Prof. I Gusti Ngurah Mahardika. (BP/Istimewa)

Oleh: Gusti Ngurah Mahardika

Lacak virusnya dengan ketat. Sediakan rumah sakit memadai. Longgarkan pembatasan sosial jika warga bertingkah laku aman Covid-19: memakai masker, membiasakan cuci tangan, menjaga jarak jika harus keluar rumah.

Tidak Efektif

Banyak orang kecewa. Saya kecewa. Dua bulan warga sudah diminta melakukan Pembatasan Sosial Mandiri (PSM), kasus positif Covid-19 masih saja bertambah banyak. Saya sebut mandiri karena pada hakikatnya warga diminta melakukan sendiri.

Kebutuhan tidak disediakan. Masker diminta mengadakan sendiri. Tingkah laku aman Covid-19 dilakukan atas inisiatif setiap warga. Di beberapa wilayah, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sudah diterapkan.

Yang lebih aneh, ada wilayah yang memodifikasi PSBB menjadi Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM) justru setelah PSM sudah berlangsung hampir dua bulan. Contohnya Kota Denpasar. Itu hanya berarti penyebaran tak terkendali. Dua bulan waktu terbuang percuma.

Pengendalian pandemi Covid-19 di Indonesia, pada hemat saya, dari awal sudah terlambat. Ini juga berlaku bagi banyak negara di dunia, termasuk negara adidaya Amerika Serikat (AS). WHO pun, bagi saya, terlambat membunyikan lonceng pandemi.

Sejak Januari, risiko pandemi sudah sangat gamblang di Kota Wuhan, Tiongkok. Penularan antarmanusia sudah sangat terbukti. Warga Tiongkok sedang banyak-banyaknya berwisata ke luar negeri.

Sebagian bisa saja sudah membawa virus tanpa gejala atau dengan gejala ringan. WHO baru menyebut virus baru ini sebagai Public Health Emergency of International Concern pada 30 Januari 2020. Banyak negara tak menggunakan waktu ini untuk mempersiapkan diri, termasuk Indonesia. WHO juga baru menyatakan Covid-19 sebagai pandemi pada 11 Maret 2020.

Saya sudah geregetan saat itu, kenapa WHO lambat mendeklarasikan pandemi. Karenanya, banyak negara lengah.

Dalam berbagai kesempatan wawancara dengan jurnalis, saya selalu menyebut bahwa secara teoretis, virus itu sudah tiba di Indonesia sejak Januari. Logikanya sederhana. Virus ini begitu mudahnya menular antarorang. Sebagian besar yang tertular tanpa gejala sama sekali atau gejala flu ringan.

Baca juga:  Rekontruksi Moralitas Pemilu 2024

Indikasi bahwa virus itu telah tiba di Indonesia justru datang dari luar negeri. Wisatawan dikonfirmasi tertular Covid-19 setelah kembali dari Bali. Saat itu, upaya mengabaikan kasus tampak nyata.

Banyak pejabat berkomentar bahwa yang bersangkutan tidak kontak dengan orang lain selama di Bali. (Helllloooooo, memang hotel tempat mereka menginap tak ada orang? Memang kendaraan yang ditumpangi dari dan ke bandara tak pakai sopir?).

Kasus konfirmasi di Indonesia baru diakui resmi tanggal 2 Maret 2020. Pada pengamatan saya, baru sejak hari itu Indonesia sigap. Rumah sakit khusus disiapkan. Satgas nasional dibentuk. Diagnostik dibenahi.

Protokol Terbalik

Setelah masa itu, uji cepat Covid-19 (rapid test) diadakan dan diaplikasikan di Indonesia. Saya amati di berbagai kesempatan, interpretasinya kacau. Rapid test yang dipakai adalah deteksi antibodi terhadap Covid-19.

Jika positif, yang bersangkutan pernah tertular. Rapid test tidak bisa diinterpretasikan seseorang membawa virus Covid-19. Yang negatif juga tak dijamin tidak sedang menyebarkan virus.

Protokolnya terbalik. Yang positif dikarantina, yang negatif dibebaskan. Termasuk belakangan dibebaskan bepergian. Awas, interpretasi ini fatal! Bahkan, teman dokter ada yang memamerkan hasil rapid test-nya negatif.

Kita saat ini berperang dengan virus. Alat uji paling peka hanya polymerase chain reaction (PCR). Rapid test hanya bisa dipakai untuk memetakan dengan cepat penyebaran virus. Itu pun kalau alatnya tidak error.

Rapid test yang baik mestinya menyediakan reagensia positif dan negatif. Sebelum digunakan, secara periodik, misalnya setiap minggu atau sebelum digunakan untuk pengujian skala besar, kit diuji dulu. Reagensia yang positif harus memberi sinyal positif. Reagensia negatif harus tidak reaktif.

Uji PCR itu sangat sensitif. Tetapi, uji canggih ini juga punya kekurangan. Uji ini mendeteksi gen virus. Pada pasien yang tertular, masalahnya, virus tidak selalu dikeluarkan dalam dahak atau lendir pernapasan.

Jika positif, yang bersangkutan pasti positif. Jika negatif, sampel perlu diambil 5-6 jam berikutnya. Jika tetap negatif, saat itu yang bersangkutan sah tak membawa virus.

Baca juga:  Akreditasi, antara “Branding” dan Layanan

Tetapi itu tak berlangsung lama. Yang bersangkutan bisa saja tertular sesaat setelah pengambilan specimen. Yang negatif pun harus tetap menerapkan tingkah laku aman Covid-19.

Penelusuran yang Serius dan Kemauan Politik

Dalam berbagai tulisan dan wawancara dengan wartawan, pelacakan kontak (contact tracing) adalah kunci menekan penyebaran Covid-19. Jika contact tracing dilakukan, hasilnya adalah data, bukan pernyataan masyarakat adat melakukan contact tracing sendiri.

Dari satu pasien terkonfirmasi, jumlah pasien kontak yang dilacak minimum 3 orang, jika jumlah rata-rata anggota keluarga adalah 3. Semua anggota keluarga berisiko. Kita tahu betul, konsep keluarga di Indonesia adalah keluarga yang diperluas (extended family), yang jumlahnya bisa puluhan orang.

Pada hemat penulis, penelusuran tak dilakukan dengan serius di Indonesia. Jika awal April jumlah kasus di Indonesia 1.600-an, awal Mei mestinya 102 ribuan. Perhitungannya begini. Masa inkubasi penyakit Covid-19 rata-rata 5 hari.

Sebulan berarti 6 kali masa inkubasi. Jika kemampuan pasien menularkan virus ke dua orang (istilahnya basic reproduction number atau R0=2; untuk di luar negeri R0 dianggap 3), jumlah kasus mestinya 2 pangkat 6 kali 1.600. Angka resmi Indonesia di WHO saat itu berjumlah 10.118 kasus.

Rendahnya jumlah deteksi diakui oleh Presiden di berbagai kesempatan. Kapasitas diagnostik jauh dari mencukupi. Ini juga dialami banyak negara, termasuk AS.

Kunci keberhasilan lain adalah pembatasan sosial yang serentak. Jika mau, PSBB diselenggarakan serentak dari awal. Pembatasan skala daerah kurang efektif, karena limpahan kasus baru tetap terjadi kalau pembatasan dilonggarkan.

Di samping itu, PSBB pasti bukan pilihan. Kemampuan daerah dan negara memenuhi kebutuhan pokok dan mengawasi sangat tidak memadai.

Pemulangan pekerja migran membuat kapasitas daerah dan negara kewalahan. Berdasarkan informasi yang penulis punya, gelombang pemulangan pekerja migran masih akan terjadi. Mereka adalah warga negara.

Negara wajib menerima mereka pulang. Bagaimana mendeteksi agar mereka tak berisiko menyebarkan Covid-19 dari negara asal, bukan pekerjaan ringan.

Baca juga:  Dua Dokter dan Perawat Positif COVID-19, Giliran IGD RSUD Sanjiwani Tutup

Menyadari dampak besar pembatasan sosial terhadap ekonomi, pemerintah mulai melonggarkan pembatasan sosial. Transportasi udara sudah diperbolehkan dengan syarat khusus. Mereka yang di bawah 45 tahun boleh kembali bekerja.

Angka “45” ini membuat rahang bawah saya tergantung. Setahu saya, mereka yang berisiko kena Covid-19 yang berat dan fatal adalah umur 60 tahun ke atas.

Saya menduga kasus-kasus fatal banyak terjadi pada pasien yang berusia 45 tahun di Indonesia. Itu bisa terjadi karena banyak hal. Salah satunya karena terlambat dirawat intensif. Masyarakat menunggu klarifikasi pemerintah dan Departemen Kesehatan untuk data ini.

PSM atau PKM atau PSBB yang sedang dilakukan suatu daerah bisa ambyar. Dua bulan PSM, yang mungkin akan diperpanjang, tidak berguna sama sekali.

Pada hemat penulis, mengejar pelacakan virus tak mungkin kita lakukan. Pelacakan mesti tetap dilakukan dengan protokol yang benar. Yang lebih penting, pemerintah segera menyediakan kamar perawatan rumah sakit untuk kasus berat yang memadai.

Penulis pernah hitung untuk Indonesia dengan 280 juta penduduk, jumlah kamar rumah sakit dengan ventilator minimum 11.200 unit. Untuk diketahui, Jerman konon punya 36.000 kamar seperti itu.

Pasien berat dari negara lain bahkan sampai diterbangkan ke sana. Jika Indonesia 50 persen saja, itu sudah memberikan rasa aman kepada masyarakat. Jika dana yang diperlukan Rp 1 miliar per kamar, dana yang diperlukan menjadi minimal Rp 11 triliun.

Dana penanggulangan COVID-19 konon mencapai Rp 400 triliun. Jumlah di atas hanya 2,75% dari total dana yang dianggarkan. Keputusan politik sangat diperlukan. Sebagai warga negara yang baik, kita harus dukung pemerintah untuk mengambil keputusan politik itu.

Setelah protokol diperbaiki dan rumah sakit tersedia, pembatasan sosial dapat dilonggarkan dengan syarat warga bertingkah laku aman Covid-19: memakai masker, membiasakan cuci tangan, menjaga jarak jika harus keluar rumah.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *