DENPASAR, BALIPOST.com – Pertanian di Bali tak pernah maju. Padahal, pertanian merupakan penunjang pariwisata Bali yang maju seperti saat ini.
Pertanian itu hulunya kebudayaan, nilai jual yang membuat pariwisata Bali laris manis bagi turis. Karena itu pertanian Bali menurut para pejabat harus dijaga dan dirawat.
Sayangnya hal itu hanya bersifat wacana. Dalam praktiknya, pertanian cenderung dianaktirikan. Indikatornya, persentase anggaran pertanian di bawah 3 persen dari total APBD. Fakta lain, lahan pertanian dibiarkan makin menyusut dan generasi petani di ambang kepunahan.
“Pemerintah enggan mengalokasikan dana yang cukup bagi sektor pertanian, karena hasil pertanian sangat lama. Mungkin satu atau tiga tahun ke depan,” kata Prof. Wayan Windia, S.U., Guru Besar Fakultas Pertanian Unud.
Dikaitkan dengan soal politik, lanjut Windia, bagi kepala daerah membangun pertanian, kecil dampak citranya. ‘’Jadi pejabat lebih memilih pembangunan fisik. Nyata kelihatan hasilnya,’’ tegas Windia.
Menurut FAO, anggaran yang ideal untuk sektor pertanian adalah 10 persen dari total anggaran pemerintah. ‘’Saat ini anggaran sektor pertanian berada di bawah angka 5 persen,’’ kata Windia.
Ada ketidakadilan yang disebutkan Windia ketika membandingkannya dengan bantuan dana Rp 300 juta kepada desa adat. ‘’Bansos untuk desa adat naik 50 persen menjadi Rp 300 juta, tetapi pemprov tidak ada kenaikan untuk bansos subak. Saya kira ini kebijakan yang tidak adil,’’ tegasnya lagi.
Padahal, bansos untuk subak sangat penting karena saat ini subak sangat miskin, sudah dalam kondisi mati segan, hidup tak mau. ‘’Subak seperti anak ayam kehilangan induk. Tidak boleh desa adat saja berdaya, tapi subak mati,’’ kata Windia mengingatkan.
Anggaran yang memadai sangat diperlukan sektor pertanian. Peruntukannya bisa untuk subsidi output. Beras petani dibeli dengan harga yang menguntungkan petani, sehingga petani bergairah untuk bertani.
Selain itu anggaran besar juga untuk menjamin petani mendapatkan air dan membebaskan petani dari pajak. “Petani ingin airnya dijamin, tidak bayar pajak dan hasilnya dibeli pemerintah dengan harga yang menguntungkan,” tegas Windia.
Kondisi ekonomi petani Bali saat ini memprihatinkan. Hasil satu hektar, menurut Windia, tidak lebih baik dari penghasilan buruh bangunan dan pengemis jalanan. ‘’Membangun pertanian adalah untuk memberdayakan wong cilik. Sepanjang sektor pertanian tidak berkembang, kemiskinan pasti terus bertambah. Sumber dan kerak kemiskinan ada di komunitas petani,’’ tutup Windia. (Nyoman Winata/balipost)