I Wayan Ramantha. (BP/Istimewa)

Oleh I Wayan Ramantha

Kementerian Keuangan dalam rencana strategisnya kembali menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Redenominasi Rupiah. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024 yang dirilis awal Juli lalu.

Rencana itu memang untuk sisa waktu yang masih 4,5 tahun lagi. Tapi kalau rencananya mulai dirancang di tengah tahun ekonomi yang paling sulit saat ini, tidakkah kemudian menambah kepanikan masyarakat?

Redenominasi merupakan langkah menyederhanakan angka pecahan mata uang (Rupiah) tanpa mengurangi nilainya. Misalnya, kalau kini harga sebuah masker Rp 10.000, setelah redenominasi harga masker yang sama akan menjadi Rp 10. Rencana redenominasi di Indonesia sebetulnya bukan ide baru.

Pada tahun 2010 – 2012 rencana itu sempat diwacanakan, bahkan tahun 2017 pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) sudah sempat menyiapkan RUU-nya yang didahului dengan kajian akademik dan bahkan studi banding ke beberapa negara yang sudah melakukannya.

Redenominasi dengan menghilangkan 3 nol di belakang mata uang rupiah sempat direncanakan pada tahun 2012 karena pertumbuhan ekonomi nasional saat itu ditarget pada angka pasitif 6,3 hingga 6,7 persen, tapi realisasinya 6,1 persen.

Demikian juga tahun 2017, saat pertama RUU-nya sempat disiapkan, pertumbuhan ekonomi nasional masih ada di angka positif 5,07 persen. Tahun ini yang merupakan kali ketiga redenominasi direncanakan, ekonomi nasional diprediksi tumbuh negatif (-1 hingga -3,8 persen).

Baca juga:  Dari Bencana Menuju Bijaksana

Kunci utama keberhasilan redenominasi suatu negara ditentukan oleh stabilitas ekonominya selama tahapan redenominasi itu. Karena itu, kalau merujuk pada prediksi pertumbuhan ekonomi 2020, rasanya belum waktunya Indonesia merencanakan redenominasi tahun ini.

Apalagi Menteri Keuangan sendiri pernah menyampaikan bahwa defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2020 ini akan berdampak terhadap APBN beberapa tahun berikutnya. Redenominasi di samping dilandasi oleh makro ekonomi yang stabil, juga memerlukan pemahaman masyarakat secara luas.

Di Indonesia pernah terjadi pemotongan nilai uang yang disebut sanering pada tahun 1965. Pada saat itu masyarakat mengalami kepanikan berat yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan inflasi hingga ratusan persen. Kejadian ini hendaknya memberikan pembelajaran kepada pemerintah, bahwa ketenangan masyarakat menjadi kata kunci kedua bagi suksesnya kebijakan di bidang mata uang.

Redenominasi memang sangat berbeda dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan sanering. Pemahaman ini harus ada secara luas dan dapat diyakini oleh masyarakat agar tidak menimbulkan kepanikan.

Redenominasi di samping memerlukan pemahaman yang benar dari masyarakat umum, juga memerlukan kesamaan persepsi di kalangan pemerintah, elite politik dan tokoh masyarakat. Karena tanpa itu, redenominasi bisa saja gagal. Redenominasi sangat mungkin dipolitisasi untuk memperoleh manfaat tertentu, yang selanjutnya berdampak pada kepanikan masyarakat.

Ketidakpahaman terhadap tujuan redenominasi bisa menyebabkan turunnya kepercayaan masyarakat terhadap rupiah. Selanjutnya mereka lebih memilih untuk memegang barang atau mata uang asing. Akibatnya, inflasi meningkat atau nilai rupiah melemah.

Baca juga:  Pendidikan dan Capaian Pembelajaran Lulusan

Redenominasi Itu Penting

Di samping untuk tujuan penyederhanaan transaksi dan pembukuan bagi swasta, pemerintah dan masyarakat, redenominasi juga diperlukan untuk mengendalikan inflasi. Manfaat lain dari redenominasi adalah meningkatnya citra rupiah terhadap mata uang lain di seluruh dunia. Kuotasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat misalnya, setelah redenominasi akan sama dengan mata uang di negara lain. Kantong masyarakat pun (yang masih terbiasa membawa uang tunai),  tidak akan setebal sekarang setelah ada redenominasi.

Beberapa negara telah ada yang duluan melakukan redenominasi dibandingkan dengan Indonesia. Negara-negara tersebut adalah Turki, Rumania, Polandia, Ukraina, Brazil, Korea Utara, dan Rusia. Ada yang sukses, ada pula yang gagal. Turki sukses meredenominasi mata uang Lira setelah tujuh tahun berproses yang dimulai sejak 2005.

Kesuksesan Turki selain ditentukan oleh waktu sosialisasi yang cukup, juga dipengaruhi oleh tahapan yang dilakukan. Tahap pertama dalam beberapa tahun, redenominasi dilakukan dengan memberlakukan dua mata uang. Saat rakyat sudah terbiasa, baru tahap kedua dilakukan dengan menarik seluruh mata uang lama.

Redenominasi dalam keadaan tidak stabil dilakukan oleh Korea Utara dengan harapan akan dapat memperbaiki stabilitas ekonominya. Sayangnya harapan kadang-kadang bisa berbanding terbalik dengan kenyataan. Kurangnya persiapan redenominasi, malah menjadikan perekonomian Korea Utara menjadi lebih terpuruk.

Baca juga:  Label Bali Pulau Pabrik Narkoba

Sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah sangat minim sehingga masyarakat belum paham. Keadaan konon juga diperparah oleh kondisi keuangan pemerintah yang tidak sehat, sehingga tersedianya uang baru sangat minim. Tidak sesuai dengan kebutuhan.

Brazil pada tahun 1990-an juga gagal dalam melaksanakan redenominasi yang bertujuan memperbaiki perekonomiannya. Persiapan yang kurang matang dan kepanikan masyarakat menjadikan program “pengurangan nol” mata uang itu gagal.

Dampaknya, deflasi terjadi sangat tajam di negara yang membesarkan nama Pele, Ronaldo dan Ronaldinho di sepek bola itu. Pemerintah kehabisan uang baru, lalu kemudian untuk memenuhi kebutuhan uang baru, mereka berutang ke beberapa negara. Krisis mata uang melebar menjadi krisis ekonomi, kemudian memicu krisis politik yang berkepanjangan.

Belajar dari negara lain yang sudah duluan melakukan, baik yang sukses maupun yang gagal, Indonesia bisa mengambil hikmah. Redenominasi itu memang diperlukan, tapi mesti dimulai saat ekonomi telah stabil.

Redenominasi itu memang dibutuhkan oleh negara dan masyarakat, tapi mesti semua elemen pemerintah dan masyarakat telah menyadarinya. Redenominasi itu memang penting, tapi seyogyanya tidak ada masyarakat, apalagi para elite yang dengan sengaja mempolitisasi keadaan sehingga malah redenominasi menjadi gagal.

Penulis, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unud, Pelaku Industri Keuangan

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *