Cokorda Gede Bayu Putra. (BP/Istimewa)

Oleh: Cokorda Gde Bayu Putra

Pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam kurun waktu empat bulan terakhir disibukkan dengan kegiatan penyelamatan dan penanggulangan pandemi COVID-19. Pandemi COVID-19 tidak saja berkaitan dengan dampak kesehatan, namun juga berhubungan dengan masalah ekonomi.

Terbukti geliat ekonomi di beberapa daerah terlihat lesu, termasuk di Bali yang bertumpu pada sektor pariwisata. Dampak penutupan bandara dan meluasnya penyebaran COVID-19 di hampir seluruh negara tempat market wisatawan asing potensial yang biasanya selalu berkunjung ke Bali, menyebabkan banyak hotel dan restoran yang memutuskan untuk menutup sementara operasional usahanya.

Tentu penutupan sementara tersebut juga dibarengi dengan penurunan pajak hotel dan restoran yang disetorkan ke kas daerah. Alhasil, beberapa agenda pembangunan strategis pemerintah daerah tertunda dan anggaran dialoksikan sebesar-besarnya untuk kegiatan penanggulangan COVID-19, termasuk salah satunya pemberian bantuan perlindungan sosial bagi masyarakat.

Situasi tak menentu ini tentu akan berdampak signifikan terhadap kestabilan keuangan daerah. Dan jika berkepanjangan bagi kepariwisataan Bali, tentu akan melumpuhkan hampir semua sektor pendukung pariwisata Bali. Harapan untuk segera memulihkan situasi normal sepertinya menuju sebuah jalan terang, sejak Presiden Republik Indonesia pada pertengahan Mei menyatakan sebuah optimisme bersama menuju tatanan baru masyarakat produktif yang aman dari COVID-19.

Maka dengan cepat bermunculan sebuah perencanaan, gagasan dan protokol dalam menatap dunia baru yang dikenal dengan era kenormalan baru. Dengan menerapakan sebuah protokol ketat yang berorientasi pada kesehatan, kebersihan, dan keselamatan, rasa-rasanya muncul sebuah harapan menuju bangkitnya kembali ekonomi kepariwisataan di Bali.

Baca juga:  Kenormalan Baru, Kebablasan dan Seleksi Alam

Di beberapa media sosial juga sudah terlihat perhatian serius beberapa pemerintah daerah di Bali dalam meninjau kesiapan hotel, restoran dan objek daya tarik wisata menerapkan Standard Operating Procedure (SOP) pada saat new normal nantinya. Penerapan SOP dan protokol kesehatan yang ketat bagi wisatawan sejatinya merupakan sebuah bagian dari promosi untuk menghadirkan kembali wisatawan ke Bali, karena ada suasana perasaan nyaman dan aman yang dirasakan wisatawan untuk berlibur kembali ke Bali.

Dalam menatap kehidupan kenormalan baru, tentu kebijakan pemerintah daerah di Bali tidak semata-mata terfokus pada sektor kepariwisataan. Secara simultan, perhatian juga difokuskan pada strategi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat seperti pendidikan dan kesehatan. Maka dari itu, pengambilan kebijakan pemerintah daerah harus betul-betul terukur dan terkendali, seiring dengan asumsi penerimaan daerah yang bakal diprediksi masuk ke kas daerah pascapandemi.

Dampak pandemi COVID-19 tentu harus dipandang sebagai sebuah pelajaran dalam menatap strategi baru merumuskan kebijakan-kebijakan publik pada era kenormalan baru. Kebijakan publik secara fungsi menyangkut pada tiga aspek, yaitu responsif, futuristik, dan antisipatif.

Kebijakan yang bersifat responsif merupakan sebuah kebijakan yang dibuat karena merespons permasalahan yang muncul, sedangkan kebijakan yang bersifat futuristik dipandang sebagai kebijakan untuk memberdayakan potensi serta mencapai tujuan masa depan dan kebijakan yang bersifat antisipatif ialah kebijakan yang dibuat untuk memungkinkan mengatasi timbulnya suatu masalah di masa depan.

Baca juga:  Hak Waris Wanita Menurut Adat Bali

Kebijakan pemerintah daerah dikatakan baik dan berkualitas jika dibuat secara alamiah, mengandung unsur inovatif dan kreatif, bersifat adil, dapat dilaksanakan secara mudah serta mampu mengubah perilaku positif orang-orang yang dikenai kebijakan tersebut. Berdasarkan paramater indikator tersebut, sudah saatnya pemerintah daerah di Bali memperkuat fungsi kelitbangan sebagai motor penggerak perumus kebijakan strategis pemerintah daerah pada tatanan new normal yang mengandung unsur kelimiahan dan dapat dipertanggungjawabkan.

Sesungguhnya pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sejak tahun 2016 diberikan ruang untuk memperkuat fungsi kelitbangan dengan membentuk Badan Penelitian dan Pengembangan. Melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2016 tentang Pedoman Penelitian dan Pengembangan di Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintahan Daerah dijelaskan dengan detail pentingnya sebuah peran Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) sebagai pelaksana Kelitbangan di suatu pemerintah daerah.

Di Provinsi Bali, nampaknya belum seluruh kabupaten melihat peluang memperkuat pelaksanaan kelitbangan dengan membentuk Balitbangda. Kelitbangan sebagai sebuah proses terdiri dari kelitbangan utama dan kelitbangan pendukung.

Kelitbangan utama mencakup penelitian, pengkajian, pengembangan, perekayasaan, penerapan, pengoperasian, dan evaluasi kebijakan. Sedangkan kelitbangan pendukung mencakup peningkatan kapasitas kelembagaan, penguatan ketatalaksanaan, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, peningkatan kualitas perencanaan dan evaluasi program, fasilitasi inovasi daerah, pengembangan basis data kelitbangan, penguatan kerja sama kelitbangan dan pemenuhan sumber daya organisasi lainnya.

Baca juga:  Fakta Terkini Membangun Customer Loyalti Melalui "WOW Customer Experience" Pada Bisnis Tour and Travel

Kelitbangan utama dan pendukung tersebut dapat didukung dengan beberapa kegiatan penunjang seperti fasilitasi, advokasi, asistensi, supervisi dan edukasi. Bagi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, kehadiran Balitbangda sebagai penyelenggara kelitbangan merupakan sebuah jembatan munculnya invovasi daerah baik di bidang pelayanan publik, penyelenggaraan pemerintahan, keuangan daerah, kerja sama daerah, dan tentunya percepatan akselerasi pemerintahan dan pembangunan pada tatanan new normal.

Keberadaan Balitbangda juga menjadi sebuah panggung kolaborasi ide serta pemikiran kepala daerah, birokrat, praktisi, dan akademisi dalam menghadirkan sebuah kebijakan publik yang berkelanjutan dan berdaya saing. Kolaborasi tersebut dimungkinkan dengan membentuk Majelis Pertimbangan Kelitbangan, Tim Pengendali Mutu, dan Tim Kelitbangan sesuai amanat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2016 tentang Pedoman Penelitian dan Pengembangan di Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintahan Daerah.

Dalam upaya menyongsong tatanan kehidupan baru, tentu fungsi kelitbangan sebagai alat merumuskan strategi kebijakan pemerintah daerah sangat vital peranannya. Utamanya, menghadirkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang bertumpu pada inovasi daerah guna percepatan peningkatan pendapatan asli daerah.

Hanya dengan inovasi di bidang peningkatan pendapatan daerah, berbagai kebijakan pro-rakyat dapat kembali diwujudkan.

Penulis, Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis dan Pariwisata Universitas Hindu Indonesia

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *