GIANYAR, BALIPOST.com – Setelah puluhan tahun vakum, kerajinan tenun di Banjar Pesalakan, Desa Pejeng Kangin, Kecamatan Tampaksiring kini kembali menggeliat. Hal ini dilakukan oleh warga yang dirumahkan akibat pandemi Covid-19. Para wanita yang sebelumnya bekerja di sektor pariwisata ini, kini kembali beralih bertenun membuat kain ciri khas Pesalakan, Pejeng Kangin, Tampaksiring.
Kelihan Dusun, Banjar Pesalakan, Desa Pejeng Kangin, Made Astawa menjelaskan, upaya membangkitkan tenun di banjar setempat di mulai sejak 12 Mei 2020. Hal ini bermula dari kebingungan warga mencari pekerjaan, karena dominan telah dirumahkan akibat dampak Covid-19. Akhirnya warga memilih untuk kembali belajar tenun. “Warga berinisiatif dalam kondisi seperti ini dan memilih membangkitkan tenun yang sudah puluhan tahun kepavakuman” jelasnya saat ditemui, Jumat (26/6).
Diungkapkan, tenun di Banjar Pesalakan itu sempat jaya di era pemerintahan Presiden Soeharto. Waktu itu pariwisata mulai berkembang di Bali, sehingga banyak pengrajin tenun beralih profesi ke dunia pariwisata. Ada yang bekerja di hotel, restoran, hingga guide dan supir. “Kalau saya perkirakan ada 25 tahun mati suri, karena para pengrajin beralih ke dunia pariwisata secara langsung. Memang ada yang masih menjalankan tapi satu dua orang saja sebagai sambilan,” ungkapnya.
Astawa menyampaikan, saat ini sudah ada satu kelompok tenun di Banjar setempat yang terdiri dari 12 orang. Rencananya akan membentuk satu kelompok lagi. Dominan dari anggota kelompok yang ada saat ini merupakan tenaga pariwisata yang sebelumnya menjadi karyawan hotel dan restoran. “Mereka karyawan hotel dan restoran yang saat ini dirumahkan karena pandemi. Sehingga mereka belajar dan mengingat kembali untuk membangkitkan tenun ini,” katanya.
Dijabarkan dari 12 orang tersebut, ada dua orang yang memang dari 25 tahun lalu masih menjadi pengrajin tenun. Namun kegiatan menenun ini hanya dijadikan sambilan. Dikatakan, dua orang tersebut menenun hanya digunakan untuk dirinya, tanpa mematok untuk dijual belikan. “Sehingga saat ini mereka berdua selaku pengajar di kelompok tersebut bagi anggota yang baru bergabung,” katanya.
Astawa menambahkan, dulu para pengrajin membuat kamben, destar, dan saput. Sementara sekarang sesuai permintaan, bisa digunakan senteng, taplak meja, serta perhiasan kamar sesuai kebutuhan. “Sekarang alat-alat yang digunakan juga baru bangkit dan biaya perbaikan ada dari salah satu donatur asal Selandia Baru dan dia juga yang membantu memasarkan,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Astawa menambahkan untuk penghasilan kelompok tenun saat ini sudah mencapai Rp 5 juta per bulan. Dengan demikian ia berharap warga yang lain mampu berinovasi kembali dalam mengembangkan tenun ciri khas Pejeng Kangin tersebut di tengah pandemi. Tanpa harus menunggu bantuan sembako yang akan didapatkan, membuat inovasi di tengah pandemi dirasakannya lebih bagus.
Salah satu pengrajin tenun, Wayan Suarni mengaku ia kembali mengembangkan tenun sejak dirumahkan dari tempatnya bekerja di salah satu hotel. Perempuan 38 tahun itu pun menyampaikan beberapa tahapan dalam proses tenun. “Pertama ada ngulan, nganyinan, nusuk peserat, nyasah, nusuk buat motif yang panjangnya dua meter dan lebarnya 50 centimeter. Kalau selesainya 15 hari baru dapat satu kain. Dulu sempat belajar pas SMP, sekarang hanya mengingat dan belajar motifnya saja,” katanya. (Manik Astajaya/Balipost)