Oleh I Wayan Suartana

Ancaman virus Corona, Covid-19, yang mengglobal saat ini menjadi cobaan baru bagi industri pariwisata Bali. Wisatawan Tiongkok penyumbang nomor 2 terbesar kini turun drastis, malahan dekat dengan angka nol.

Bisnis pariwisata terancam dan pasti berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi karena efek pengganda pariwisata masif. Tiongkok sebagai raksasa ekonomi partner dagang dan pemasok wisatawan menghentikan sementara jalur transportasi ke Indonesia.

Terbaru Arab Saudi juga melakukan hal serupa. Kebijakan pemerintah pusat untuk meniadakan pungutan PHR (Pajak Hotel dan Restoran) yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota untuk memungutnya selama enam bulan disambut antusias oleh pelaku pariwisata, tetapi di kalangan pemerintah daerah kebijakan ini dipandang bisa mengganggu target kinerja APBD khususnya sektor penerimaan daerah.

Alur logikanya, kalau situasi belum normal tanpa dihentikan pun PHR tetap turun, karena karakter pajak yang melekat pada transaksi tergantung pada jumlah dan angka yang dibayarkan. Pemerintah pusat melihat dari sisi dampaknya. Kalau transaksi menurun pajak yang dipungut pun menurun, sehingga untuk menciptakan atmosfer bisnis menggeliat relaksasi PHR dilakukan dengan “meliburkan” selama satu semester.

Tetap harus diingat pajak yang dipungut bukan berasal dari uang perusahaan, tetapi dari wisatawan yang berkunjung, sehingga fokusnya adalah menggenjot kunjungan dan sementara waktu diharapkan ada yang mengganti arus kunjungan wisatawan Tiongkok dan negara-negara lain yang terkena virus Corona.

Kalangan dunia usaha memandang peniadaan pungutan PHR selama enam bulan sebagai cara yang tepat untuk meminimalisir kerugian yang lebih parah karena okupansi terjun bebas, sedangkan pemerintah daerah berpatokan pada rentannya kemampuan fiskal menjalankan roda pemerintahan dalam alokasi anggaran.

Malahan ada yang mengatakan pemerintah daerah (kabupaten/kota) di Bali akan kolaps karena ketergantungan yang tinggi pada PHR. Sesuatu yang dilematis. Dalam situasi yang tak bisa dikendalikan dan serba sulit (di luar kemampuan siapa pun) tentu semua pihak bermaksud baik mencari solusi dan ada titik temu yang bisa dikompromikan.

Baca juga:  Microgreen Inovasi Inisiatif Baru

Bali dengan delapan kabupaten dan satu kota mengandalkan PHR sebagai sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah). Contohnya Badung, Denpasar, Gianyar, Klungkung dan lain-lainnya. Ada yang rata-rata 60-70% dari PAD dan ada yang lebih kecil dari itu. Untuk Badung, misalnya, sebagai kabupaten yang memiliki wajib pajak daerah terbanyak di Bali, kemampuan fiskalnya berada pada aras kemandirian, artinya kemampuan daerah tersebut menunjukkan derajat fiskal tinggi yang ditandai oleh PAD lebih besar dari dana transfer.

Tahun 2020 perbandingan antara PAD dengan volume APBD 84%. APBD 2020 Badung mematok angka PAD sebesar Rp 5,3 triliun. Dengan kebijakan peniadaan PHR satu semester tersebut diperkirakan PAD akan mengalami penurunan 1,6 sampai 2 triliun rupiah, suatu jumlah yang sangat signifikan. Perkiraan angka tersebut berasal dari capaian satu semester (0,5 dikalikan 5,3 triliun rupiah) dikalikan dengan 60%.

Skema Mitigasi

Ada beberapa skema insentif dan bahan kontemplasi menyikapi kejadian luar biasa ini. Pertama, kebijakan insentif dengan memberikan hibah Rp 3,3 triliun kepada 10 destinasi wisata, termasuk Bali di dalamnya, belum lagi tambahan dana alokasi khusus adalah pilihan kebijakan yang cukup realistis.

Hanya waktu dan besaran angkanya yang perlu dianalisis dan dikoreksi. Seyogianya kebijakan insentif ini memperhitungkan kemampuan fiskal daerah yang tercermin dari postur APBD.

Bila dibagi rata kesepuluh detinasi wisata ketemu angka Rp 303 miliar. Kemudian untuk Bali, Rp 303 miliar dibagi 9 menjadi Rp 34 miliar setiap kabupaten/kota. Tentu ini jauh dari target penerimaan daerah APBD 2020 yang telah ditetapkan. Badung, misalnya, perbandingannya Rp 34 miliar (meskipun ditambah dengan hibah lainnya katakanlah Rp 50 miliar) dengan Rp 1,6 triliun.

Baca juga:  Optimisme Holding BUMN Pariwisata

Hemat kata, skema insentif hendaknya memperhatikan kontribusi PHR pada volume APBD. Idealnya, dibuat indeks lalu dijadikan jangkar sebagai faktor pengalinya. Bali sangat tergantung dari industri pariwisata, karena bukan daerah yang memiliki sumber daya alam-minyak, gas dan mineral sebagai sumber pendapatan.

Efek pengganda pariwisata yang sering didengungkan bukanlah isapan jempol karena mencerminkan keadaan di lapangan. Wisatawan sudah membuat rencana ke mana saja dia berkunjung. Sekadar ilustrasi contoh, pada saat mendarat awalnya menginap di Badung, kemudian pindah ke Ubud, lalu Tulamben dan Nusa Penida.

Ada juga ke daerah lainnya, termasuk ke luar Bali di Indonesia, sehingga jangka waktu peniadaan pungutan PHR juga bisa dikoreksi dari enam bulan menjadi tiga bulan misalnya atau dengan frasa ‘’sewaktu-waktu bisa ditinjau ulang’’. Katakanlah mulai bulan April-Juni di low season, bulan Juli mulai dikenakan pungutan PHR karena sudah mulai memasuki high season.

Kedua, Dari awal harus disiapkan dana cadangan yang bersumber dari efisiensi. Silpa (sisa lebih perhitungan anggaran) yang tinggi tidak serta merta mencerminkan buruknya perencanaan, tetapi justru Silpa yang tinggi menunjukkan jalannya manajemen risiko keuangan daerah.

Pemerintahan daerah harus memahami manajemen dan profil risiko pariwisata. Pariwisata rentan dengan masalah keamanan, kesehatan dalam hal ini penyakit menular. Pembentukan cadangan alhasil serupa dengan pembayaran premi pada skema asuransi. Cadangan akan memproteksi keuangan daerah bila ada masalah.

Meski demikian, solusi jangka pendek bisa jadi akan berputar di sekitar rasionalisasi anggaran. Ketiga, pihak pelaku pariwisata membuat inovasi dan terobosan dengan produk-produk yang variatif. Produk MICE (Meeting, Incentive, Convention and Exhibition) menjadi andalan baru dengan memberikan kemudahan dan harga yang terjangkau.

Baca juga:  Modernisasi Pertanian Mewujudkan Visi Indonesia 2045

Pemerintah pusat pun berencana untuk memindahkan kegiatan rapat-rapat di Jakarta ke Bali. Upaya lain yaitu menggaet wisatawan domestik terus digiatkan dengan memberikan diskon dan sebagainya. Hal seperti ini dilakukan oleh pelaku pariwisata dengan bauran produk dan promosi yang variatif.

Tujuannya tentu saja okupansi berada pada area aman, sehingga biaya operasional perusahaan tertutupi dan tidak sampai terjadi pemutusan hubungan kerja. Kelangsungan hidup perusahaan tetap terjaga dengan menginjeksi berbagai kemudahan.

Ada ekspektasi negara lain mengalihkan liburannya ke Bali, sehingga ketiadaan wisatawan Tiongkok terkompensasi oleh kedatangan wisatawan dari negara atau belahan benua lainnya. Dengan determinasi kuat seluruh pemangku kepentingan kita berdoa semoga Bali tetap aman untuk dikunjungi.

Keempat, peniadaan pungutan PHR yang bersifat sementara hendaknya tidak menimbulkan disfungsional perilaku, dalam pengertian munculnya efek bola salju budaya gratisan. Bisa saja dan ada kemungkinan perilaku dan nilai-nilai disfungsional ini akan memengaruhi ketaatan membayar pajak pada jenis-jenis pajak lainnya.

Kalau PHR bisa ‘’diliburkan’’, kenapa yang lain tidak? Di Indonesia perhitungan pajak termasuk PHR diserahkan kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar dan melaporkan jumlah pajak yang seharusnya dibayarkan/terutang atau yang dikenal dengan self-assessment system, sehingga masalah kepatuhan pajak merupakan masalah serius yang perlu mendapat perhatian termasuk di dalamnya pajak daerah.

Dampak virus Corona adalah situasi darurat, sehingga kalau ada inisiatif dan gagasan berupa kebijakan atau regulasi harus difahami sebagai upaya untuk menyelamatkan keadaan ekonomi mikro maupun makro. Bila situasi sudah kembali normal (kita berdoa mudah-mudahan ditemukan obatnya dan WHO sebagai otoritas kesehatan dunia mendeklarasikan bahwa virus sudah dapat diatasi) tentu kembali pada aturan main semula.

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unud

BAGIKAN