Sebelum zaman digital merebak, aksi mengeluarkan pendapat, unek-unek, masukan, kritik atau apa pun namanya lebih sering dilakukan di jalanan. Bisa oleh kelompok mahasiswa, buruh, pelajar, kalangan profesional atau siapa pun.
Mereka-mereka ini seringkali diberi nama ‘’parlemen jalanan’’. Entah mengapa istilah ini muncul dan ‘’disosialisasikan’’ oleh media massa, terutama koran. Boleh jadi karena kanal komunikasi politik yang sejatinya dijalin oleh para anggota parlemen dengan pemerintah tidak jalan, atau tersendat-sendat.
Bisa jadi begitu. Atau komunikasi rakyat dengan wakilnya di lembaga legislatif yang tidak begitu nyambung. Alhasil, saat itu ‘’parlemen jalanan’’ begitu sangat populer.
Saat ini perkembangan teknologi komunikasi massa berkembang begitu hebatnya, area jalanan pun berpindah ke dunia maya. Berbagai aksi yang dulunya dilakukan di jalan, pindah ke ruang-ruang media sosial.
Mengikuti perkembangan teknologi, audio-visual kini menjadi pilihan dengan berbagai tekniknya. Pesan serta kritik, masukan, opini menjadi begitu berseliweran di dunia maya. Orang mengemukakan pendapat kini begitu bebas. Begitu realtime sehingga tidak lagi mesti menunggu esok harinya kalau dimuat di koran, sebagai media konvensional. Media milenial pun kini bertebaran sehingga setiap detik berita atau peristiwa bisa diperbarui. Begitulah canggih dan luar biasanya perkembangan media massa saat ini.
Walau begitu, ‘’parlemen jalanan’’ tetap saja ada dan dilakukan sekali-sekali. Tetapi yang jelas, migrasi dari jalanan ke media sosial ini memang sangat tidak terelakkan. Sangat masif dan berdampak luas. Itulah makanya, sebagai netizen atau warganet atau masyarakat pengguna jaringan internet, pemerintah kemudian membuat rambu-rambu berupa Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Walaupun tidak sempurna, ini memberikan batasan-batasan, rambu-rambu, serta warning kepada warga negara pengguna internet agar berlaku adab di media sosial. Semua ada aturannya, sehingga tidak serta merta menebar fitnah, berita bohong atau hoaks, ujaran kebencian, hal-hal yang megandung SARA dan sebagainya.
Semuanya mesti dilakukan sesuai dengan undang-undang tersebut. Demokrasi yang dibangun mestilah punya batasan-batasan. Bukan pada substansinya tetapi pada cara-caranya. Demokrasi kerakyatan yang dikembangkan mengenal cara-cara elegan.
Tidak saja melalui mekanisme lewat wakil rakyat tetapi juga — tidak bisa dimungkiri — lewat media sosial dengan cara yang bisa dipertanggungjawabkan. Karena memang, sebenarnya kolaborasi lewat media konvensional, media milenial serta lewat legislasi para wakil rakyat, setidaknya merupakan sebuah jurus cukup ampuh untuk membuka ruang komunikasi, terutama dengan pemerintah agar lebih fair, transparan dan terang benderang.