Sugi Lanus. (BP/Istimewa)

Oleh Sugi Lanus

Bagaimana wajah dunia setelah wabah Covid-19? Setelah wabah berlalu akan datang “sebuah era baru”.

Hal ini disampaikan dalam pustaka lontar Widhi Sastra Roga Sangara Gumi.Lontar warisan dari kerajaan Majapahit ini berisi tentang wabah dan datangnya malapetaka penyakit yang menjangkiti dunia. Disebutkan ganti kali bhumi (peralihan gelap jagat): Setelah wabah menyerang dunia, akan terjadi pergantian era kegelapan dunia menuju sebuah era baru.

Para ahli matematika perhitungan yuga (siklus bumi-semesta) dan para guru ajaran Dharma dunia seperti guru Swami Sri Yukteswar (1855 – 1936) dalam bukunya The Holy Science, dan juga Mahayogi Paramhansa Yogananda (1893–1952) yang sangat berpengaruh di dunia, telah dari lama menunjukkan bahwa selama ini kita telah salah dalam perhitungan yuga.

Kedua guru spiritual asal India tersebuttelah memberikan evaluasi atas kesalah-hitungan yuga yang diwariskan sekarang dan menjelaskan bahwa Kali Yuga telah menemui ujungnya dan akan berbalik menuju fajar era baru Dwapara Yuga. Satu yogi berpengaruh dunia sekarang, Sadhguru adalah pendukung perhitungan ini.

Hal senada disampaikan dalam pustaka lontar Widhi Sastra Roga Sangara Gumi yang menjelaskan bahwa datangnya pandemik yang memakan korban sejagat adalah ganti kali bhumi (akhir era gelap menuju awal era baru).

Secara rinci lontar Widhi Sastra Roga Sangara Gumi penjelasannya tentang wabah dan ciri kematian tiba-tiba yang dibawa angin, sesuatu yang tak kasat mata. Sedikit kutipan dari pembukaan lontar sebagai berikut:

“Nihan Widhi Sastra Roga Sangara Bumi, saking niti Bhagawan Dharmaloka, katama de Sang Aji ring Majapahit, tekaning Bali Madya, apa lwirnya, ritatkalaning ganti kali bhumi. Dewata matilar ring madhyapada, mantuk maring swargan mahameru, ginantianing Bhuta, sabhumi sami wwang kasusupan Bhuta….gering sasab marana tan pegat, ngendah laraning wwang, gumigil panas uyang, akweh pejah, desa tepi ning tasik tembening agering…  mantra usada punah. Pandhita bingung, Weda Mantra tanpa sari.”

Terjemahannya:

“Ini adalah Sastra Widhi Roga Sangara Bumi, dari ajaran warisan Bhagawan Dharmaloka, warisan dari yang dimuliakan-guru-penguasa di Majapahit, ketika datang ke Bali, tatkala pergantian bumi kali. Dewata meninggalkan dunia-tengah, pulang ke Surga Mahameru, diganti oleh Bhuta, manusia di bumi semua dirasuki Bhuta…. penyakit menular mewabah tiada terhentikan, tidak terperi derita manusia, menggigil panas, kehilangan kesabaran dilanda cemas, banyak korban meninggal, desa-desa pesisir ketiban penyakit…  mantra pengobatan punah. Pandhita bingung, Weda mantra kehilangan esensi.”

Baca juga:  Tukang Cukur Keliling Gunakan APD

Masyarakat Bali pewaris pustaka lontar ini diajak untuk optimis bahwa datangnya sebuah wabah (sasab) yang melanda dunia adalah pertanda akhir batas sebuah era. Usai pandemik akan muncul era kemanusiaan—yang sebelumnya dilanda saling benci, penuh hujatan, saling sikut, saling fitnah—menuju “era baru” yang lebih baik dimana manusia akan lebih sadar arti kesetiakawanan, lebih sadar arti gotong-royong. Usai wabah berlalu akan manusia tersadar bahwa perlu era baru kesejagatan yang paras-paros (saling menjaga dalam kesetaraan).

Dunia berproses menuju era baru

Secara teologi Hindu Bali dan Jawa Kuno disebutkan bahwa Bhuta-Kala dan Dewa diciptakan bersamaan oleh Hyang Widhi. Ada waktu dalam peralihan dunia Bhuta-Kala lewat “nyelang margi” (meminjam jalan). Manusia diwajibkan menepi dan mabrata mengurung diri. Artinya juga ketika Sang Bhuta-Kala melakukan proses peralihan, masa pancaroba, umat manusia diminta melakukan brata (menarik diri dari keramaian, puasa dan mawas diri). Kalau sudah selesai “pamargin bhuta-kala” (putaran waktu dan jalan Sang Bhuta-Kala) kita bisa keluar sebagaimana mestinya.

Di Bali, dari berabad-abad ketika Gunung Agung meletus disebut begini: “Ida makarya tur mamargi” (Beliau berkarya dan berjalan). Ketika kekuatan alam sedang bergerak, kita yang nalar dan eling yang minggir dan menepi.

Ini soal penggunaan nalar yang disebut dalam Hindu sebagai wiweka (kemampuan menimbang dengan dasar logika dan hati secara jernih).

Pada musim ombak besar, nelayan menepi. Bukan soal berani atau takut. Bukan soal kutukan Bhatara Baruna penguasa laut. Bukan karena Bhatara benci nelayan, tapi Bhatara kasih pada nelayan agar istirahat sejenak, di rumah bersama keluarga, menepi menimbang hidup secara mendalam. Ketika ombak telah berhenti mengamuk, musim ombak telah reda, kembalilah bekerja sekuat tenaga. Ketika telah reda musim gěring-mrana (sakit) atau sasab (wabah), kembalilah keluar rumah dan menjalani hidup segigih mungkin.

Baca juga:  Defisit Empati

Dalam teologi Hindu, tidak ada kebencian Hyang Widhi. Tidak ada kutuk. Yang ada adalah siklus. Siklus musim, siklus berbunga sampai berbuah, siklus yang membuat kehidupan dan semesta bergerak.

Hyang Widhi mengatur semua siklus dan tatanan kosmik lewat kecerdasan di balik gerak alam semesta ini, disebut dengan rta. Rta adalah “kesadaran maha tinggi” yang mengatur detak jantung semesta, tarikan nafas manusia, hewan, fotosintesa tumbuhan, sampai munculnya virus dan segala jenis kuman yang hadir sebagai bagian dari kelengkapan alam semesta raya.

Covid-19 bukan kutuk. Ia seperti angin puting beliung yang datang tiba-tiba, ia seperti gempa yang meretak di kerak bumi. Semuanya bagian dari “keselarasan kosmik” yang diselaras dengan kekuatan rta.

Bhuta Kala atau Dewa berjalan dalam siklus. Kalender ritual Hindu mengajari siklus itu datang dan diajarkan agar pemeluk Hindu melakukan puja dan ritual sesuai siklus hidup dan siklus semesta. Dari lahir sampai kematian ada ritual untuk siklus pertumbuhan manusia, sampai akhir menutup mata ada ritualnya.

Jika musim penyakit ada ritual nangluk mrana (menghalau penyakit), jika musim kemarau panjang ada doa dan pujian ke alam untuk meminta hujan. Ini bukan klenik.

Ini adalah bagaimana usaha manusia berkomunikasi dengan alam raya. Tubuh kita adalah bagian dari alam raya, Panca Mahabhuta: Tanah, Air, Api, Angin, Angkasa. Ketika kita berdoa variable zat alam dan elemen alam semesta itu bekerja meresonansi alam agar diberkati dan diselaraskan dengan resonansi doa yang kita panjatkan.

Ada hari dimana secara teologi Hindu adalah hari kurang tepat untuk menanam, berlayar, dan menikah. Semua ada logikanya karena ajaran itu hadir dari kesadaran manusia kuno atas siklus alam semesta, kesadaran akan adanya masa tanam, masa istirahat, dan masa brata menepi untuk mengkarantina diri.

Jenis brata (tarik diri, puasa dan introspeksi diri) dalam Hindu adalah satunya tanalalungayan (tidak bepergian). Artinya orang harus berdiam diri, mengkarantina diri. Ini bagian dari monabrata (puasa diam tidak bicara), total diam dan hening, memasuki diri dan memasuki jagra (awas-mawas penuh). Spirit jagra (menjaga kesadaran penuh) ini menjadi benteng diri dalam situasi kebencanaan dan dalam berbagai situasi kemanusiaan yang membutuhkan nalar dan kejernihan.

Baca juga:  Tiga Zona Merah di Bali Sumbang Kumulatif Kasus di Atas 150 Orang

Covid-19 adalah ombak dan badai yang bergolak dan kencang bergerak. Bagian dari proses semesta. Manusia diminta menepi. Manusia diminta berhenti sejenak. Memasuki dirinya, menjadi kontemplatif. Tidak berhubungan dengan orang lain di masa ini.

Jagra dan monobrata spiritnya bisa diterapkan agar manusia tentang dan pikiran baik datang untuk bisa mentransformasi situasi wabah sebagai momentum spiritual dan pendewasaan kemanusiaan kita.

Apakah semua harus menepi?

Dalam menghadapinya, secara Hinduada ajaran wira (semangat dan keberanian menghadapi kehidupan) dan dharma (kewajiban untuk melakukan usaha menyangga kehidupan). Spirit wira dan dharma inilah yang menjadi pedoman dalam menghadapi mara bahaya dan tantangan kehidupan. Termasuk ketika Covid-19 telah mewabah.

Pemimpin desa, kota, pulau, dan dunia, beserta paramedik, tentara dan polisi, semua para pelayan masyarakat dan dukungan masyarakat umum, diharapkan memegang prinsip wiweka, wira dan dharma. Nalar, jernih, berani, teguh, pantang menyerah dalam menyangga kelangsungan kehidupan.

Berani menjaga hidup, menyembuhkan yang sakit, dengan ketulusan dan keberanian, dengan segala kejernihan nalar yang maksimal atau wiweka, sehingga semua mara-bahaya bisa segera berlalu dengan minim korban. Inilah dharma panggilan kemanusiaan kita yang utama.

Menurut Hindu jagathita (jagat sejahtera) bukan dunia suci-hama atau “dunia disinfektan” yang tidak ada kuman dan nyamuk, bukan dunia yang tanpa flu atau batuk. Jagathita adalah dunia nalar jernih dan geraknya digerakkan oleh hati yang penuh kesadaran bahwa Hyang Widhi adalah kasih yang hadir di hati kita.

Vasudhaiva Kutumbakam — kita semua bersaudara—bahkanCovid-19 sekalipun dilihat sebagai “saudara” yang juga hadir di dunia sebagai bagian pelengkap kehidupan. Ketika “saudara” satu ini hadir dan numpang lewat, mari kita minggir menepi.

Dunia sedang dalam “proses pemurnian niskala”, dalam masa “ganti kali bhumi” (peralihan era gelap menuju era baru). Pustaka warisan leluhur lontar Sastra Widhi Roga Sangara Bumi yang kita warisi mengajak kita optimis menatap masa depan: Akan muncul era baru menyingsing setelah Covid-19.

Penulis adalah budayawan, pembaca manuskrip lontar.

BAGIKAN