Seorang warga sedang membersihkan kandang babinya. (BP/dok)

BANGLI, BALIPOST.com – Kasus kematian babi di beberapa daerah di Bali yang diduga akibat terjangkit virus African Swine Fever (ASF), berimbas terhadap harga babi di Kabupaten Bangli. Dalam beberapa hari terakhir, harga jual babi di tingkat peternak merosot.

Peternak pun pesimis bisa menikmati keuntungan dari penjualan babi pada moment hari raya Galungan kali ini. i Nyoman Oka Tri Sumarjaya, peternak babi di Bangli mengakui bahwa isu ASF berpengaruh signifikan terhadap harga jual babi di tingkat peternak.

Saat awal-awal isu itu muncul, harga babi masih bisa dikendalikan. Namun belakangan harga jual mengalami penurunan, seiring gencarnya pemberitaan terkait penyebab kematian babi di Bali. “Apalagi kemarin sudah ada yang bilang positif (ASF) sedangkan ada juga yang bilang tidak. Itu lumayan bikin bingung dan panik masyarakat. Saya sangat merasakan efeknya,” ungkapnya saat ditemui Jumat (7/2).

Baca juga:  Dewan Desak Cabut Aturan Operasional Toko

Saat ini dirinya masih berusaha mempertahankan harga jual babinya Rp 28 ribu per kilogram. Namun di peternak lain berani melepas dengan harga Rp 23 ribu.

Menurut Oka dengan harga jual Rp 23 ribu, sejatinya peternak tidak dapat untung. Sebab hitung-hitungan biaya produksi yang dikeluarkan untuk penggemukan babi lebih dari itu. “Kalau saya yang beternak menggunakan pakan khusus untuk babi, jauh sekali antara biaya produksinya. Biaya pakan saja bisa Rp 26 ribu,” ujarnya.

Baca juga:  Di 2025, Nusa Penida akan Tambah PLTS + BESS 4,5 MW

Peternak yang tergabung dalam Gabungan Usaha Peternakan Babi Indonesia (GUBPI) Kabupaten Bangli ini mengaku tidak bisa berbuat banyak terkait kondisi sekarang. Ia pun pesimis bisa menikmati keuntungan dari penjualan babi pada momen Galungan kali ini.

Diungkapkannya, jelang datangnya Galungan seperti sekarang, biasanya harga babi mulai mengalami kenaikan. Seiring naiknya harga pakan.

Dia membandingkan, pada momen Galungan enam bulan lalu, peternak mampu menjual harga babinya Rp 35-40 ribu per kilogram. Sekarang untuk bisa menikmati harga itu, dirasakan sangat sulit. “Kalau sekarang bisa jual di harga Rp 28 ribu saja rasanya sudah cukup, biaya produksi bisa tertutupi,” ujar pria yang memiliki 900 ekor ternak babi itu.

Baca juga:  Realisasikan Anggaran Penanganan COVID-19, Mendagri : Tidak Lakukan Mark Up dan Tepat Sasaran

Selama ini babi hasil penggemukannya dipasarkan di Bangli dan Karangasem. “Yang ambil di saya, rata-rata pemotong,” imbuhnya. (Dayu Swasrina/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *