Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Euforia normal baru (new normal) menyeruak di tengah kehidupan keseharian masyarakat, seakan melupakan virus Corona atau COVID-19 yang masih bebas berkeliaran di tengah masyarakat dalam diri OTG (orang tanpa gejala). Tinggal di rumah saja selama sekitar tiga bulan pada masa PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) bagai mengekang kebebasan kehidupan umum masyarakat.

Sehingga ketika ada wacana era new normal (hidup normal baru), masyarakat bagai kuda yang dilepas dari kandang. Ajakan pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk memasuki masa normal baru berdamai dengan COVID-19 sempat membuat beberapa pihak terkesiap akibat pemahaman yang berbeda-beda.

Di satu pihak menganggap bahwa kita harus mengalah dengan keberadaan COVID-19 yang belum jelas kapan akan menghilang. Sementara pihak lain beranggapan bahwa kita harus segera bangkit secara bertahap dari keterpurukan ekonomi akibat pandemi COVID-19.

Peningkatan produktivitas memang harus dilakukan dengan tetap mengedepankan protokol kesehatan guna menghentikan penyebaran COVID-19. Situasi pandemi ini harus disiasati agar kehidupan keseharian kita dapat berjalan normal dalam pola tatanan kehidupan yang baru. Kerangka hidup baru yang produktif, namun aman dari pandemi COVID-19.

Jika selama ini kita ‘’sembunyi’’ dengan stay at home, work from home, dan pray at home, maka kini saatnya kita ‘’tampil’’ dengan kehidupan normal yang baru dengan berpedoman pada protokol kesehatan yang ada, hingga pandemi COVID-19 benar-benar menghilang dari lingkungan kehidupan kita. Kembali produktif dengan tetap menjaga physical/social distancing serta menghindari kerumunan dan selalu menggunakan masker.

Baca juga:  Sampradaya

Menjalani kegiatan sehari-hari dengan tata laksana hidup yang bersih dan sehat, rutin dan rajin mencuci tangan dengan sabun, menghindari mengusap mata, hidung dan mulut. Menjaga imunitas tubuh dengan mengonsumsi makanan bergizi cukup, serta selalu berolahraga guna menjaga stamina. Semua dalam tatanan keseimbangan kehidupan keseharian masyarakat.

Bagi masyarakat Bali, tentu tidak asing dengan upaya menjaga keseimbangan kehidupan secara komprehensif. Filosofi hidup krama Bali Tri Hita Karana telah mengajarkan betapa pentingnya nilai keseimbangan dalam keseharian kehidupan kita. Seimbang dalam berhubungan dengan sesama manusia, alam lingkungan sekitar maupun dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Keseimbangan secara komprehensif, baik kondisi fisik, mental, sosial maupun spiritual. Keseimbangan dalam artian keharmonisan, menjadi kata kunci dalam filosofi ini agar tercapai kebahagiaan/kesejahteraan.

Bisa dikatakan bahwa munculnya COVID-19 adalah disebabkan karena adanya gangguan atas keseimbangan alam yang telah terjadi di area munculnya COVID-19 tersebut. Ketika keseimbangan kehidupan alam terganggu maka alam secara otomatis akan memberi reaksi agar keseimbangan yang terganggu dapat pulih kembali.

Tentu kita masih ingat saat munculnya berbagai hama tanaman di Indonesia, akibat penggunaan pestisida yang berlebihan. Sebaran pestisida yang berlebihan di alam telah ikut memusnahkan binatang predator hama. Akibatnya, hama berkembang biak secara tidak terkendali tanpa ada predatornya. Seperti ketika munculnya hama tikus akibat hilangnya ular dan burung hantu yang merupakan predator tikus.

Baca juga:  Problem Migrasi Iklim

Melalui tatanan hidup normal baru, tentu saja tidak cukup hanya demi mengejar ketertinggalan ekonomi masyarakat akibat keterpurukan yang telah terjadi. Namun semua harus dalam kerangka pola hidup baru dengan kesadaran bahwa kita masih hidup berdampingan dengan pandemi COVID-19 dalam keseharian kehidupan kita.

Ruang publik seperti halnya pusat perbelanjaan, tempat ibadah, sekolah, area pelayanan publik, ataupun objek wisata, memang menjadi kawasan paling rentan terjadinya penyebaran COVID-19 di era hidup normal baru. Hal ini mengingat di ruang-ruang publik tersebut banyak peluang terjadinya kerumunan massa, sementara masyarakat masih dilanda euforia hidup bebas. Sedang di sisi lain COVID-19 masih mengintai melalui OTG.

Realitas melonjaknya jumlah pasien positif terpapar COVID-19 di Bali tentu menjadi catatan kita bersama. Mulai diizinkannya pasar tradisional beroperasi kembali ternyata menjadi pemicu terjadinya hal tersebut, meski protokol kesehatan tetap diterapkan. Sehingga perlu adanya tatanan hidup normal baru yang lebih ketat, guna mengendalikan penyebaran COVID-19.

Tidak ada salahnya jika kita belajar dari apa yang dilakukan Gugus Tugas Pengendalian COVID-19 Malioboro, Yogyakarta. Kawasan wisata utama Kota Yogyakarta yang mulai dibuka tersebut menerapkan protokol kesehatan yang cukup ketat bagi pengunjungnya, di samping pembatasan jumlah pengunjung sebagai upaya mengurangi terjadinya kerumunan massa.

Baca juga:  Sambut Era Baru, Pasar Oleh-oleh Lakukan Persiapan

Selain menjalankan protokol kesehatan standar dengan wajib mengenakan masker, menjaga jarak, serta wajib cuci tangan, para pengunjung dan pengelola Malioboro juga wajib melakukan scan QR code melalui perangkat smartphone masing-masing sebagai upaya melacak pengunjung ruang publik tersebut.

Sehingga jika ditemukan orang yang positif tepapar COVID-19 di kawasan tersebut, dengan cepat dapat dilakukan pelacakan dan pengendalian secara tepat dan terkendali karena semua data pengunjung sudah tercatat. Menapaki ruang publik dalam era tatanan hidup normal baru memang membutuhkan kerja sama semua pihak secara konsisten dan konsekuen, agar kita dapat melewati masa pandemi COVID-19 ini dengan tetap menghindari jatuhnya korban yang sia-sia. Kita harus kembali meneguhkan sikap religius krama Bali.

Sendi sosial-budaya krama Bali sebagai social capital harus kembali selalu menjadi panduan dan benang merah semua langkah para stakeholder dalam menjalani tatanan normal baru. Kembali ke sikap yang sesuai dengan local wisdom krama Bali, menjadi pilihan yang tak terelakkan.

Menapaki tatanan new normal dengan selalu mulat sarira menjadi langkah yang harus kita lakukan bersama agar terjadi kembali keseimbangan sesuai keharmonisan/kesejahteraan yang kita inginkan. Keseimbangan sesuai Tri Hita Karana dalam nuansa parhyangan, pawongan maupun palemahan.

Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *