Peternak sedang mengecek babi peliharannya. (BP/ina)

BANGLI, BALIPOST.com – Harga babi di tingkat peternak belakangan ini berangsur-angsur membaik. Jika sebelumya peternak hanya bisa menjual babinya dengan harga Rp 15 ribu per kilogram, kini peternak sudah bisa menikmati harga jual Rp 25 ribu per kilogram. Membaiknya harga babi disebabkan karena turunnya populasi babi saat ini.

Ketua Gabungan Usaha Peternakan Babi Indonesia (GUPBI) Bangli Sang Putu Adil, Senin (25/5) mengungkapkan kenaikan harga babi sudah terjadi sejak semingguan terakhir. Meski naik ke harga Rp 25 ribu per kilogram, namun harga tersebut belum memberikan keuntungan bagi peternak. “Baru break even. Yang managemennya bagus sudah ada untung sedikit. Namun yang managemen kurang belum untung. Kalau break event kita sih sebenarnya Rp 26 dengan harga pakan kemarin. Jadi harus diatas Rp 26 ribu baru bisa dapat untung,” terangnya.

Baca juga:  Tahun 2018, Target Pertumbuhan Konsumsi Listrik PLN Turun

Menurut Sang putu Adil, naiknya harga babi belakangan ini karena populasi babi di Bali menurun akibat banyaknya kasus kematian babi. Disamping itu, populasi juga turun karena usaha para peternak menjual babi dengan mepatung masal secara bergilir. “GUPBI juga melakukan terobosan dengan ikut meramaikan pengiriman babi ke luar Bali,” ungkapnya.

Selain babi siap potong, harga bibit babi juga mengalami kenaikan harga. Jika sebelumnya bibit babi harganya berkisar Rp 250 ribu per ekor, kini sudah kembali normal ke harga Rp 500-700 ribu per ekor. “Bibit sangat laku drastis,” ujarnya.

Baca juga:  Ini Cara Jembrana Pertahankan Populasi Sapi Bali

Ungkap Sang Putu Adil, sampai saat ini kasus kematian babi masih terjadi. Penyebab kematian babi yang diduga akibat virus, menurutnya sulit dihentikan sebelum ditemukan vaksin yang bisa menanggulanginya. “Sebelum vaksinnya ada, selama itu kasus kematian babi tidak bisa berhenti,” katanya.

Sebagai sesama peternak babi, ia pun telah mengimbau para peternak yang mengulang lagi usahanya dari nol untuk waspada terhadap virus tersebut dengan menerapkan bio security dengan ketat. Kata dia, sebaiknya peternak yang ingin mengulang usahanya kembali, mulai memelihara babi minimal enam bulan atau setahun kemudian. Itupun dengan bio security yang ketat. Sebab virus penyebab kematian babi selama ini sangat berbeda dengan virus yang lain. Virus ini bisa hidup di suhu rendah dan tinggi dan bisa memakan kekebalan.

Baca juga:  Populasi Sapi di Bangli Turun 10.000 Ekor

Di sisi lain, Peternak asal Desa Jehem, Tembuku itu memandang kedepan babi jenis local perlu diaktifkan. Walaupun babi local produksinya rendah namun daya tahannya lebih kuat dan ongkos produksinya lebih rendah karena pakannya bisa seadanya. “Peruntukannya memang bukan untuk daging tapi untuk guling bagus sekali,” pungkasnya. (dayu rina/Balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *