Seperti diketahui, warga dunia kini ‘’demam’’ dengan kata digital. Tidak saja perpustakaan berbasis digital, kini iklim demokrasi yakni berkehidupan politik juga bernuansa digital. Sekarang kita akan dengan istilah demokrasi digital. Demokrasi ini telah menjadi fenomena baru seiring akselerasi teknologi digital.
Demokrasi digital merupakan bentuk persilangan antara demokrasi dengan digitalisasi, utamanya terjadi di era Revolusi Industri 4.0. Berkat kemajuan teknologi digital, proses demokrasi konvensional semakin ditinggalkan. Hubungan pemerintah dengan warga mulai lewat internet, web dan aplikasi canggih lainnya. Model smart city termasuk contoh demokrasi digital. Enaknya, demokrasi digital, membuka peluang untuk mengembalikan hakikat demokrasi menjadi lebih populis, dari yang sebelumnya bersifat terlalu elitis dan teknokratis.
Demokrasi digital sebenarnya mengedukasi kita menjadi warga dan masyarakat yang terbuka. Namun sayangnya sudah siapkah kita menerima era buka-bukaan ini? Jawabnya ada pada komitmen dan integritas diri sendiri. Lihat saja sejak lama digagas pajak PHRI berbasis digital demi keterbukaan, transparansi dan mudah dikontrol. Namun sampai sekarang belum terlaksana, pasti ada penyebab yang tersembunyi. Bisa jadi pemerintah tak mau karena tak bisa lagi ‘’memainkan’’ angka-angkanya. Bisa juga alat dan SDM tak siap. Yang benar, mau atau tak mau, cepat atau lambat, kita harus akrab dengan dunia digital. Itu kunci sukses menghadapi perubahan.
Kedua, bersikap dewasa. Internet atau teknologi informasi dapat mengekspresikan pendapat dirinya tanpa kontrol yang signifikan. Setiap warga bisa menyimpulkan atau menyampaikan gagasan-gagasannya bahkan hal yang paling gila sekalipun. Kita diajarkan menjadi masyarakat yang terbuka. Lewat demokrasi digital kajian politik dapat diproduksi secara bebas, dapat disebarkan ke ruang publik, dan dapat sepenuhnya dimanifestasikan secara bebas lewat surat elektronik, bahkan website. Adanya kontribusi media membuat masyarakat masa kini menjadi masyarakat yang terbuka.
Dengan kata lain, pada era komunikasi politik kontemporer, ditambah dengan kehadiran internet jelas telah mengevolusi cara berinteraksi dan berpolitik. Ditambah dengan mudahnya akses internet sampai ke ruang-ruang kerja individu dapat dimanfaatkan untuk pembentukan opini publik. Isu tentang emansipasi, keterbukaan, kebebasan dapat dengan mudah ditransfer melalui internet.
Pertanyaannya, apakah kita sudah siap menggunakan komunikasi politik berbasis digital? Sementara sistem demokrasi di Indonesia mengalami pasang-surut. Apabila politisi mengerti pemilih, mereka bisa membuat komunikasi yang lebih efektif dengan mengetahui siapa pemilihnya, apa yang mereka inginkan dan bagaimana menyentuh mereka dengan mengembangkan komunikasi yang lebih mentarget dan diinginkan pemilih. Dalam era demokrasi ini, internet sebagai media komunikasi dan pertukaran informasi, berpeluang merevolusi sistem, struktur dan proses demokrasi yang selama ini kita kenal.
Nah, jika kita pro-perubahan harusnya demokrasi digital mulai digunakan dengan menyasar anak muda yang sering kali menolak bentuk komunikasi politik lama tetapi menjadi pengguna utama internet dan elektronik digital. Namun jangan lupa ada generasi X dan Y yang masih menggunakan demokrasi konvensional.
Demokrasi digital sering dikritik, padahal diperlukan. Kita harus akrab dan berdamai dengan kemajuan zaman, bukan menolak mentah-mentah jika ingin tak digilas oleh perubahan.