Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Gde Satrya

Sejumlah tempat wisata bersiap diri menyambut era kenormalan baru. Suasana dan perilaku baru mulai diadaptasi untuk menyambut kembali tamu wisatawan. Yang jelas, protokol kesehatan harus diterapkan dengan sungguh-sungguh, tidak hanya bagi penyedia layanan, tetapi juga pasar wisatawan juga harus menyadari dan mengadaptasi diri dengan ketentuan baru tersebut.

Kecenderungan untuk menerapkan protokol kesehatan di tempat-tempat wisata serta usaha pariwisata perhotelan telah tumbuh. Secara serempak pelaku wisata bertransformasi dari quantity tourism ke quality tourism karena pandemi ini. Sejumlah jasa dan fasilitas yang dimiliki hotel misalnya, diberi treatment khusus penyemprotan disinfektan untuk mencegah penyebaran virus Corona, mulai dari ruang pertemuan dan kamar, termasuk semua jenis pelayanan kamar (room service), air conditioning, binatu (laundry and dry cleaning), kasur tambahan (extra bed), perlengkapan tetap (fixture and furniture), fasilitas olah raga dan hiburan, termasuk sarana transportasi hotel untuk antar-jemput tamu. Selain perhotelan, pekerja di sektor bisnis kepariwisataan lainnya seperti tour and travel, restoran, spa, airlines dan moda transportasi publik lainnya, serta destinasi wisata juga menampilkan performa baru di era baru.

Indikator kinerja utama untuk sektor pariwisata, yaitu jumlah tenaga kerja langsung, tidak langsung dan ikutan sektor pariwisata. Tenaga kerja langsung untuk sektor pariwisata di bidang akomodasi, travel agent, airlines dan pelayanan penumpang lainnya, termasuk tenaga kerja di sektor usaha restoran dan tempat rekreasi yang langsung melayani wisatawan.

Baca juga:  Peran Kelitbangan Menuju Kenormalan Baru

Tenaga kerja tidak langsung di sektor promosi pariwisata, furnishing/equipment, persewaan kendaraan, manufaktur transportasi. Tenaga kerja ikutan mencakup antara lain tenaga kerja pada sektor supply makanan dan minuman, wholesaler, computer utilities, dan jasa perorangan (Idrus, 2018).

Perhatian patut ditujukan pada sektor informal dalam mata rantai pariwisata, di antaranya UMKM penyedia makanan dan minuman, pedagang suvenir dan jasa transportasi di tempat-tempat wisata, jasa perorangan dan pekerjaan informal lainnya yang turut serta dalam mata rantai pariwisata, tidak boleh luput dari kesadaran akan penerapan protokol kesehatan ini.

Kebiasaan menggunakan masker dalam memberikan layanan, mencuci tangan, menjaga jarak, penyemprotan disinfektan, termasuk mengukur suhu tubuh, merupakan hal mendasar yang harus diterapkan di pelaku pariwisata sektor informal.

Setiap upaya untuk memastikan keselamatan para penyedia jasa pariwisata di satu sisi, dan membangun kepercayaan serta menjamin keselamatan pasar wisatawan di sisi lain, merupakan kolaborasi untuk memulihkan pariwisata kita. Indonesia punya ‘’mantra’’ yang memberi tuntunan akan terpenuhinya harapan-harapan itu, Sapta Pesona Wisata.

Kiranya new normal mengobarkan lagi implementasi Sapta Pesona Wisata pada setiap penyedia jasa pariwisata dan wisatawan. Implementasi Sapta Pesona Wisata, khususnya keamanan, ketertiban dan kebersihan, merupakan penghargaan produsen terhadap konsumen untuk menjamin keamanan produk dan jasa wisata.

Tukang Becak

Di antara pekerja pariwisata level terbawah adalah pengayuh becak wisata. Di beberapa kawasan wisata kehadiran mereka menjadi daya tarik, yang sepadan dengan moda transportasi lokal/tradisional lain seperti andong.

Baca juga:  Sisi Gelap Bimbel

Dalam buku berjudul ‘’Waton Urip’’ karangan Romo Sindhunata, SJ (2005), meninggalkan pesan tukang becak di Jogja bukan berarti ‘’asal hidup’’ tetapi ‘’hidup tanpa memberontak terhadap hidup’’. Di tengah kehidupan keras dan berkekurangan, ternyata tukang becak Jogja mampu mentransedensikan kesulitan hidup dan meloloskan diri dari kekejaman dunia.

Para tukang becak itu berani hidup tanpa memberontak pada kehidupan. Strateginya adalah memaksimalkan kekuatan-kekuatan unik seperti solidaritas sosial, keberanian, keuletan, integritas, kebaikan hati, pengendalian diri, dan rendah hati. Inilah rupanya yang mampu membuat tukang becak Jogja meloloskan diri dari kekejaman dunia. Refleksi filosofis itu memiliki relevansi dengan realitas saat ini.

Kita bisa menduga, meski hidup secukupnya dan tak mengelakkan dari biaya hidup yang melambung tinggi, tukang becak Jogja mensyukuri hidup dengan mengapresiasi seni. Kerap kali, apresiasi seni diidentikkan hanya bisa dilakukan oleh elite. Namun di Jogja tidak demikian. Becak-becak di sana, seperti divisualisasikan dalam buku ‘’Waton Urip’’, tampak artistik. Banyak lukisan atau gambar yang mempercantik bodi becak, merupakan refleksi dari empunya.

Tak hanya tampak superfisial, apresiasi seni juga mewarnai laku hidup mereka. Kita tentu lebih appreciate dengan orang yang tidak mengeluh dan tampak ceria meski memendam banyak masalah, karena orang tersebut menyebarkan energi positif. Dibandingkan orang yang menggerutu, mudah marah, dan mudah tersinggung.

Baca juga:  Arsitektur Tradisional dan Gempa Cianjur

Persis seperti itulah, dasar seni yang cukup kuat mendarat di kalangan tukang becak di Jogja membuat wisatawan senang mendapat layanan yang ramah, jujur dan helpful dari mereka.

Andaikan tukang becak itu punya filsafat, itu adalah banyu mili. Rezekinya tukang becak seperti mbanyu mili. Kendati tidak besar, rezeki mereka selalu mengalir. Memang mili sendiri berarti terus mengalir, walau tidak deras, seperti sungai kecil, yang kendati sedikit airnya tiada henti mengalir. Berdampingan dengan mbanyu mili, adalah ilmu waton urip.

Jangan disalah sangka, seakan waton urip adalah asal hidup, atau hidup semaunya. Waton urip adalah berani hidup tanpa memberontak terhadap hidup. Apa yang diberikan hidup, diterima. Apa yang tidak diberikan hidup, jangan diminta (Sindhunata, SJ, 2005: 25).

Kita meyakini otoritas terkait memperhatikan dan memiliki keseriusan untuk menolong para pahlawan pariwisata yang terpuruk dengan keadaan saat ini. Dengan semangat mbanyu mili, sekiranya rezeki mengalir dari pertolongan pemerintah dan semua pihak yang memiliki niat baik. Hal yang juga penting adalah memastikan keamanan dan keselamatan jiwa raga setiap tukang becak di mata rantai pariwisata dan penumpang becak wisata, dengan menerapkan protokol kesehatan.

Penulis, Dosen Hotel & Tourism Business, Fakultas Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *