Petugas Dishub Denpasar mengecek surat jalan pengguna lalulintas yang masuk ke Denpasar. (BP/eka0

Oleh: GPB Suka Arjawa

Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM) yang diterapkan Kota Denpasar untuk menekan aktivitas sosial dalam rangka menekan penyebaran COVID-19 merupakan salah satu alternatif dari sekian alaternatif yang ada. Karantina (lockdown) merupakan pilihan paling ketat yang memungkinkan tidak semua penduduk keluar rumah.

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSPB) lebih lunak daripada karantina, karena dimungkinkan bagi kendaraan terpilih untuk lalu-lalang. Pembatasan Kegiatan Masyarakat bolehlah dikatakan lebih lunak dari PSBB. Masyarakat dibolehkan keluar tetapi dengan tujuan yang jelas dan akan lebih baik lagi apabila memakai surat bukti atau pengantar.

Dengan demikian, tujuannya adalah mendisiplinkan masyarakat. Orang bepergian memang sesuai dengan keperluannya, bukan melenggang di jalan raya tanpa tujuan yang jelas. Bukan sekadar bepergian saja tetapi juga ngumpul-ngumpul, bergerombol dan sejenisnya. Apabila ditarik secara demikian, maka PKM merupakan kebijakan yang dapat dikatakan sebagai pembatasan khas perkotaan.

Masih ada sebenarnya pilihan lain yang dapat dilakukan untuk membatasi kegiatan masyarakat seperti yang sudah dilakukan oleh beberapa daerah. Pemberlakuan jam malam, larangan ngumpul dalam jumlah tertentu. Meskipun dua pembatasan ini mirip dengan darurat militer yang diterapkan di masa  genting perang, akan tetapi memang dimungkinkan.

Melakukan pembatasan kegiatan masyarakat di malam hari mempunyai tingkat keuntungan yang lebih besar. Paling tidak, memungkinkan untuk memberlakukan antara enam sampai delapan jam.

Penyebaran virus Corona sudah jelas tidak hanya siang hari tetapi juga terjadi malam hari. Pergerakan masyarakat di perkotaan, tidak saja terjadi di siang hari, tetapi intensitasnya juga tinggi pada malam hari. Masyarakat lebih suka berbelanja di malam hari karena suasana lebih sejuk dan tidak panas. Dan tingkat keintiman pergaulan masyarakat justru lebih intens terjadi pada malam hari.

Baca juga:  Budaya Melek Bencana Kekeringan

Dengan demikian, malam hari juga menjadi waktu yang memungkinkan penyebaran virus Corona. Gelombang kedua peningkatan virus ini di Korea Selatan, justru terjadi dimulai pada malam hari. Virus ini terjangkit mulai dari klub malam yang beroperasi di Kota Seoul. Dari situ kemudian berbiak berlipat-lipat. Kelengahan manusia juga sering terjadi pada malam hari. Suasana adem dan tidak panas, membuat suasana ngumpul-ngumpul itu bisa tidak terasa kelamaan.

Malam hari juga menjadi waktu bagi anggota masyarakat untuk ngumpul-ngumpul. Dengan kegiatan yang dilakukan pada siang hari, hampir di berbagai belahan dunia, memakai malam hari sebagai kegiatan untuk ngumpul-ngumpul. Fenomena ini bukan saja sebuah kebiasaan, tetapi menjadi kebudayaan. Munculnya pergelaran seni di malam hari, sampai dengan klub-klub malam itu, dapat dilacak dari hal ini. Karena itu, jam malam dan pembatasan jumlah orang berkumpul dapat dipakai sebagai pilihan untuk melakukan kebijakan bagi kota-kota tertentu.

Di banyak kota di Indonesia, angkutan antarkota atau antarprovinsi sudah tidak dibolehkan untuk memasuki wilayah kota. Di samping mengganggu lalu lintas, tonase dari kendaraan antarprovinsi ini dimungkinkan untuk merusak jalanan kota, sehingga telah ada jalan khusus untuk kendaraan seperti ini.

Jadi, lebih mudah mengawasi lalu-lalang kendaraan seperti ini kalaupun diberlakukan jam malam di sebuah kota. Atau akan lebih baik kalau kendaraan seperti ini juga tidak dibolehkan melintas di wilayah kota bersangkutan. Dengan sendirinya juga kegiatan bisnis dan berbagai kegiatan lainnya harus hapus di malam hari. Cara seperti ini, paling tidak akan mampu menekan penyebaran virus Corona di malam hari.

Baca juga:  Kembali Turun, Tambahan Kasus COVID-19 Nasional di Kisaran Empat Ribuan Orang

Cara lain adalah pembatasan terhadap beroperasinya pasar. Pemberlakuan pembatasan operasional juga merupakan pilihan yang dapat diterima. Ciri paling kentara dari pasar tradisional Indonesia adalah berdesakannya orang. Keberdesakan ini bukan semata-mata karena pasarnya sempit, akan tetapi pasar merupakan arena pertemuan sosial antarkerabat, antarteman lama, atau antarseteru.

Di Indonesia, perilaku pasar tradisional ini juga berpengaruh kepada pasar modern. Jadi, pembatasan pasar ini sesungguhnya juga dapat dilakukan. Akan tetapi, kelemahannya, mengubah perilaku masyarakat tradisional ini sulit dilakukan.

Meskipun pasar baru buka jam 11 siang, misalnya, pergerombolan masyarakat cenderung meningkat karena masyarakat seolah serentak pada awal-awal jam buka berdatangan ke pasar. Justru kemudian letak bahayanya pada titik ini, karena hal paling rawan dalam penyebaran Covid-19 adalah pergerombolan tersebut.

Dengan demikian, PKM Denpasar ini dapat dikatakan sebagai jalan tengah dari berbagai kebijakan yang diungkapkan di atas tadi. Ia dapat mengatasi jam malam, juga mengatasi kesulitan terhadap penutupan pasar, tanpa harus melakukan karantina dan PSBB. Meski demikian, harus diakui bahwa PKM yang dilakukan Kota Denpasar banyak menimbulkan pertanyaan.

Bukan saja oleh warga Denpasar sendiri, akan tetapi mereka yang hidup di pegunungan juga sempat menanyakannya. Artinya, apakah seserius itu anggota masyarakat akan dihentikan dan ‘’dibelokkan’’ untuk kembali ke tempat asal. Komponen pemerintahan Kota Denpasar sudah mengatakan bahwa kebijakan itu tidaklah seperti yang dibayangkan orang, tetapi bagaimanapun ini perlu. Mereka yang mempunyai surat tugas, keterangan dan keperluan yang benar, pasti akan diizinkan.

Baca juga:  Pariwisata Indonesia Masih Lemah

Tetapi bahwa pertanyaan tersebut muncul di mana-mana, ini membuktikan bahwa Denpasar merupakan tempat yang menjadi aktivitas bagi masyarakat di mana saja di seluruh Bali. Secara geografis, Kota Denpasar terjangkau dari mana-mana dari seluruh Bali. Kenyataannya memang demikian, dengan kualitas jalan yang bagus, Denpasar dapat ditempuh hanya dalam waktu dua sampai tiga jam. Artinya terjangkau dalam hitungan kerja satu hari. Itulah yang harus diperhitungkan dalam menerapkan PKM ini.

Kebijakan pembatasan ini telah secara formal dilakukan oleh Pemerintah Kota Denpasar. Karena itu, secara sosial yang paling awal harus diperhatikan adalah memberikan penjelasan kepada masyarakat manakala terjadi penghentian atau penyetopan terhadap anggota masyarakat di pos-pos pemantauan di kota yang sudah ditetapkan sekian titik itu. Kesopanan adalah yang utama.

Dengan sopan, masyarakat akan tersentuh perasaannya meskipun harus disuruh berbalik. Karena yang membuat kebijakan ini adalah pemerintah daerah, maka pihak kepolisian pastilah terlibat di dalamnya. Pihak kepolisian pasti sudah memahami cara-cara ini untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat.

Penulis, staf pengajar Sosiologi FISIP Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *