DENPASAR, BALIPOST.com – Krisis air di tanah Bali bukan sekadar ancaman. Sejumlah realita menunjukkan bahwa jalan menuju ke arah krisis air sudah terjejak. Penelitian yang dilakukan oleh tim riset di mana Politeknik Negeri Bali (PNB) terlibat, menunjukkan bahwa intrusi air laut sudah terjadi khususnya di daerah dekat pantai.
Maka Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 24 Tahun 2020 tentang Pelindungan Danau, Mata Air, Sungai, dan Laut patut didukung. Apresiasi terhadap pergub ini harus dijabarkan dalam bentuk aksi nyata penyelamatan sumber mata air. Bergerak mengendalikan potensi krisis air harus dimulai.
‘’Kebijakan Gubernur Bali Wayan Koster melalui Pergub Nomor 24 Tahun 2020 tentang Pelindungan Danau, Mata Air, Sungai, dan Laut membawa angin segar bagi para pemerhati lingkungan, tidak ketinggalan para peneliti Politeknik Negeri Bali yang sejak tahun 2015 secara resmi telah mengusung Pariwisata Hijau Berkelanjutan sebagai riset unggulan semua civitas akademika Politeknik Negeri Bali,’’ kata Prof. Liliek Sudiajeng, Kamis (16/7).
Guru Besar Politeknik Negeri Bali ini mengatakan, krisis air terindikasi dari penelitian Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Provinsi Bali tahun 2010, di mana dilaporkan terdapat 11 titik wilayah yang sudah menunjukkan adanya indikasi krisis air. Laporan KLHS Provinsi Bali 2010 ini sudah menjadi isu global, bahkan beberapa pemerhati lingkungan dunia menyatakan bahwa Bali akan menghadapi krisis air di tahun 2020.
Lalu berdasarkan penilitian yang dilakukan Politeknik Negeri Bali bekerja sama dengan pemerintah dan LSM, lanjut Lilik, ditemukan bahwa di Bali telah terjadi instrusi air laut khusunya di wilayah pantai. Hasil penelitian dari 564 sumur dangkal tersebar di seluruh kabupaten/kota Provinsi Bali yang telah diteliti kualitas, kedalaman muka air serta kapasitasnya.
Sebagai luarannya adalah peta konservasi air tanah dan peta wilayah imbuhan yang dapat digunakan sebagai pertimbangan teknis untuk pelaksanaan program konservasi SDA dan Peta Daya Hantar Listrik (DHL). Tidak hanya menemukan indikasi terjadinya krisis air, kata Liliek, pihak PNB juga telah mulai melaksanakan solusi.
Salah satunya program Inovasi Sumur Pemanen Air Hujan baik yang dangkal untuk mengimbangi pemanfaatan air tanah oleh domestik (SPAHUDO) maupun sumur bor untuk mengimbangi pemanfaatan air tanah oleh industri (SUMBER). Bekerja sama dengan Pemkot Denpasar, Pemprov Bali dan Yayasan Idep Selaras Alam, saat ini sudah terbangun 43 SPAHUDO dan 4 SUMBER yang sudah terbukti efektivitasnya dalam memanen air hujan untuk dikembalikan ke dalam tanah hingga mengisi kembali akuifer yang merupakan sumber air yang harus dilestarikan.
“Apa yang sudah dilakukan oleh tim peneliti Jurusan Teknik Sipil bersama mitra Politeknik Negeri Bali ini mungkin hanya mampu manabung setetes air, namun apabila didukung oleh kebijakan Gerakan Bali Menabung Air yang melibatkan seluruh masyarakat, termasuk masyarakat industri, dapat diyakini bahwa Bali tidak akan menghadapi krisis air di masa kini maupun di masa yang akan datang sebagaimana yang selama ini diisukan secara global di mancanegara,” ujarnya. (Yudi Karnaedi/balipost)