MANGUPURA, BALIPOST.com – Mencegah makin meningkatnya penyebaran COVID-19 di Bali sejumlah imbauan sudah dikeluarkan pemerintah Provinsi Bali. Salah satunya imbauan terkait masyarakat Bali melakukan social distancing dengan bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan mengurangi aktivitas ke luar rumah kecuali karena ada keperluan sangat mendesak. Selain itu ada juga imbauan Gubernur Bali Wayan Koster agar masyarakat mengurangi/menunda perjalanan ke Bali atau ke luar Bali.
Namun hal itu dinilai tak cukup. Terlebih sejumlah pintu masuk Bali masih terbuka menerima kedatangan orang dari luar Bali.
Terkait hal ini, anggota Komisi IX DPR RI Dapil Bali, I Ketut Kariyasa Adnyana, Senin (30/3) mengatakan keberanian pemimpin di daerah membuat kebijakan membatasi pendatang masuk Bali, serta menunda mudik Lebaran, ditunggu dalam upaya mencegah penyebaran COVID-19. Sebab kalau hanya sebatas imbauan, dasar hukumnya menjadi sangat lemah.
Terutama saat ada yang melanggar, sanksi tidak bisa diberlakukan. “Untuk Bali, ini kan tidak adil juga. Benar kata masyarakat, kita masyarakat lokalnya tidak boleh keluar dan sebagainya tapi orang luar datang ke Bali,” ujarnya.
Apalagi, lanjut Kariyasa, Pulau Jawa yang dominan menjadi daerah asal para pendatang merupakan episenter COVID-19 di Indonesia. Kasus COVID-19 kini sedang tinggi-tingginya terjadi di daerah tersebut.
Oleh karena itu, butuh keberanian para pemimpin mulai dari Gubernur, bupati/walikota hingga kepala desa/lurah. “Inilah dibutuhkan kepemimpinan, kebijakan itu untuk menyelamatkan warga masyarakat. Karena masyarakat sekarang ingin merasa aman, kita harus siap tidak populer,” jelas Politisi PDIP ini.
Untuk Bali, Kariyasa mengaku sejak jauh-jauh hari sudah menyarankan untuk lockdown atau karantina. Akan tetapi, yang berhak menyatakan lockdown adalah pemerintah pusat sehingga Gubernur mengikuti kebijakan pusat.
Walaupun Gubernur sudah mengeluarkan imbauan agar masyarakat mengurangi/menunda bepergian ke luar atau masuk ke Bali, tapi dinilai susah dalam penerapan sanksi atau law enforcement. “Tapi kalau sudah keputusan, tentu ada sanksinya. Ketika ada yang melanggar, itu kan harus distop kemudian yang melaksanakan di lapangan juga tidak salah tafsir seperti perpanjangan Nyepi kemarin,” terangnya.
Selain itu, lanjut Kariyasa, terpenting sekarang juga harus dilakukan pemerintah daerah adalah mulai berpikir merelokasi anggaran. Termasuk dalam APBDes, sementara agar mengalihkan anggaran infrastruktur untuk kesehatan masyarakat dan membantu tenaga medis.
Sebab, karantina wilayah mengandung konsekuensi bahan pokok dan kebutuhan masyarakat lainnya harus disiapkan oleh pemerintah. Kemudian harus ada subsidi berupa bantuan langsung tunai (BLT).
Skemanya harus sudah mulai disiapkan karena masyarakat tidak bekerja lagi. Paling tidak database masyarakat miskin, tidak mampu atau yang membutuhkan sudah dipegang oleh pemerintah agar pemberian subsidi atau BLT tepat sasaran. “Karena dalam UU, kalau sudah mengkarantina wilayah, pemerintah harus mampu menghidupi masyarakatnya termasuk binatang peliharaan, dsb. Itu yang sekarang masih ditakuti oleh pemerintah,” paparnya.
Kalau hal ini bisa berjalan, Kariyasa menyebut upaya pencegahan penyebaran COVID-19 pasti akan sukses. Tapi kalau tidak, justru akan kacau seperti halnya di India.
Sebab, orang akan berbondong-bondong keluar mencari makan karena lapar. “Bukannya malah mencegah, karena keluar jadi berkerumun karena rasa lapar sehingga gagal (mencegah penyebaran COVID-19, red),” pungkasnya. (Rindra Devita/balipost)