DENPASAR, BALIPOST.com – Sektor pertanian di Bali selalu dielu-elukan. Pertanian itu hulunya kebudayaan, nilai jual yang membuat pariwisata Bali laris manis bagi turis.
Karena itu pertanian Bali menurut para pejabat harus dijaga dan dirawat. Ironisnya itu ditingkat teori.
Sebab di tataran praksis, pertanian selalu terpinggirkan, tak pernah jadi prioritas. Indikatornya, persentase anggaran pertanian di bawah 3 persen dari total APBD.
Citra pariwisata Bali tidak akan kuat jika pertanian lenyap. Maka, wacana menjaga pariwisata terus berdenyut tidak akan mungkin tanpa menjaga pertanian Bali. Pertanian Bali di perdesaan, memang lebih menonjolkan wajah romantik- religiusnya daripada rasional-teknokratik.
Clifford Geertz dalam buku Penjaja dan Raja (1989) menyebutkan bahwa ada upaya keras dari pemerintah kolonial dalam membentuk pertanian Bali berhenti hanya pada sisi romantik-religius. Hal ini dilakukan agar pertanian Bali tidak dapat menyaingi usaha-usaha ekonomis yang dilakukan pemerintah kolonial.
Sisi rasional-teknokratik sebagai pendorong pertanian agar menjadi sektor pendukung utama ekonomi masyarakat Bali terus ditindas. Kebijakan serupa dilakukan pemerintah pascakolonial, ketika pariwisata dijadikan sektor utama penggerak ekonomi.
Bali mengalami lompatan dari ekonomi berbasis sektor primer langsung ke tersier yakni jasa pariwisata. Jadilah pertanian Bali tidak pernah maju, hanya jalan ditempat, bahkan terus mengalami kemunduran.
Pertanian sebagai sebuah industri yang didalamnya berarti ada upaya peningkatan nilai jual hasil pertanian tak pernah dilakukan. Pertanian Bali nasibnya kini kian merana.
Lahan terus menyusut, generasi petani diambang kepunahan. Ironisnya keberpihakan pemerintah daerah hanya sebatas wacana, karena anggaran pertanian tak seberapa. Pertanian Bali hanya indah di wacana, namun dibuat tak berdaya di dunia nyata. (Nyoman Winata/balipost)
Seberapa besar anggaran untuk pertanian Bali dan untuk apa pertanian membutuhkan anggaran besar? Simak ulasannya di Hari Bali Post, Senin 17 Februari 2020.