Prof. Ratminingsih. (BP/Istimewa)

Oleh : Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.

Sejak 16 Maret 2020, pemerintah RI menonaktifkan semua institusi, tak terkecuali semua sekolah dan kampus dari kegiatan pembelajaran di kelas, yang diganti dengan bekerja dan belajar dari rumah karena merebaknya pandemi virus Corona yang lebih dikenal dengan COVID-19.

Virus mematikan yang dapat menyebar dengan cepat dan dapat membunuh siapa saja yang tidak disiplin mengindahkan peraturan, yakni social distancing, physical distancing, dan stay home. Kebijakan tersebut berimbas pada diberlakukannya pembelajaran dari rumah yang pada umumnya diselenggarakan secara online.

Ada berbagai platform yang digunakan oleh para guru dalam melaksanakan pembelajaran online antara lain WhatsApp, Google Classroom, Google Meet, Zoom dan berbagai aplikasi lainnya. Bagi sebagian besar guru yang sudah biasa dengan pemanfaatan teknologi dalam mengajar online tentu tidak masalah, namun sebagian lainnya yang masih gagap teknologi bisa jadi stres kurang tahu apa yang mesti dilakukan atau terpaksa mau belajar atau bahkan sebaliknya menggunakan kesempatan tersebut untuk berlibur alias tidak mengajar.

Toh juga harus diam di rumah. Tidak ada orang yang tahu mau mengajar atau tidak. Yang penting peserta didik diberi tugas saja, itu sudah cukup, dan nanti ketika situasi sudah kondusif tugas dikumpulkan dan kemudian diberikan penilaian.

Bagi para guru yang biasa menggunakan teknologi dalam mengajar, pembelajaran online justru membuat tugas mengajar menjadi tambah berat. Mengapa demikian? Karena pembelajaran online menuntut bukan hanya penyiapan bahan ajar secara online, tetapi juga pemberian tugas secara online, yang kemudian menuntut kerja ekstra untuk mencermati tugas, mendiskusikannya secara online, dan kemudian memberikan feedback terhadap tugas mereka juga secara online. Ini kalau guru tersebut berpikir ideal yang pasti.

Baca juga:  Tahun 2021, 75 Ribu Guru Ditargetkan Ikut PembaTIK

Teknologi dalam kondisi seperti ini memang berperan sangat kuat dalam menerjadikan pembelajaran. Kurikulum 2013 revisi juga telah mengindikasikan penekanan pada pembelajaran TIK. sehingga mau tidak mau, suka atau tidak suka, memang ke depan ini pembelajaran akan lebih ditekankan pada penggunaan teknologi. Covid-19 menjadi cikal bakal pemanfaatan teknologi yang masif di berbagai sektor termasuk di dunia pendidikan. Teknologi memang sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia, berbagai tugas guru dalam hal memberikan pengetahuan ataupun informasi memang dapat digantikan oleh teknologi. Akankah tugas guru tergantikan oleh keberadaan teknologi yang semakin di depan ini?

Baru memasuki tiga minggu masa karantina belajar dari rumah, peserta didik anak-anak ataupun dewasa mulai merasakan kebosanan dan kejenuhan karena terus belajar melalui online, mencari sumber-sumber rujukan secara online, membuat tugas secara online, dan berdiskusi tugas dengan teman juga secara online, serta belajar dengan guru melalui forum diksusi juga online dengan menggunakan laptop atau gadget lainnya. Mereka kebanyakan mengeluh masalah pengeluaran yang melonjak karena beli pulsa. Ada juga yang memasalahkan tidak ada sinyal atau tidak ada koneksi karena tinggal di desa. Beberapa bahkan mengeluh sakit kepala karena terus di depan laptop atau gadget, karena semua guru atau dosen menggunakan pembelajaran online.

Baca juga:  Antara Desa Adat dan Desa Pakraman

Tak pelak mereka sudah mulai rindu ingin kembali ke sekolah atau ke kampus. Sudah kangen sekolah atau kampus, guru atau dosen, dan teman-teman katanya. Seorang anak kecil yang menangis dalam videonya yang viral mewakili kegundahan dan kesedihan para peserta didik lainnya bahwa mereka sudah sangat kangen ketemu ibu/bapak guru dan teman-temannya di sekolah. Pebelajar dewasa juga sama, sebagai pendidik penulis juga bertanya kepada sejumlah mahasiswa dari enam kelas yang diajarnya, mereka menyatakan sudah bosan dengan situasi belajar dari rumah dan ingin segera kembali ke kampus. Ada apa dengan teknologi? Bukankah teknologi menyediakan apa saja yang kita butuhkan?

Ternyata tidak semua. Ada sisi-sisi lain yang tidak bisa tergantikan oleh teknologi. Apa itu? Sisi kemanusiaan sebuah pendidikan. Ketika mereka belajar di sekolah, mereka bertemu dengan guru dan teman-teman. Guru yang dengan penuh cinta dan kasih sayang yang tulus berbagi ilmu pengetahuan, mengajarkan berbagai keterampilan untuk kecakapan hidupnya kelak, dan mengajarkan nilai-nilai karakter yang berguna dalam hidup. Tak kalah penting kebersamaan dengan teman-teman di kelas belajar secara kolaboratif untuk saling membangun pengetahuan dan saling menyemangati dalam mengkreasikan dan menampilkan sebuah karya di depan kelas merupakan sebuah rutinitas alamiah yang menjadikan mereka benar-benar sebagai manusia. Saling memberi dan saling menerima.

Begitu pula sebaliknya, para guru bisa dipastikan mengalami hal yang sama, merasakan kebosanan dan kejenuhan ditambah rasa sakit yang mulai mendera seperti mata perih, kepala dan pundak terasa berat, serta punggung pegal duduk kelamaan di depan laptop. Mereka baik yang masih muda apalagi yang sudah mulai uzur mulai merindukan suasana hangat sebuah sekolah yang penuh keceriaan dan canda tawa anak-anak. Mereka kangen untuk bertemu dengan siswa atau mahasiswa di kelas untuk belajar sambil bersenda gurau. Termasuk bertemu dengan para guru dan staf kependidikan lainnya untuk saling berbagi pengetahuan dan informasi penting lainnya di sekolah.

Baca juga:  “Kasepekang” Sepek-Sepak

Teknologi hanyalah sebuah alat yang dapat melengkapi kehidupan manusia. Meski teknologi saat ini sangatlah maju, namun teknologi tidak mampu menggantikan sisi-sisi kemanusiaan pendidikan. Pendidikan yang utuh adalah pendidikan yang bukan hanya menyentuh sisi kecerdasan semata (kognitif), namun yang terpenting adalah keterampilan (psikomotor), dan sikap dan perilaku (afektif) yang dapat diterjadikan dengan kehadiran pendidik secara face to face di kelas.

Pembelajaran akan menjadi lebih optimal bila peserta didik dapat belajar secara kolaboratif dengan sesama teman sebaya, karena sesungguhnya manusia mengonstruksi pembelajarannya secara sosial (social constructivism), baik belajar dari pendidik maupun dari teman sebaya. Inilah sisi humanistik yang hilang dalam masa pandemi ini. Sampai kapankah? Kita tidak pernah tahu. Mari kita berdoa agar situasi ini segera berakhir dan kita semua, khususnya pendidik dan peserta didik di berbagai institusi formal dapat kembali melaksanakan aktivitas secara normal.

Penulis, Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *