DENPASAR, BALIPOST.com – Sebagai dramatari tertua, sekitar abad XV, Gambuh merupakan tarian yang sulit dipelajari. Selain memerlukan penghayatan dramatisasi, perbendaharaan gerak tari, maupun ucapan yang telah dipolakan, setiap tokoh utama juga harus mampu berbahasa kawi atau Jawa kuno yang akan diterjemahkan oleh para punakawan.
Di samping itu, kesenian ini juga merupakan teater Bali yang total karena di dalamnya terpadu secara harmonis dan indah elemen-elemen tari, vocal/dialog, musik, drama, sastra dan seni rupa.
Kerumitan seni tari tersebut mampu dibawakan oleh pemuda-pemudi Desa Adat Mengwi, Kabupaten Badung pada Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-39, Jumat (16/6) di Kalangan Angsoka, Art Centre Denpasar. Diawali dengan gending Langsing Tuban, Gambuh Anyar yang diiringi dengan Gamelan Semara Pagulingan Saih Pitu ini merupakan seni tari hasil rekonstruksi Desa Adat Mengwi.
Di bawah naungan Sanggar Bajra Geni pimpinan Ida Bagus Anom sebagai Kelian Desa Adat Mengwi, dramatari ini mampu menampilkan tarian yang memikat. Selain itu juga mengingatkan kembali para penonton akan kebangkitan kerajaan Bali pada masa lampau.
Lakon yang diangkat yaitu “Kelana Carang Nagapuspa” yang merupakan kisah percintaan pada masa kerajaan di Bali pada zaman dahulu. Dan tidak kalah menarik, ternyata sekaa Gambuh Anyar ini baru terbentuk sejak Desember 2016 lalu dan sudah tampil 4 kali.
Para penari gambuh dilatih oleh seorang pensiunan dosen dan empat dosen ISI Denpasar, yaitu A. A. Kusuma Arini, SST., MSi, I Nyoman Sudiana, SSKar., MSi., I Gst Ayu Ketut Suandewi, SST., MSi, I Gst. Lanang Oka Ardika, SSKar., MSi, I Gst Ngurah Sueka, SST.,MSi., dan Ida Bagus Yudistira, S.Sn.
Ida Bagus Anom menceritakan “Kelana Carang Nagapuspa” berkisah tentang percintaan antara putri raja dari Kerajaan Daha yang bernama Diah Ratna Merta dengan pengeran dari Kerajaan Jenggala yang bernama Raden Panji Amalat Rasmin. Kedua sejoli ini berjanji akan bertemu di Taman Sari, sebuah taman kerajaan dengan kolam-kolamnya yang indah.
Dalam pertemuan tersebut, pasangan kekasih ini sepakat untuk melangsungkan pernikahan. Namun, dengan carai kawin lari.
Sebelum Panji melarikan Diah Ratna Merta, Panji menyamar dengan berganti busana dan nama, yakni Kelana Carang Nagapuspa. Ia kemudian memerintahkan para patih pengawalnya untuk membakar pasar.
Beberapa hari berselang, ayahanda Panji dari kerajaan Jenggala gelisah dengan pengembaraan putranya yang tiada kabar berita. Oleh karena itu, sang raja lantas memerintahkan patih utama yaitu Kebo Angun-angun yang diiringi Patih Demang dan Temenggung untuk mencari keberadaan putranya.
Sesampainya di Kerajaan Daha, Patih Kebo Angun-angun terkejut melihat pasar dalam keadaan terbakar dan berusaha menemukan siapa yang membakar pasar tersebut. Saat kedua kelompok bertemu, terjadilah pertengkaran yang dilanjutkan dengan peperangan.
Setelah pengawal kocar-kacir, perkelahian sengit terjadi antara Kelana Carang Nagapuspa dengan Kebo Angun-angun. Di saat Kebo Angun-angun akan menikam Kelana Carang Nagapuspa, dengan cepat Kelana Carang Nagapuspa memperlihatkan jati dirinya.
Seketika itu, patih Kebo Angun-angun bersujud dihadapan Panji menyatakan penyesalannya. Selanjutnya, Patih Kebo Angun-angun memohon kepada Raden Panji Amalat Rasmin untuk kembali ke Kerajaan Jenggala.
Pada akhirnya Raden Panji bersama Diah Ratna Merta yang diiringi para dayang dan patihnya kembali ke Kerajaan Jenggala menghadap sang ayah tercinta. (Winatha/balipost)