuan dan toleransi antarsesama. Hanya raja yang benar-benar rajalah yang mendapat menghormatan seperti ini. Bukan raja gadungan.

Penulis, staf pengajar Sosiologi FISIP Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *