Pemerintah patut dikritisi bahwa pemberdayaan sektor pertanian hanyalah wacana. Semua elite mengaku pertanian harus dikembangkan karena Bali adalah pariwisata berbasiskan budaya. Subak adalah termasuk salah satu aset pariwisata Bali.
Jika mau serius menggarap pertanian Bali, yang paling nyata adalah kucurkan dana subsidi dan asuransi produk pertanian kepada petani yang merugi akibat gagal panen. Jangankan asuransi, biaya pupuk petani saja masih mencekik petani.
Nah, mana yang namanya pemberdayaan? Kata kuncinya adalah pertanian berbasis kesejahteraan.
Masalah alih fungsi lahan khususnya sawah di Bali hampir tidak terkendali karena desakan dari sektor nonpertanian yang sangat kuat. Salah satu dampaknya adalah ketersediaan pangan akan terganggu selain terdegradasinya faktor lingkungan fisik, sosial dan budaya pertanian.
Suksesi kepemimpinan di tingkat nasional dan di daerah (provinsi dan kabupaten/kota) telah beberapa kali dilakukan sejak era reformasi diharapkan senantiasa memberikan angin segar bagi kesejahteraan para petani di Indonesia, termasuk di Bali. Jika tidak maka Bali akan ditumbuhi oleh bangunan-bangunan kokoh yang mengeliminasi lansekap pertanian yang alamiah dan pertanian semakin termarginalkan yang berakibat kedaulatan pangan akan tercerai-berai.
Kebijakan dan program-program pemerintah harus bermuara pada sektor pertanian mengingat perannya yang sangat vital bagi kehidupan masyarakat sebagai bagian memaknai jargon pertanian sebagai tulang punggung perekonomian. Artinya bahwa sektor pertanian wajib menjadi salah satu sasaran utama bagi sektor-sektor lain, seperti industri, irigasi, transportasi, pariwisata, koperasi, keuangan/perbankan, pendidikan, dan lain sebagainya.
Salah satu sistem yang dapat dikembangkan adalah penguatan sistem agribisnis yang telah cukup lama diintroduksi. Agribisnis sebenarnya adalah suatu konsep yang utuh, mulai dari penyediaan sarana produksi dan alsintan, proses produksi, mengolah hasil, pemasaran dan aktivitas lain yang mendukung dengan kegiatan pertanian.
Melalui sistem agribisnis, pemerintah wajib merancang adanya peningkatan nilai tambah bagi setiap pelakunya, khususnya para petani. Petani tidak semata-mata ditempatkan sebagai produsen tetapi lebih diorientasikan pada aspek bisnis terhadap produk-produk yang dihasilkannya, seperti produk-produk pangan, hortikultura, peternakan, perikanan dan perkebunan.
Sistem agribisnis yang diformat haruslah menjadi satu-kesatuan sistem yang sangat terintegrasi dan menguntungkan secara proporsional dan berkelanjutan. Oleh karena itu, agroindustri hulu dan agroindustri hilir diharapkan menjadi bagian yang sangat signifikan integrasinya dengan sistem produksi pertanian.
Integrasi tersebut juga memerlukan adanya sistem penunjang agribisnis guna dapat mewujudkan pertanian berdaulat dan berbasis kesejahteraan petani. Dalam pertanian di lahan sawah, konsep sistem agribisnis ini secara nyata dapat dilakukan dengan membangun bisnis inklusif antara petani (kelompok petani/subak/subak-abian) bersama-sama dengan pengusaha pengolahan seperti penggilingan, pengemasan, pedagang besar, di mana masing-masing pihak saling berbagi peran (roles sharing) dan tidak hanya terjadi proses jual-beli produk.
Diperlukan kebijakan teknologi inovasi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia memerlukan dukungan faktor lain mengingat kondisi agroklimat dan sosial-ekonomi para petani yaitu kebijakan perkreditan dan proteksi pertanian. Kebijakan pekreditan yang ditujukan kepada petani perlu dirancang agar memiliki skema yang mudah dan murah.
Mengenai penyediaan kredit dengan skema yang murah dan mudah berkenaan dengan syarat-syarat kredit, besaran kredit, suku bunga, lama pinjaman, dan mekanisme pengembalian yang memperhatikan kondisi sosial ekonomi petani saat ini. Kebijakan ini merupakan bagian dari stimulan pemerintah kepada para petani untuk semakin meningkatkan produktivitasnya melalui peningkatan teknologi inovasi yang diintroduksikan kepadanya.
Peningkatan produktivitas ini akan menjamin terwujudnya pertanian berdaulat. Pada saat yang sama, pemerintah perlu mencanangkan kebijakan proteksi pertanian di tingkat petani berupa asuransi pertanian untuk memberikan rasa aman bagi petani terhadap risiko gagal panen akibat banjir, kekeringan, serangan hama dan penyakit. Implementasi asuransi pertanian ini pada tahap awal memerlukan peran pemerintah terutama dalam penyediaan premi asuransinya.
Nilai pertanggungan asuransi pertanian adalah nilai output dari usaha taninya, bukan nilai input atau penggunaan sarana produksinya. Kebijakan proteksi lainnya adalah melalui pengendalian atau pembatasan produk-produk impor yang sebenarnya potensi di dalam negeri adalah sangat tinggi jika ingin berdaulat pangan dan menyejahterakan para petani.