Made Agus Sugianto. (BP/Istimewa)

Oleh: Made Agus Sugianto, SKM, M.Kes

Sehat merupakan dambaan setiap manusia, karena dalam kondisi yang sehat kita dapat melaksanakan setiap aktivitas tanpa adanya keterbatasan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sehat adalah suatu keadaan sejahtera yang meliputi fisik, mental dan sosial yang tidak hanya bebas dari penyakit atau kecacatan.

Menjaga kesehatan tubuh sangatlah penting. Oleh karena itu, pola hidup sehat yang baik dan benar merupakan cara yang paling ampuh untuk mencegah infeksi dari berbagai macam penyakit.

Teori H.L. Blum menyebutkan bahwa derajat kesehatan ditentukan oleh 40% faktor lingkungan, 30% faktor perilaku, 20% faktor pelayanan kesehatan, dan 10% faktor genetika (keturunan). Menjaga kebersihan lingkungan dan sanitasi menjadi faktor utama dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Selain itu dibutuhkan juga tenaga promosi kesehatan (penyuluhan kesehatan masyarakat), karena perilaku masyarakat memiliki kontribusi sebanyak 30% dalam meningkatkan derajat kesehatan. Namun kenyataannya, regulasi yang ada tidak mendukung ketersediaan tenaga promosi kesehatan di fasilitas kesehatan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan tidak menyebutkan secara eksplisit tenaga promosi kesehatan. Undang-Undang tersebut mengelompokan tenaga kesehatan ke dalam: a. tenaga medis; b. tenaga psikologi klinis; c. tenaga keperawatan; d. tenaga kebidanan; e. tenaga kefarmasian; f. tenaga kesehatan masyarakat; g. tenaga kesehatan lingkungan; h. tenaga gizi; i. tenaga keterapian fisik; j. tenaga keteknisian medis; k. tenaga teknik biomedika; l. tenaga kesehatan tradisional; dan m. tenaga kesehatan lain. Uraian di atas menunjukan bahwa tenaga promosi kesehatan merupakan bagian dari kelompok “tenaga kesehatan lainnya”.

Baca juga:  Manusia dan Kemampuan Berpikir

Sebagian besar penduduk Indonesia didominasi oleh kelompok orang sehat. Bambang Sulistomo Staf Khusus Menteri Bidang Kebijakan Kesehatan memaparkan bahwa jumlah penduduk Indonesia yang sakit hanya sekitar 15–20%, dan yang sehat antara 80–85%. Namun untuk alokasi anggaran kesehatan justru berlaku sebaliknya.

Penelitian Mugeni Sugiharto menyatakan sekitar 85% anggaran kesehatan dialokasikan untuk pelayanan kuratif, dan sisanya hanya 15% dialokasikan untuk kegiatan promotif dan preventif. Kita ketahui bersama bahwa pembiayaan untuk BPJS Kesehatan (untuk layanan kuratif) menelan biaya yang sangat besar.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan RI, pada tahun 2019 pemerintah mengalokasikan anggaran BPJS Kesehatan untuk membiayai Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebanyak Rp 26,7 triliun. Anggaran ini pada tahun 2020 diperkirakan meningkat sebanyak 82% menjadi Rp 48,8 triliun. Anggaran tersebut memang sangat besar jika dibandingkan dengan anggaran pemerintah untuk kegiatan promotif dan preventif yang disalurkan melalui Dana Alokasi Khusus Non Fisik Kesehatan (untuk layanan promotif dan preventif) yang hanya sebesar Rp 1,097 triliun.

Menteri Kesehatan RI Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp. Rad. menyatakan bahwa bidang kesehatan di Indonesia sudah seharusnya memikirkan tentang era promotif dan preventif. Ranah kesehatan masyarakat memegang peranan yang sangat vital dan penting di era promotif dan preventif saat ini.

Baca juga:  Pendidikan Bukan Sekadar Kelulusan dan Ijazah

Indonesia sudah harus memiliki pola pikir tentang paradigma sehat yaitu pelayanan untuk orang sehat dan tidak hanya berfokus pada pelayanan untuk orang sakit. Hal ini sesuai dengan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2019 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat, pada pasal 1 angka (2) menyebutkan bahwa Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif yang meliputi: a. pelayanan promosi kesehatan; b. pelayanan kesehatan lingkungan; c. pelayanan kesehatan keluarga; d. pelayanan gizi; dan e. pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit. Agar layanan kesehatan yang diberikan berkualitas, maka diperlukan tenaga-tenaga kesehatan masyarakat yang professional.

Oleh karena itu tenaga kesehatan masyarakat harus memiliki beberapa ketrampilan seperti: keterampilan analisa/penilaian data (analytical/assessment skills), keterampilan pengembangan kebijakan/keterampilan perencanaan program (policy development/program planning skills), keterampilan komunikasi (communication skills), keterampilan perencanaan dan manajemen keuangan (financial planning and management skills) dan keterampilan manajemen dan kepemimpinan (leadership and systems thinking skills).

Baca juga:  G20 dan Infrastruktur Kota

Memasuki era revolusi Industri 4.0 pemerintah tidak hanya dituntut untuk memberikan layanan kesehatan yang cepat, dekat dan murah kepada masyarakat, tetapi juga layanan kesehatan yang variatif dengan memanfaatkan teknologi digital. Sebagai contohnya adalah pemanfaatan media sosial untuk promosi kesehatan, layanan konseling kesehatan secara online, dan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat secara virtual.

Namun demikian, pemanfaatan teknologi selain memiliki sisi positif juga memiliki sisi negatif. Penggunaan smartphone untuk jangka waktu yang lama dapat menimbulkan gangguan kesehatan seperti paparan bakteri hingga meningkatkan risiko kanker otak. Oleh karena itu, diperlukan adanya regulasi dan kebijakan pemerintah terkait penggunaan internet, keamanan pengguna transportasi online, serta keterjaminan keamanan makanan yang dipesan secara online.

Kita menyadari bahwa saat ini sudah terjadi proses transisi dari sistem upaya kesehatan masyarakat yang sifatnya konvensional menjadi upaya kesehatan berbasis digital. Banyak sekali yang berubah dan hal ini akan terus berubah secara berkelanjutan. Revolusi industri 4.0 merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindarkan.

Namun demikian, hal ini bisa menjadi peluang baru bagi peningkatan kualitas layanan kesehatan. Oleh karena itu, upaya kesehatan masyarakat harus terus bermetamorfosis untuk menyesuaikan diri agar mampu beradaptasi dengan tatanan kehidupan masyarakat baru.

Penulis adalah analisis kebijakan pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Badung.

BAGIKAN

1 KOMENTAR

  1. Menarik membaca artikel ini. Namun ada beberapa poin yg ingin saya komentari.
    Pertama, pada paragraf kedua, argumen yg diajukan penulis untuk meningkatkan perilaku hidup sehat masyarakat adalah dengan menyediakan tenaga kesahatan yg profesional. Hal ini rasanya kurang lengkap dan kurang sesuai. Sebab menurut teori pembelajaran konstruktivisme, pola perilaku seseorang dibentuk oleh banyak faktor. Baik itu cara berpikirnya, nilai-nilai yang dianutnya, pola pendidikan diterimanya di keluarga, sekolah, dan masyarakat, latar belakang ekonomi keluarganya, serta faktor lain. Bukan berarti penyediaan tenaga layanan kesehatan untuk membentuk PHBS masyarakat adalah hal yang salah. Namun dirasa hal itu kurang efektif.

    Kedua, pada paragraf kedelapan. (Sebenarnya tesis yang diajukan pada paragraf kedelapan sama dengan paragraf kedua). Menitikberatkan penyediaan tenaga kesehatan yg profesional untuk meningkatkan PHBS masyarakat kiranya kurang efektif. Saya berpendapat bahwa cara membentuk paradigma hidup sehat masyarakat dipengaruhi oleh proses internalisasi nilai-nilai kesehatannya yg diyakininya. Proses ini bisa diakselerasi melalui pendidikan meditatif. Melalui kegiatan latihan bathin seperti meditasi dan fisik seperti yoga, masyarakat harus diajarkan bahwa kesehatan dirinya adalah tanggung jawabnya sendiri. Bukan sepenuhnya tanggung jawab tenaga kesehatan.
    Jika tubuh manusia diibaratkan mobil, dan pelayanan kesehatan seperti bengkel servis, maka usaha pemerintah untuk meningkatkan level kesehatan masyarakatnya melalui peningkatan profesionalitas tenaga kesehatan itu ibarat menyediakan banyak bengkel yg berkualitas. Padahal untuk menempuh perjalanan yg jauh, alih-alih memerlukan banyak bengkel, yang dibutuhkan adalah tipe dan kondisi mobil yang super. Mobil yang super lahir dari pabrik yang super. Oleh karena itu, selain hanya berpikir bagaimana meningkatkan kinerja tenaga layanan kesehatan, pemerintah kiranya dapat mulai berpikir alternatif untuk membangun pusat-pusat meditasi, yoga, gym gratis, dan taman-taman ruang publik.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *