Simulasi penanganan Corona digelar di RSUP Sanglah, Rabu (12/2). (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Saat ini, episentrum COVID-19 di Indonesia adalah DKI Jakarta dan wilayah sekitarnya, seperti Jawa Barat dan Banten. Bahkan, dari data yang dimiliki Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, jumlah kasus 3 daerah itu terus mengalami peningkatan.

Di DKI Jakarta mencapai 747 kasus per pukul 12.00 WIB, Selasa (31/1). Sementara itu, Banten terdapat 142 kasus dan Jawa Barat mencapai 198 kasus.

Jika ini tidak segera ditangani, Pengamat Kesehatan publik I Ketut Swarjana, SKM, MPh., Dr. PH., Rabu (1/4), mengkhawatirkan Bali akan menjadi episentrum COVID-19 tahap dua setelah Jakarta, Jabar, Banten dan sekitarnya. “Ini patut dihindari, makanya perlu gerakan cepat dan tegas,” katanya.

Baca juga:  Antisipasi Kegaduhan, Warga Diimbau Bijak Bermedsos

Soal status darurat kesehatan masyarakat (DKM) yang dikeluarkan oleh Presiden pada Selasa (31/3) dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dinilainya masih sangat lemah. Pasalnya, penyebaran virus semakin kencang, sementara upaya yang dilakukan pemerintah terkesan lembut. Dalam UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan disebutkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular/kejadian yang disebabkan oleh radiasi, pencemaran biologi, bioterorisme, dan lainnya yang menimbulkan potensi menyebar lintas wilayah/negara. Dari definisi ini, dia mengatakan status darurat kesehatan masyarakat termasuk kebijakan lemah jika dibadingkan kondisi riil di masyarakat.

Baca juga:  Protes Penindakan ODOL, Sopir Truk Demo di Gilimanuk

Sedangkan soal PSBB, sesuai UU, ini hanya mengatur pembatasan kegiatan penduduk dalam suatu wilayah yang terjangkit penyakit agar tak menyebar kepada orang lain. Kebijakan ini, juga dinilai Ketut Swarjana, sebagai langkah kurang tegas.

Yang tepat untuk kondisi saat ini yakni memberlakukan Karantina Wilayah secara total atau secara parsial. Dia juga kasihan dengan rakyat Bali, mereka diimbau untuk tinggal, belajar dan bekerja di rumah, sementara pintu masuk Bali tetap dibuka.

Orang mudik dari luar Bali juga dibebaskan atau sebaliknya. Langkah ini, kata peraih doktor public health di Mahidol University, Bangkok itu, tak akan ada artinya bagi warga Bali yang sudah mau disiplin tingal di rumah. “Sebab bolong-bolong warga yang diduga pembawa virus masih bebas masuk Bali,” jelasnya.

Baca juga:  Tak Ingin Jadi Episenter, RSUP Sanglah Batasi Akses ke Ruang Nusa Indah

Gubernur Bali, kata dia, juga tak cukup hanya mengimbau dan bersurat ke Menteri Perhubungan (Menhub) guna selektif dan memperhatikan migrasi pintu masuk Bali, melainkan mendesak pemerintah pusat untuk menutup pintu masuk Bali bagi warga yang tak ada hubungannya dengan sirkulasi pangan, barang dan kesehatan. “Semasih ini diberlakukan, langkah ini bertentangan dengan status Darurat Kesehatan Masyarakat. Sebab dalam kondisi darurat, semua komponen mengutamakan keselamatan kesehatan rakyat,” tegasnya. (Sueca/balipost)

BAGIKAN