DENPASAR, BALIPOST.com – Arus kepulangan Pekerja Migran Indonesia (PMI) menjadi sumber risiko terbesar terkait penyebaran COVID-19 di Bali. Dari akumulatif 92 kasus positif hingga Selasa (14/4), hanya 10 orang saja yang terjangkit dari transmisi lokal.
Sisanya, mayoritas imported case terutama dengan riwayat perjalanan dari luar negeri. Melihat tingkat risiko yang dihadapi Bali ini, aspirasi untuk melakukan lockdown atau PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) menjadi tidak tepat.
“Apakah dengan transmisi lokal hanya 10 orang itu saja lalu kita menjadikan Bali tertutup untuk semua? Terlalu besar risikonya,” ujar Ketua Harian Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Provinsi Bali, Dewa Made Indra di Denpasar, Rabu (15/4).
Menurut Dewa Indra, angka transmisi lokal bisa terus ditekan kalau masyarakat Bali mau disiplin menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak dan mengurangi aktivitas di luar rumah. Terbukti dalam dua bulan terakhir, hanya ada 10 kasus transmisi lokal di Bali.
Kalaupun ada pergerakan angka positif, itu lebih banyak disebabkan oleh PMI. Pihaknya menilai sah-sah saja saat ada logika yang menyebut Bali lebih baik mengajukan PSBB lebih awal saat kasus transmisi lokal masih sedikit.
“Sebagai logika sah-sah saja. Sekarang kita bandingkan antara risiko yang dihadapi dengan cost yang harus kita bayar. Risikonya baru 10 orang, tapi kalau menerapkan PSBB, 4,2 juta rakyat Bali akan merasakan,” jelasnya.
Dalam PSBB, lanjut Dewa Indra, pembatasan aktivitas betul-betul dilakukan. Masyarakat, termasuk yang mengandalkan penghasilan harian dipastikan tidak bisa bekerja seperti sekarang.
Itu artinya, mereka akan terdampak sangat serius dengan PSBB. Pemerintah memang berkewajiban untuk memberikan sekurang-kurangnya bantuan pangan atau sembako.
Tapi perlu diingat, hidup tidak hanya melulu urusan sembako. “Usulan itu baik tapi waktunya belum, karena cost yang akan kita bayar terlalu besar. Bukan hanya cost ekonomi, tapi menimbulkan persoalan pangan, persoalan sosial di masyarakat, persoalan pada perekonomian yang akan berhenti,” papar Sekda Provinsi Bali ini.
Kalau dicermati, Dewa Indra menyebut, kebijakan penanganan COVID-19 di Bali sebetulnya dinamis mengikuti arah kebijakan nasional dan tingkat perkembangan risiko. Artinya, kebijakan mengalir mengikuti kebutuhan di lapangan.
Malau hari ini memang masih belum waktunya menerapkan PSBB, bukan tidak mungkin Bali akan menuju ke arah sana jika ekskalasi kasus meningkat. Bila saatnya tiba, Pemprov Bali dikatakan siap.
Kendati, pihaknya terus mengupayakan agar transmisi lokal bisa ditekan dan tidak terus bertambah. Untuk sumber risiko terbesar yakni arus kepulangan PMI, telah dilakukan strategi pengawasan dan pengetatan pemeriksaan di pintu-pintu masuk.
Bandara Ngurah Rai misalnya, dijaga 24 jam. Rapid test tidak lagi hanya dipusatkan di kedatangan internasional, tapi juga kedatangan domestik.
Kemudian di Pelabuhan Gilimanuk, setiap pendatang dari daerah yang terjangkit di Jawa juga dilakukan rapid test selain pemeriksaan suhu tubuh dan wawancara riwayat perjalanan. Kalau hasilnya positif, maka langsung dipulangkan kembali. (Rindra Devita/balipost)
hanya karena takut menanggung beban biaya hidup masyarakat nya, jadi tifak berani mengambil tindakan penutupan ?? sekarang masih sedikit ??? kalo udah banyak baru nutup.?. itu logika sekali anda bapak penanggung jawab gugus depan, anda hanya cari aman di pemerintahan, income harian??? makanya anda tdk berani menanggung mereka bukan? dari awal saja sudah salah langkah dari Pusat, di tambah dgn daerah yg kurang tegas dan berani, mohon maaf ini kebanyakan panggung politik, membatasi jam effektif kantor saja sudah secara tdk lngsung anda meminta setiap perusahaan utk tutup secara sendiri nya, sehinggah pemerintah tdk perlu menanggung biaya hidup para pekerja itu, karena bukan pemerintah yg menyarakan tutup namun sukarela perusahaan karena batas jam buka .