Ilustrasi. (BP/dok)

 

Oleh Arie Hendrawan

‘’The Internet has brought democracy to so many other things. It;s about time the Internet brought democracy to democracy.’’ – Joe Green

 

Demokrasi digital telah menjadi fenomena baru seiring akselerasi teknologi digital. Demokrasi digital merupakan bentuk persilangan antara demokrasi dengan digitalisasi, utamanya terjadi di era Revolusi Industri 4.0 saat ini.

Berkat kemajuan teknologi digital, proses demokrasi konvensional semakin banyak terdisrupsi. Salah satunya terkait pola relasi antarwarga negara serta antara pemerintah dengan warga negara. Demokrasi digital membuka peluang untuk mengembalikan hakikat demokrasi menjadi lebih populis, dari yang sebelumnya bersifat terlalu elitis dan teknokratis.

Dari berbagai lektur demokrasi digital yang beredar saat ini, sayangnya paradigma pesimistis yang cenderung mendominasi. Banyak wacana di media massa yang sering mengkritisi ide demokrasi digital. Hal tersebut sebenarnya juga tidak lepas dari realitas yang ada, bahwa memang telah marak terjadi penyimpangan dalam demokrasi karena teknologi digital.

Seperti contoh, penggunaan buzzer atau cyber troops bayaran untuk strategi firehose of falsehood politik yang mengakibatkan polarisasi di masyarakat. Padahal, potensi demokrasi digital sangat besar jika mampu dioptimalkan.

Cyberspace

Ruang publik virtual (cyberspace) adalah salah satu produk dari gelombang teknologi digital. Cyberspace dapat menjadi arena baru dalam proses demokrasi digital di zaman kontomporer sekarang. Pada abad ke-18, masyarakat menempatkan tischgesellschaften (Jerman), coffee house (Inggris), salons (Prancis), dan ruang publik ‘’fisik’’ lain sebagai arena untuk melakukan diskusi publik.

Baca juga:  ”Manuk Anguci” di Hilir Petanu

Kini di era konvergensi media dan digitalisasi, internet menjadi ruang publik baru bagi diskusi warga dalam merespons bermacam realitas dan fenomena yang sedang aktual di tengah-tengah masyarakat.

Pemanfaatan cyberspace sebagai arena diskursif dalam praktik demokrasi sejatinya telah cukup banyak dilaksanakan di beberapa negara. Seperti misalnya, dalam bentuk jajak pendapat deliberatif (deliberative polling) yang digagas oleh Prof. James Fishkin dari Universitas Standford. Deliberative polling yang dilakukan secara online pernah diterapkan di Polandia, Korea Selatan, Inggris, Brazil, dan beberapa negara lain. Di samping itu, cyberspace juga dimanfaatkan untuk kepentingan petisi daring dan kampanye urun dana digital (digital crowfunding) bagi pemerintah.

Sementara itu, di Indonesia, pemanfaatan cyberspace bukannya tidak dilakukan. Kita sudah memulainya sejak gerakan Open Government Indonesia (OGI) diluncurkan pada tahun 2012 sebagai tindak lanjut dari lahirnya inisiatif Open Government Partnership (OGP) di tahun 2011. OGI memiliki tiga program yang berbasis digital, yaitu LAPOR! (Layanan Aspirasi dan Pengaduan Rakyat), Portal Satu Data, dan Satu Peta. Namun, ketiganya kurang mengakomodasi nilai deliberatif antarmasyarakat serta antara pemerintah dengan masyarakat dalam perumusan dan evaluasi kebijakan.

Baca juga:  Memperjuangkan Ketertiban, Bukan Kerusuhan

Padahal, ketika merujuk hasil survei APJII tahun 2018, pengguna internet di Indonesia mencapai 171,17 juta jiwa (naik 27,91 juta/10,12% dari tahun 2017). Artinya, peluang cyberspace untuk menjadi ruang deliberasi dalam kehidupan berdemokrasi kita sangat terbuka lebar. Sekarang, peluang tersebut justru lebih terwadahi oleh platform media sosial partikelir seperti Facebook, Twitter, dan Instagram.

Media sosial menampung seluruh diskusi publik, termasuk yang berupa aspirasi dan keluhan warga kepada pemerintah, maupun kebutuhan yang sedang diharapkan oleh rakyat. Bayangkan, ada berapa banyak data yang dapat diolah dari interaksi masyarakat di media sosial untuk kepentingan mereka sendiri.

Apalagi, masih menurut survei APJII tahun 2018, sebesar 87% pemanfaatan internet oleh masyarakat kita digunakan untuk mengakses media sosial. Pemerintah memang telah berusaha aktif terlibat di dalamnya dengan membuat akun-akun lembaga ‘’bercentang biru’’ (resmi). Akan tetapi, karakter dan topik interaksinya masih sporadis, belum dapat tersusun sistematis. Lain halnya apabila data yang berisi sentimen warga tersebut diolah secara serius.

Dalam pidato kenegaraan di gedung parlemen Agustus 2019 yang lalu, Presiden Joko Widodo menyebut data sebagai jenis kekayaan baru bagi bangsa. Bahkan, saat ini data dapat lebih berharga dari minyak. Sayang, seperti paradigma pesimistis mengenai demokrasi digital, titik fokus terhadap sumber daya data juga lebih banyak dikaitkan dengan kejahatan siber (penyalahgunaan data). Sementara pemanfataannya untuk ‘’memotret’’ keresahan warga justru terkesan kurang memperoleh atensi.

Baca juga:  Menguatkan Pendidikan Karakter Remaja

Pemerintah semestinya dapat memberdayakan data yang sangat besar (big data) dari media sosial sebagai salah satu bahan untuk merumuskan dan mengevaluasi kebijakan. Hal tersebut tidak hanya perlu dilakukan oleh pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah. Terobosan itu sendiri bukannya mustahil. Berdasarkan Siaran Pers Kementerian PPN/Bappenas tentang Implementasi Big Data untuk Perumusan Kebijakan Publik Tahun 2017, Kementerian PPN/Bappenas sudah pernah menguji coba analisis big data media sosial bersama pihak ketiga untuk menyediakan data statistik inflasi pangan.

Domain isu yang masih sangat terbatas tersebut tinggal yang perlu diperluas. Tidak hanya bersama pihak ketiga, pemerintah juga dapat mendorong Kemenkominfo dan Diskominfo untuk menghasilkan peta Social Network Analysis. Hasil analisis tersebut kemudian bisa diberikan kepada setiap pejabat pemerintah terkait guna mengambil keputusan responsif dalam mengatasi persoalan di masyarakat secara real-time. Meskipun demikian, pemerintah juga perlu cermat untuk meminimalisir praktik manipulasi data dengan menerapkan prosedur verifikasi yang ketat.

Penulis lepas, mahasiswa Magister Ilmu Politik Undip

BAGIKAN

1 KOMENTAR

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *