Kepala BPS Bali Adi Nugroho. (BP/dok)

Oleh : Adi Nugroho

Beberapa hari lalu (5 Mei 2020) BPS Provinsi Bali mengumumkan pertumbuhan ekonomi Bali triwulan (atau kuartal) I tahun 2020 minus 1,14%. Capaian pertumbuhan minus yang hampir terlupakan pernah dialami Bali, karena telah lebih dari 20 tahun tidak terjadi lagi sejak krisis moneter 1998. Bahkan ketika Bali diguncang bom sebanyak dua kali, keduanya tidak sampai membuat pertumbuhan perekonomian Bali menjadi negatif.

Tidak terlalu sulit diduga bahwa menyusutnya perekonomian Bali kali ini terutama disebabkan oleh merebaknya wabah penyakit akibat virus Corona baru (Covid-19) yang menyebabkan dibatasinya pergerakan masyarakat dalam rangka mencegah atau mengurangi penyebaran pandemi yang dirasa sangat mengancam ini. Sebagai daerah kunjungan wisata, Bali langsung merasakan akibat penurunan pergerakan ini, karena hampir seketika jumlah kunjungan wisatawan, baik mancanegara maupun domestik nusantara, langsung terjun bebas. Padahal biasanya secara simultan, pariwisatalah yang menyumbang tidak kurang dari separuh perekonomian Bali.

Pertumbuhan ekonomi secara umum adalah istilah yang biasa digunakan untuk menunjukkan perubahan volume ekonomi suatu wilayah (atau negara) antarwaktu. Jika volume ekonomi tahun ini lebih besar dari volume periode sebelumnya disebut tumbuh positif. Sebaliknya jika lebih kecil, maka disebut sebagai tumbuh negatif. Seperti yang dialami Bali pada periode kuartal I tahun 2020 ini. Volume perekonomiannya lebih kecil 1,14% dibandingkan dengan volume ekonomi Bali Triwulan I tahun sebelumnya (2019). Banyak pengamat menyebut mengecilnya volume ekonomi ini dengan kata ‘’kontraksi’’. Volume ekonominya sendiri diukur dengan besaran PDB (Produk Domestik Bruto) untuk lingkup nasional dan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) untuk lingkup daerah seperti Bali.

Menggunakan ukuran itu, maka volume ekonomi Bali pada triwulan I 2020 adalah sebesar Rp 38,65 triliun. Padahal pada periode yang sama tahun sebelumnya (2019) PDRB Bali (atas dasar harga konstan) tercatat sebesar Rp 39,10 triliun. Maka terlihat bahwa ia mengecil dan dalam hitungan, pengecilannya tersebut adalah sebesar -1,14%. Terakhir Bali mengalami pertumbuhan negatif pada perekonomiannya adalah pada tahun 1998 ketika secara nasional, Indonesia (bahkan Asia) sedang dilanda krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi. Ketika itu perekonomian Bali bahkan menyusut -4,04% (Nasional -13,13%).

Baca juga:  Belajar Melalui Komunitas Belajar

Adalah anjloknya nilai mata uang rupiah ketika itu yang seketika menyebabkan meroketnya harga berbagai komoditas, terutama komoditas kebutuhan konsumsi masyarakat hingga melemparkan inflasi Bali (diwakili Kota Denpasar) sampai setinggi 75%. Berbagai kesulitan lain juga harus dihadapi masyarakat ketika itu, mulai dari lesunya usaha sehingga kesempatan kerja susah didapat dan karenanya kemiskinan meningkat. Menyusutnya kesempatan kerja, membuat pengangguran (TPT/Tingkat Pengangguran Terbuka) di Bali naik 0,5% menjadi 3,9% dan kemiskinan berada pada kisaran 8,53% (naik 3,07%).

Bali yang sebelumnya mendapatkan keberuntungan dari citranya sebagai tujuan wisata dunia, ketika itu menghadapi menurunnya penumpang penerbangan internasional sebesar -7,62%, diikuti penurunan wisatawan mancanegara (wisman) sebesar -3,51% sebagai ujian pertamanya. Apalagi, angka penumpang penerbangan domestik juga turut menambah beratnya ujian pariwisata Bali ketika itu, karena juga menyusut bahkan sampai sebesar -31,04%. Rangkaiannya jelas, berikutnya angka TPK (Tingkat Penghunian Kamar) hotel berbintang juga terbawa turun hingga -6,5%.

Peristiwa besar lain yang juga pernah mengganggu perekonomian Bali pada tingkatan yang cukup serius adalah peristiwa bom Bali. Terutama bom Bali pertama yang meledak 12 Oktober 2002. Dunia sempat memandang Bali sebagai tidak aman ketika itu dan pariwisata kembali menghadapi ujian. Penumpang penerbangan internasional turun pada tahun itu sedalam -2,64% dan total jumlah wisman yang berkunjung ke Bali mengikuti dengan penurunan sedalam -5.23%.

Terkesan relatif agak kecil pengaruhnya, karena peristiwa tersebut berlangsung menjelang akhir tahun 2002, setelah selama 9 bulan sebelumnya (dalam tahun 2002) semua berjalan normal. Pengaruh yang lebih nyata bisa dilihat pada catatan tahun berikutnya (2003), ketika jumlah penumpang penerbangan internasional menurun sedalam -23,36% diikuti total kunjungan wisman yang juga anjlok sedalam -22,76%. Sudah barang tentu TPK hotel berbintang menjadi ‘’korban’’ berikutnya dengan penurunan sedalam -9,53% pada 2002 dan -15,95% pada tahun berikutnya (2003).

Baca juga:  Karena Ini, Inflasi Bali di Februari Melandai

Beruntung, jumlah penumpang penerbangan domestik tidak terlihat terganggu ketika itu, dengan catatan yang tumbuh positif 18,41% pada 2002 dan 18,70% pada 2003 (tahun berikutnya). Keberuntungan itu cukup menyelamatkan perekonomian Bali dari penyusutan. Sekalipun melambat cukup dalam, pada tahun 2002 perekonomian Bali tercatat tumbuh positif 3,04% dan berlanjut pada 2003 dengan tetap tumbuh positif 3,57% yang sebelumnya biasa tumbuh pada kisaran 5-6% per tahun.

Yang merasakan akibat perlambatan ini di antaranya adalah angkatan kerja, dengan meningkatnya pengangguran (TPT) sebesar 1,63% di tahun 2002 dan meningkat lagi 0,84% di tahun 2003. Sementara dalam hal kemiskinan, masyarakat yang tinggal di perkotaan adalah yang terutama terpengaruh, dengan meningkatnya penduduk miskin sebesar 33,02% pada 2002 dan meningkat lagi sebesar 7,34% pada 2003.

Dalam 3 bulan pertama tahun 2020 di tengah merebaknya pandemi Covid-19, perekonomian Bali menyusut, turun -1,14%. Ini sungguh tidak biasa. Dalam 22 tahun terakhir perekonomian Bali tidak pernah terpuruk seperti ini, bahkan ketika menghadapi dua kali ujian berat melalui terorisme bom seperti diuraikan di atas. Kalau kemudian timbul pertanyaan ‘’Ini pertanda apa?’’ agaknya kewaspadaan perlu segera ditingkatkan.

Karena bukan mustahil isyarat penurunan pertumbuhan ekonomi kali ini adalah pertanda bahwa ujian yang sedang dihadapi perekonomian Bali adalah ujian yang sungguh-sungguh tidak ringan. Karenanya di sisa perjalanan tahun 2020 yang masih tiga kuartal, berbagai upaya perbaikan dituntut untuk sekurang-kurangnya menjaga perekonomian Bali agar tidak semakin terpuruk lebih dalam. Beberapa indikator yang menyertai diumumkannya penurunan perekonomian Bali kuartal I 2020, kiranya bisa disimak untuk melengkapi rujukan kajian.

Ketika pada kuartal I 2020 ekonomi Bali terkontraksi -1,14% ternyata didahului dengan menurunnya indikator penumpang penerbangan internasional sedalam -13,79% yang diikuti oleh menurunnya wisatawan mancanegara (wisman) sedalam -21,82%. Itu hanya pada triwulan I itu saja, yaitu sepanjang Januari, Februari dan Maret 2020. Tingkat penurunan yang sangat tajam yang tidak jarang dilebih-lebihkan dengan istilah ‘’terjun bebas’’.

Baca juga:  Digitalisasi Sekolah di Masa Paglebuk

Demikian pula dengan penumpang penerbangan domestik yang pada dua kali krisis bom sebelumnya masih tumbuh positif, kali ini juga turut membukukan penurunan -8,82%. Sudah barang tentu, indikator TPK (Tingkat Penghunian Kamar) hotel berbintang, langsung merasakan pengaruhnya dan memperlihatkan angka penurunan sedalam -17,74%. Akumulasi inflasi Kota Denpasar dalam tiga bulan tersebut tercatat 0,74% yang tampak seperti baik-baik saja, akan tetapi pada bulan berikutnya, April 2020 Kota Denpasar memberikan angka deflasi -0,32% yang keluar dari pola musimannya yang tentunya juga perlu dicermati.

Data pengangguran (TPT) yang diukur pada Februari 2020, hanya memberikan isyarat kecil dengan kenaikan 0,02%, karena barangkali ketika pengukuran dilakukan, situasi ketenagakerjaan Bali belum terlalu terpengaruh. Yang kiranya juga perlu ditengok adalah sumbangan sektor pertanian, karena banyak dipahami bahwa sektor pertanian biasa mengambil peran sebagai penyangga ketika sumber perekonomian utama di suatu wilayah mengalami tekanan.

Pada hitungan kuartal I 2020, sektor pertanian Bali nyaris tidak tumbuh, hanya naik 0,06%, sehingga sulit dibayangkan peranannya dalam menyangga perekonomian Bali ketika sumbangan pariwisatanya sedang mengalami tekanan. Padahal ketika bom Bali I dan II, di tahun-tahun 2002, 2003, 2005 dan 2006, sektor pertanian Bali naik cukup mengesankan dengan tingkat kenaikan masing-masing 3,67%, 3,63%, 4,20% dan 11,23%.

Sekarang kuartal I sudah lewat, kita sudah berada pada setengah bulan Mei 2020. Pandemi Covid-19 yang dirasakan di Bali belum tegas memberi gambaran penurunan, demikian pula di lingkup nasional dan bahkan global. Dengan gambaran situasi semacam ini dan kenyataan bahwa berbagai pembatasan masih diberlakukan, sulit dibayangkan kapan pariwisata Bali akan bisa menggerakkan perekonomiannya kembali. Padahal, siapa pun tidak ingin perekonomian Bali terus terpuruk. Kalau pariwisata belum bisa diandalkan, sektor apa kiranya yang bisa didorong untuk menghidupkan ekonomi Bali, sekurangnya sampai pulihnya keadaan. Sambil sekali lagi mencoba merestrukturisasi perekonomian Bali agar tidak terlalu bergantung pada sektor pariwisata, seperti yang sudah banyak kali disampaikan.

Penulis, Kepala BPS Bali 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *