DENPASAR, BALIPOST.com – Bermain layang – layang sebenarnya merupakan tradisi ritual yang harus dilestarikan. Namun belakangan bermain layang – layang kerap disalahartikan sehingga penggunaannya pun salah, menyebabkan kerugian material, mental (syok), listrik padam, mengurangi produktivitas hingga menghilangkan nyawa seseorang. Maka dari itu bermain layang – layang harus diatur dalam peraturan pemerintah.
“Namun layang – layang harus tetap dipertahankan keberadaannya karena ini wujud persembahan Tuhan pada saat panen usai, sebagai wujud syukur kepada Ida Sang Hyang Rare Angon yang merupakan manifestasi Ida Bhatara Siwa,” ungkap Akademisi Politeknik Negeri Bali (PNB) Dr. Wayan Jondra belum lama ini.
Meskipun tradisi ritual tersebut harus dilestarikan namun jangan sampai keluar dari koridor – koridor yang dilakukan sebelumnya, karena pendahulu kita sudah sangat arif melaksanakan atraksi layang – layang sebagai sebuah persembahan.
Bermain layang – layang merupakan persembahan kepada Rare Angon (anak) ini bertujuan untuk menghibur anak – anak pada hari usai panen. Sementara saat ini yang terjadi adalah masyarakat bermain layang – layang sembarangan, saat kondisi wabah Covid-19 maupun saat masyarakat sedang bekerja.
Meski memiliki nilai ritual dan menyenangkan hati, bermain layang – layang memiliki sejumlah risiko jika bermain pada waktu dan tempat yang tidak tepat. “Dipikir main layang – layang tidak ada risikonya. Jika sudah membahayakan nyawa orang apalagi menyebabkan nyawa orang hilang, seperti kasus di Sesetan, pemilik layangan punya risiko, dia diancam dengan KUHAP pasal 359, karena secara tidak sengaja akhirnya lalai, mengakibatkan nyawa orang hilang dan hukumannya cukup berat, 5 tahun kurungan,” bebernya.
Menurutnya banyak yang tidak memahami risiko bermain layangan termasuk tersangkut hukum. Risiko yang timbul seperti listrik padam yang menyebabkan dampak pada orang lain cukup banyak.
Ketika layang – layang jatuh menimpa jaringan listrik, apalagi layang- layang yang di cat, mengingat cat berbahan karbon, sehingga listrik trip, layang – layang terbakar, listrik padam. “Jadi masyarakat yang produktif bekerja, dia bekerja untuk mencari makan, diganggu oleh orang yang main – main. Ini yang menjadi kontraproduktif,” ungkapnya.
Idealnya masyarakat harus sadar sendiri menyikapi permainan layang – layang ini. Tapi pengalaman membuktikan masyarakat sulit untuk sadar. Masyarakat banyak yang tidak sadar dengan bermain layang – layang sembarangan berisiko merugikan orang lain. “Masyarakat jauh dari kesadaran tersebut, kecuali ada regulasi yang mengatur tentang hal itu,” pungkasnya.
Menurutnya, peraturan tentang bermain layang – layang sangat strategis jika dikeluarkan Gubernur Bali, sehingga polisi mempunyai dasar hukum untuk melakukan penindakan. “Dengan dasar hukumnya, bermain layang – layang tidak hanya membahayakan orang lain tapi juga mengganggu ketertiban umum,” imbuhnya.
Pergub ini pun harus mendapatkan dukungan dari tokoh adat karena pemerintah dalam hal ini tidak bisa bergerak sendiri. Yang perlu diatur diantaranya tempat bermain layang – layang, ukuran layang – layang, ketinggian menerbangkan layang – layang sehingga ketika jatuh tidak menimpa jaringan pemukiman masyarakat bahkan tempat suci.
Dalam kepercayaan Hindu, tempat suci dan rumah memiliki nyawa atau urip sehingga ketika layang – layang jatuh di atas atap atau tempat suci perlu dilakukan upacara caru, ngulap, ngambe, dan sebagainya yang membutuhkan biaya tidak kecil. Apalagi dalam situasi Covid-19, pengeluaran biaya sangat diefisienkan oleh masyarakat. “Perlu aturan tegas untuk bermain layang – layang ini,” imbuhnya. (Citta Maya/Balipost)