Ilustrasi. (BP/tomik)

DENPASAR, BALIPOST.com – Krama Bali kini berhadapan dengan komplikasi tekanan ekonomi. Pemicunya banyak hal, mulai dari kematian babi, serangan demam berdarah (DB)  hingga pandemi Covid-19. Kondisi ini memicu kelumpuhan ekonomi yang berpotensi terus menguat.

Bali harus segera melakukan gerakan penguatan daya tahan rumah tangga dengan pendekatan sektor pertanian. Ini harapan paling logis ketika semua sektor terpuruk.

Kondisi ini pun diakui oleh Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati saat diwawancarai Bali Post, Senin (27/4). “Tekanan terhadap krama Bali memang berat saat ini. Walaupun memiliki banyak pengalaman menghadapai bencana alam, kali ini tekanan relatif berat. Semua sektor terpuruk. Namun, ini harus dihadapi dengan optimisme bahwa Bali mampu,” jelasnya.

Pria yang akrab disapa Cok Ace ini menegaskan, optimisme harus tetap dibangun. Krama Bali harus diedukasi dan terus diajak mandiri. Solusinya mengoptimalkan sektor pertanian termasuk dengan mengajak penduduk Bali mengelola lahannya. “Lahan pertanian di desa-desa masih ada. Perputaran ekonomi masih terjadi di desa. Namun, ini tentu harus diantisipasi juga dengan kemandirian rumah tangga,” ujarnya.

Cok Ace menambahkan, pandemi kali ini berpotensi menghancurkan pertahanan paling bawah. Namun, kita harus tetap optimis bahwa Bali mampu keluar dari tekanan yang relatif kompleks ini.

Baca juga:  Jadi Tempat Karantina, Ini Penerapan Protokol Kesehatan di Hotel

Terkait dengan komplikasi tekanan ekonomi ini, Bali Post mencatat ada banyak tekanan yang menguat sampai saat ini. Kelemahan ekonomi penduduk Bali awalnya dipicu oleh kematian ternak babi.

Kematian ribuan ternak babi di Kabupaten Tabanan yang akhirnya menjalar ke seluruh kabupaten/kota di Bali membuat cadangan ekonomi rumah tangga tergerus. Ternak babi adalah satu penghasilan tambahan bagi penduduk Bali. Hal ini belum tuntas ditangani.

Data kematian babi masih simpang-siur. Bahkan, penyebab kematiannya juga tak jelas. Kematian ternak babi ini membuat krama Bali tersandera secara ekonomi, karena umumnya mereka mengembangkan peternakan dengan pinjaman dari Lembaga Perkreditan Desa (LPD) bahkan koperasi.

Beban kematian ternak babi ini berlanjut dengan hantaman COVID-19 yang kemunculannya nyaris bersamaan dengan maraknya penderita demam berdarah (DB) di Bali. Ketika COVID-19 menguat, penderita DB nyaris terpinggirkan.

Tak menjadi fokus publikasi mungkin juga dalam hal sistem sanitasi lingkungan mereka. Fokus penanganan serangan DB yang sebenarnya juga mematikan nyaris terpinggirkan.

Tak hanya sampai di situ, seiring bergulirnya waktu, krama Bali terpuruk dalam hal ekonomi akibat COVID-19. Semua sektor hancur. Sektor pariwisata mencatat angka tertinggi dalam PHK dan perumahan karyawan.

Baca juga:  Satgas COVID-19 Keluarkan SE Prokes Perjalanan Internasional Baru

Sektor lainnya bahkan sudah lebih dulu kolaps. Sejumlah hotel bahkan tutup seiring tak adanya wisatawan mancanegara dan domestik. Bali kehilangan pendapatan utamanya dan berpotensi menjadi provinsi paling parah terdampak ekonomi di Indonesia.

Kini tekanan ekonomi telah menjalar ke petani dan peternak di Bali. Harga–harga anjlok saat produksi melimpah. Produk pertanian seperti sayuran dan buah-buahan tanpa daya serap yang memadai.

Bahkan, produk peternakan seperti ayam pedaging dan petelur hancur. Produksinya tak diserap pasar. Padahal, produksi masih tinggi. Peternak juga kewalahan memenuhi kebutuhan pakan dan menjual telur dan daging ayam. Beban ini menjadi tekanan yang sangat kompleks bagi krama Bali.

Di sisi lain, beban pendidikan anak-anak, budaya dan konsumsi tetap harus dipenuhi. Relaksasi perbankan dan bantuan sembako hanyalah obat penghilang rasa sakit. Ini tak akan membuat kita lepas dari beban jika tak segera melakukan adaptasi dengan tantangan kehidupan pada era peradaban baru pasca-COVID-19.

Hal ini pun diakui pengamat Viraguna Bagoes Oka. Dikatakannya, tanpa pendekatan yang jelas dan dukungan stimulus yang kuat dari pemerintah pusat, Bali akan menghadapi tekanan ekonomi paling parah dan kompleks. “Daya tahan saat ini memang masih ada, namun memasuki triwulan ketiga dan keempat dampaknya akan sangat terasa. Bali perlu manajemen pengelolaan ekonomi yang kuat dan kemandirian di sektor pangan yang lebih terencana,” ujarnya.

Baca juga:  Kembalikan Kejayaan Celuk Sentra Perak, Begini Diusulkan

Apa yang harus dilakukan pemimpin Bali tahun 2020? Ia mengharapkan pemimpin Bali harus bisa kembali mencermati tanda-tanda zaman serta tantangan dan ancaman yang dihadapi dunia global, regional dan lokal terhadap perubahan perilaku pasar yang sulit ditebak terkait dunia yang sedang mengalami perubahan besar di dua bidang utama, yaitu disrupsi teknologi dan perubahan demografi.

“Disrupsi digital akan lebih cepat oleh temuan baru para kreativitas milenial, lebih sering dengan biaya jauh lebih efisien dan memberikan dampak yang lebih besar bagi kehidupan kita yang sulit diprediksi, sehingga diharapkan pemimpin Bali harus adaptif terhadap perubahan. Karena dalam 5-10 tahun ke depan generasi milenial yang akan menjadi pengambil keputusan utama dan memiliki karakter berbeda dengan pendahulunya. Pemimpin Bali ditantang bisa menerapkan leadership dan panutan,” tegasnya. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *