Sugi Lanus. (BP/Istimewa)

Oleh Sugi Lanus

Ketika wabah melanda Bali di masa lalu, bermunculan tari sanghyang, rejang, gandrung, dan yang lainnya. Tarian sakral tersebut ‘’turun” di berbagai desa melalui ‘’petunjuk’’ niskala sebagai bagian dari penanggulangan wabah.

Wabah secara tradisional dipahami sebagai pertanda ketidakseimbangan alam akibat ulah manusia: Ketidakharmonisan bhuana alit (mikrokosmik) dengan bhuana agung (makrokosmik). Dengan sudut pandang ini, wabah dihadapi dengan mulat sarira (memeriksa diri), nunas ampura (mohon ampunan), merunduk tak pongah, menimbang ketidakseimbangan kosmik dalam hening mendalam, sekaligus terbuka pada ide-cipta-terobosan sekala-niskala. Kemunculan-kemunculan tradisi di bawah ini adalah keteladanan leluhur yang berpikir jembar dalam menghadapi wabah.

Tari Canglongleng hanya ada di Dukuh Penaban, Karangasem. Tari sakral ini lahir ketika terjadi grubug atau gerubug (wabah ganas). Tersebutlah sang siddhi (mumpuni) mendapat pawisik (petunjuk gaib). Pawisik dikomunikasikan dengan pihak desa sesuai parikrama desa. Krama (warga desa) aklamasi mengikuti. Dilakukan upacara macaru atau suguhan dengan mengogong Ida Batara dengan busana poleng (hitam putih). Sambil bersorak: “Aahh iiihhh uuuhhh…” Singkat cerita, grubug pun berlalu. Tari yang muncul di masa wabah tersebut sekarang menjadi tradisi sakral yang ditarikan setiap aci atau perayaan di Pura Puseh Desa Dukuh Penaban.

Di Sidatapa, Buleleng, terdapat unen-unen (prosesi suci) Sanghyang dan Gandrung. Kisahnya, ketika desa dilanda grubug bah bedeg (wabah yang membuat korban terkapar seperti gedeg bambu), seorang pertapa siddhi menerima pawisik untuk mengadakan unen-unen Sanghyang dan Gandrung. Wabah ini diceritakan turun-temurun dalam dongeng asal-usul nama Desa Sidatapa, yang sebelumnya bernama Gunung Sari.

Untuk mengenang sang pertapa penyelamat maka nama Gunung Sari diubah menjadi Sidatapa — desa yang diberkati oleh sang siddha-tapa (pertapa mumpuni). Sampai kini tari sakral ini digelar tiga tahun sekali, di awal Sasih Karo (bulan Agustus), di jaba Pura Bale Agung Desa Sidatapa. Tarian dilakukan selama 42 hari, diawali dengan upacara pacaruan, dilengkapi tabuh rah (upacara sabung ayam) 9 hari berturut-turut.

Tari Sanghyang Grodog atau Sanghyang Perahu di Desa Pakraman Nusa Lembongan, Klungkung, sejarahnya mirip dengan tari Canglongleng dan Gandrung. Ritus Sang Hyang Grodog adalah prosesi 23 tarian sakral: Sanghyang Sampat, Sanghyang Bumbung, Sanghyang Penyalin, Sanghyang Lingga, Sanghyang Joged, Sanghyang Dukuh Ngaba Cicing, Sanghyang Jaran, Sanghyang Dukuh Masang Bubu, Sanghyang Sampi, Sanghyang Bangu-Bangu, Sanghyang Kebo, Sanghyang Tiling-Tiling, Sanghyang Enjo-Enjo, Sanghyang Manjangan, Sanghyang Tutut, Sanghyang Jangolan Dukuh Ngaba Penyu, Sanghyang Barong, Sanghyang Kelor, Sanghyang Capah, Sanghyang Perahu, Sanghyang Sumbul, Sanghyang Payung dan Sanghyang Bunga. Tradisi berlimpah renungan teologis, estetik dan humanisme ini dilangsungkan tiap Sasih Karo (bulan Agustus), selama 11 hari penuh, sebagai penolak bala, penolak wabah manusia, wabah ternak dan hama tumbuhan, dan menghadirkan keselamatan.

Baca juga:  Gerakan Perubahan Berbasis Sekolah

Berbagai tradisi sakral bermunculan dalam situasi serupa di desa-desa lain: Sanghyang Lesung, Saab dan Kukur di Bugbug, Karangasem; Rejang Sutri di Batuan, Gianyar; Sanghyang Jaran dan Dedari di Bona, Gianyar; Sanghyang Celeng, Jaran dan Janger di Menyali, Buleleng; Sanghyang Dedari dan Jaran Gading di Selat Duda, Karangasem; Sanghyang Penyalin di Pancasari, Buleleng; Sanghyang Janger Maborbor di Yang Api, Tembuku, Bangli; dan seterusnya. Di desa-desa lain terdapat Sanghyang Deling, Sanghyang Dangkluk, Sanghyang Medi, Sanghyang Bumbung, Sanghyang Kidang, Sanghyang Bojog, Sanghyang Base, Sanghyang Sengkrong, dan seterusnya. Lebih dari 30 tarian sakral Bali terkait dengan peristiwa wabah di masa lalu.

Collective Healing yang Melampaui Nalar

Tari-tari sakral di Bali memiliki fungsi kurang lebih sama, yaitu untuk menghalau wabah, bencana dan mendatangkan keselamatan. Kemunculannya berdasarkan pawisik — sebuah pewahyuan lokal. Pawisik ini ‘’diadopsi’’ menjadi kebijakan desa, dijalankan sebagai ritual. Di tataran psikologis ini merupakan solusi alternatif — semacam collective healing. Jika ada peristiwa atau tanda-tanda munculnya gejala alam dan ketidakwajaran, desa-desa punya mekanismenya masing-masing untuk menjawab berbagai kejadian tersebut, dengan collective healing yang bersumber local wisdom, bersifat desa-kala-patra.

Apakah kemunculan tradisi tersebut tidak nalar? Jika dikatakan ‘’tidak nalar” maka krama desa akan menjawab bahwa ini ‘’melampaui nalar’’. Bukan perkara irrational atau nonrational, tetapi gejala beyond rationality.

Sejarah menunjukkan apa yang kadang dianggap ‘’tidak masuk akal” di suatu era, menjadi masuk akal di era selanjutnya. Bukan karena ‘’tidak masuk akal” tapi ‘’akal belum mampu masuk” ke tataran itu. Akal yang apriori tidak akan mampu memasuki ‘’sesuatu yang melampaui rasionalitas’’. Masyarakat Bali yang matang secara batiniah akan mampu membedakan mana petunjuk niskala ‘’akal-akalan” dan mana yang ‘’melampaui akal”. Mana yang ‘’nalar” dan mana ‘’sesuatu yang melampaui nalar”. Batin terasah dan hati yang hening bisa membedakan getar hal-hal tersebut.

Baca juga:  “Rethinking” Jabatan Wakil Kepala Daerah

Pawisik diterima sebagai collective healing didasari oleh trust antar-krama — segilik-seguluk, paras-paros. Di desa pakraman para krama saling kenal dari lahir, komunikasinya intim dan mendalam. Umumnya, prajuru desa pakraman bukan tokoh-tokoh titipan. Desa pakraman punya tata-titi dan pula-pali dalam mengumumkan petunjuk niskala. Penerima pesan niskala biasanya sosok terpilih. Juru siar pesan pun dipilih, juru raos yang fasih paribasa (rasa-tata-bahasa) dan menguasai parindikan (ruang lingkup masalah dan solusi), bukan ujug-ujug bicara di depan publik.

Tradisi Baru di Tengah Covid-19

Di tengah mewabahnya Covid-19 beredar surat Kepala Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Provinsi Bali, bertanggal 31 Maret 2020, ditujukan kepada Bandesa Agung MDA (Majelis Desa Adat) Provinsi Bali. Isinya: Permohonan bantuan untuk menyampaikan kepada seluruh desa adat dan krama desa adat di Bali untuk melaksanakan upacara Nunas Ica Karahayuan (permohonan keselamatan) kepada Ida Batara Sasuhunan untuk keharmonisan alam, krama, dan budaya Bali secara serentak. Ini dimaksudkan sebagai upaya sesuai adat dan kepercayaan Bali dalam mencegah wabah akibat Covid-19.

Pada prinsipnya imbauan tersebut diterima oleh warga. Hanya, timbul polemik karena sesaji Wong-wongan Manca Warna (replika sosok manusia dari nasi dengan 5 warna) mengundang interpretasi visual beragam. Bahkan ada yang menganggap tidak sesuai pakem dan mempertanyakan pijakan tekstualnya.

Pembuatan Wong-wongan harus mengikuti ketentuan pewarnaan: Kepala warna putih, tangan kanan warna merah, tangan kiri warna kuning, badan manca warna, dan kaki warna hitam. Sebuah ‘’tradisi baru”, tidak dikenal umum oleh umat Hindu di Bali.

Di luar riuh polemik — yang mengundang pandita, politisi dan pengamat budaya angkat bicara, dan gaduh medsos — diam-diam ‘’tradisi baru” Wong-wongan Manca Warna ini dijalankan oleh masyarakat Bali. Komentar yang merundung meredup seiring waktu.

Covid-19 juga memicu ‘’embrio tradisi baru” tiga hari Eka-Brata Amati Lelungan (berdiam dan berdoa di rumah selama 3 hari penuh). Ide ini mendapat banyak dukungan. Dalam status facebook-nya 7 April 2020, Prof. Dr. I Gde Pitana, sosiolog senior dan agamawan, mengatakan: “Saya sangat mendukung rencana ‘Nyepi Nusa Dewata’ selama 3 hari — bila perlu awuku (seminggu). Ini adalah sebuah kontektualisasi tradisi.” Budayawan dan agamawan lain menilai gagasan ini sangat baik dijadikan salah satu upaya pencegahan Covid-19. Bisa menjadi sebuah pedoman di masa depan jika Bali secara darurat perlu melakukan ‘’tutup pulau”.

Baca juga:  Berproses Budaya dan Saintifik

Namun, embrio tradisi baru ini keburu dirundung cemooh dan penolakan pedas. Video viral berisi pernyataan pimpinan MDA, yang mengabarkan rencana pelaksanaan ‘’Nyepi tiga hari penuh”, dinilai terlalu prematur. Pemakaian istilah ‘’Nyepi” dipertanyakan. Dinilai tidak tepat istilah, salah diksi.

Salah waktu penyampaian, tergesa sebelum dibahas matang. Dinilai tidak cermat menimbang pula-pali parikrama upakara. ‘’Pemakaian istilah Nyepi ini mengaburkan Nyepi Çaka yang disakralkan’’, sanggah dua politisi berpengaruh. Warga medsos gemuruh. Debat kusir diksi dan terminologi merontokkan niatan baik di baliknya.

Tergelincir menjadi polemik medsos, tanpa sempat menjadi pembahasan matang internal desa-desa pakraman. Pemda Bali melalui siaran pers 7 April 2010 mengatakan ‘’Nyepi desa adat bukan kewenangan pemda” namun siap mendukung jika dijalankan. Pemda bersedia mengimbau masyarakat untuk mempersiapkan logistik. Di lapangan, beberapa desa pakraman siap, bahkan telah jauh-jauh hari menutup akses pantai dan desa.

Sikap terbuka leluhur pada ‘’tradisi baru” dalam menghadapi wabah di masa lalu perlu kita renungi kembali. Demikian juga tata-titi dan pula-pali leluhur dalam menyampaikan ide-ide di depan publik perlu kita dalami. Tidak bisa kita mungkiri banyak kalangan apriori pada gagasan-gagasan baru dalam penanggulangan wabah, terlebih jika gagasan tersebut dikait-kaitkan dengan alasan niskala.

Ada kecenderungan warga medsos lebih mudah tergelincir berpolemik dibandingkan mencari solusi. Banyak upaya mencari solusi ditampik sebelum dicerna.

Ada baiknya kita serius kembali menelisik bagaimana tradisi-tradisi baru bermunculan ketika Bali dilanda wabah di masa lalu. Alasan kunci kenapa gagasan-gagasan bersifat niskala diterima di pedesaan adalah karena yang menerima pawisik adalah sosok kredibel — pertapa siddhi, sosok mumpuni, pemangku suci. Dikomunikasikan ke publik oleh sosok tepat, sesuai tata-titi dan pula-pali leluhur. Manut dewasa, manut paruman, dan manut parikrama upakara — sesuai hari baik, sesuai putusan dan tata acara rapat, dan mempertimbangkan secara matang tata cara ritual yang berlaku secara turun-temurun.

Hal-hal yang nalar saja akan terjegal dan gagal jika salah strategi komunikasi, apalagi yang hal ‘’melampaui nalar” yang beririsan dengan dunia niskala. Kita tidak akan mewarisi berbagai tradisi suci dari masa lalu seandainya leluhur kita ngotot hanya bersandar pada keterbatasan akal yang diboncengi keinginan bergaduh.

Penulis adalah budayawan pembaca manuskrip lontar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *