Tito Sulistio. (BP/ist)
MANGUPURA, BALIPOST.com – Bursa Efek Indonesia (BEI) sedang menyiapkan infrastruktur perdagangan untuk membantu berkembangnya perusahaan-perusahaan kecil menjadi besar. Infrastruktur perdagangan disiapkan agar perusahaan-perusahaan itu memiliki market maker sehingga selalu ada yang melakukan bid and offer (penawaran beli dan penawaran jual). Demikian dikemukakan Direktur Utama BEI, Tito Sulistio, saat wawancara khusus sinergi Bali Post, Bali TV, dan Indonesia Network, Sabtu (2/7).

Ia mengatakan Bursa Efek tidak hanya untuk perusahaan besar tapi juga perusahaan kecil. Sebab, pada prinsipnya bukan karena besar sebuah perusahaan go public, tapi karena go public-lah perusahaan menjadi lebih besar.

Baca juga:  Putus Penyebaran COVID-19, Pelaku Usaha Atraksi Wisata dan Rekreasi Siap Implementasikan Protokol K4

Dijelaskan perusahaan kecil tersebut bisa termasuk UKM. Hanya, baginya lebih tepat menamainya dengan perusahaan yang belum besar.

BEI dikatakan telah memfasilitasi para pengusaha kecil dengan cara menyiapkan infrastruktur perdagangan. Sebab, jika perusahaan kecil masuk dalam bursa saham, dengan perubahan aturan, dikhawatirkan tidak ada yang membeli sahamnya. “Apakah orang mau beli perusahaan kecil? Karena orang biasanya kalau beli berpikir, ngapain beli perusahaan kecil yang tidak ada likuiditasnya. Lebih baik saya beli perusahaan besar yang sudah pasti,” paparnya.

Baca juga:  Penyebab Ambruknya Atap di BEI, Polisi Bantah Serangan Bom

Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan yang belum besar ini memerlukan keberpihakan pemerintah. Pemerintah harus mengatur dan memfasilitasi supaya dana pensiun, asuransi, bahkan dana BUMN itu membantu ke dalam perusahaan yang belum besar itu melalui IPO (go public). “Pemerintah harus hadir agar perusahaan yang belum besar ini bisa dibantu menjadi besar,” katanya.

Kendala terbesar untuk menuju IPO, menurutnya, adalah struktur kerapihan hukum perusahaan tersebut. “Kadang-kadang karena merasa perusahaan sendiri, jadi sembarangan. Meminjam uang perusahaan tapi tidak memakai perjanjian. Beli tanah pakai duit perusahaan, karena merasa perusahaan sendiri. Intinya adalah bagaimana membuat legal dan administrasi rapi,” bebernya.

Baca juga:  IPO Saham 30 Persen, GMF Targetkan Rp 3,9 Triliun

Kendala kedua adalah mimpi. Perusahaan itu harus mempunyai mimpi yang reasonable, masuk akal, ada jangka waktunya misalnya 5 tahun. “Dengan modal itu, perusahaan itu siap ke penjamin emisi dan bursa efek,” tandasnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *