Tenaga medis dan perawat berpelukan setelah bekerjasama berbulan-bulan menangani Wabah COVID-19, sebelum mereka meninggalkan Bandara Tianhe, Wuhan yang dibuka kembali setelah Pemerintah Tiongkok mencabut larangan bepergian di Wuhan pada Rabu (8/4). (BP/AFP)

WUHAN, BALIPOST.com – Ribuan warga yang merasa lega pergi dari Wuhan, Tiongkok pada Rabu (8/4) setelah pemerintah mencabut karantina wilayah yang sudah berbulan-bulan dilakukan di episentrum COVID-19 itu, dilansir dari AFP. Pencabutan karantina wilayah Wuhan memberikan harapan baru bagi dunia meskipun saat ini jumlah kematian akibat virus corona ini terus bertambah, terutama di Eropa dan Amerika Serikat.

Sebelumnya, Tiongkok dikritisi oleh dunia karena melakukan kebijakan yang keras dalam menangani COVID-19.

Sebanyak 55 ribu orang diperkirakan akan meninggalkan Wuhan pada hari ini menggunakan kereta api, menurut perkiraan dari pemerintah setempat. Bus dan mobil juga berada di jalan raya pada Rabu pagi, setelah diangkatnya larangan bepergian pada Selasa tengah malam di kota tempat munculnya COVID-19 untuk pertama kali.

Wuhan merupakan kota pertama di dunia yang melakukan karantina wilayah pada 23 Januari dalam upaya menyetop penyebaran virus yang waktu itu tidak diketahui jenisnya.

Dari Wuhan, corona menyebar secara cepat dan menginfeksi hampir seluruh negara di dunia ini, membunuh sekitar 80 ribu jiwa, menghancurkan perekonomian global, dan memaksa setengah dari manusia yang ada di dunia ini menjalani beragam bentuk karantina wilayah.

Baca juga:  Diembargo, Segini Jumlah Vaksin COVID-19 Tak Pasti Jadwal Kedatangannya

Penyebaran virus ini ke seluruh planet berimplikasi pada seluruh lapisan masyarakat, dari pekerja hingga keluarga kerajaan. Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson saat ini sedang bertarung melawan virus ini di unit gawat darurat (ICU).

Namun, kegembiraan warga yang akhirnya bisa bepergian dari Wuhan, banyak di antara mereka berbaris menggunakan baju hazmat, menimbulkan keceriaan di dunia yang sedang berkabung ini, memperlihatkan bukti bahwa virus ini tidak akan selamanya bertahan.

“Kamu tidak akan menyangka. Saya sudah bangun sekitar pukul 04.00 pagi. Saya merasa gembira. Anak-anak saya sangat gembira. Ibu akhirnya pulang,” kata Hao Mei, seorang orangtua tunggal yang bertemu dengan anak-anaknya yang masih kecil setelah 2 bulan terpisah.

“Saya telah dikarantina selama 77 hari. Saya telah dikarantina selama 77 hari,” kata seorang pria yang tiba di stasiun kereta untuk menaiki kereta menuju Hunan, kampung halamannya.

Baca juga:  Cegah Masuknya Varian Baru COVID-19, Filipina Perpanjang Masa Karantina Pelancong

Sebuah robot melintas di antara kerumunan penumpang di stasiun itu, menyemprotkan disinfektan ke kaki-kaki para penumpang serta memainkan sebuah pesan suara yang mengingatkan agar penumpang menggunakan masker wajah.

Sementara China merayakan hari tanpa kematian akibat COVID-19 pada Selasa (7/4), penyakit ini terus mencetak rekor baru di Eropa dan AS.

Sebanyak 1.939 kasus kematian harian dialami AS, menurut perhitungan yang dilakukan Johns Hopkins University, seiring makin dekatnya total kematian di AS dengan negara-negara Eropa yang terdampak paling keras, yakni Italia dan Spanyol.

Kematian harian akibat virus ini juga mengalami rekor baru di Inggris
Sementara Paris meningkatkan upaya karantina wilayahnya, melarang adanya jogging untuk mencegah warganya melanggar peraturan di saat Prancis menghadapi total kasus kematian sebanyak 10 ribu jiwa.

Di New York, Gubernur Andrew Cuomo mengatakan negara bagian ini sepertinya akan mencapai puncak pandemi namun tetap meminta agar warganya berada di dalam rumah.

Baca juga:  Nasional Masih Catat Kenaikan Kasus COVID-19 di Atas 5.000

Trump dikritik karena tindakannya dalam menghadapi virus ini, menyalahkan WHO dan mengatakan bahwa AS harus menahan kucuran dana bagi badan PBB itu, yang dituduhnya sebagai “Sangat Tiongkok Sentris”

Para medis di seluruh dunia mengalami kelelahan karena harus menangani banjirnya pasien, dan sejumlah kapal-kapal, hotel, dan katedral beralih fungsi menjadi rumah sakit.

Ekonomi global juga dalam posisi kritis ditopang kucuran dana yang terus menerus dari pemerintah banyak negara yang belum pernah menghadapi krisis seburuk ini dalam 1 abad terakhir. Di Jepang, disepakati paket stimulus sebesar 1 triliun dolar AS.

Sumbangan dari individu juga banyak terkucur untuk penanganan COVID-19. Pendiri Twitter, Jack Dorsey berkomitmen mengeluarkan dana 1 miliar dolar AS dari harta pribadinya untuk memerangi COVID-19.

Sementara itu, Organisasi Buruh Internasional (ILO) mengatakan sekitar 81 persen dari 3,3 miliar tenaga kerja di dunia terimbas krisis global yang disebut terparah sejak Perang Dunia II. (Diah Dewi/balipost)

BAGIKAN