Oleh I Dewa Gde Satrya
Kamis (9/7), Bali dibuka lagi untuk pengunjung lokal. Selanjutnya, Bali membuka diri untuk wisatawan domestik pada 31 Juli dan wisatawan mancanegara pada 11 September mendatang.
Pembukaan Bali untuk wisatawan lokal, juga Banyuwangi dipastikan siap untuk memasuki new normal di sektor pariwisata, bermakna penting bagi tumbuhnya kembali industri pariwisata di dalam negeri.
Sebelumnya Ketua PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia) Kabupaten Badung, Bali, Agung Rai Suryawijaya (Bali Post, 10/4) menyerukan agar pengusaha pariwisata Bali yang berasal dari luar Bali jangan hit and run. Menurutnya, sudah puluhan tahun pengusaha pariwisata dari luar Bali mengeruk keuntungan dari Bali, kini saat terpuruk dalam sepanjang sejarah kepariwisataan, sebaiknya pengusaha tidak lari dan keluar dari Bali.
Momentum dibukanya lagi Bali bagi wisatawan lokal, kemudian disusul wisatawan domestik dan mancanegara, akan memberi peluang bagi dunia usaha untuk menggerakkan lagi perekonomian, ‘’bersahabat’’ dengan ancaman dan risiko pandemi.
Apresiasi mendalam ditujukan kepada pengusaha pariwisata di Bali yang turut menyumbang dana, APD, disinfektan, hand sanitizer, dan bentuk bantuan lain untuk pemulihan Bali. Dan yang terpenting, pertama-tama menyelamatkan karyawan masing-masing dengan merumahkan mereka sembari tetap memberikan gaji dengan bervariasi sesuai kemampuan perusahaan. Kerja sama, gotong royong dan saling mendukung dalam situasi sekarang sangat dibutuhkan, untuk mewujudkan wajah humanisme dalam bisnis pariwisata.
Tentang gotong royong dalam menghadapi situasi terpuruk dalam industri pariwisata, Bali berpengalaman pada tahun 2006. Meski situasi sekarang tak sama, bahkan lebih parah dibanding pengalaman ketika Bali diserang teror bom.
Dengan spirit ‘’Bali Revival Program’’, kala itu semua stakeholder pariwisata Bali bahu-membahu membangun kembali turisme Bali dari keterpurukan. Kini saatnya spirit serupa berkobar di benak kita semua, meski terasa sulit. Pada tahun 2006, ‘’Bali Revival Program’’ diadakan event berskala besar (internasional) yang bertajuk ‘’Bali Tourism Festival 2006’’. Di mana, dalam pelaksanaannya, diselenggarakan dua event besar, yaitu ‘’Nusa Dua Festival’’ dan ‘’Bali Sister Island Games’’ 2006.
Acara yang diselenggarakan oleh Bali Tourism Board itu mendapat dukungan penuh dari Gubernur Bali dan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI. Di sinilah peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk meraih potensi keterlibatan pengunjung dalam jumlah massal. Melalui ‘’Bali Revival Program’’ 2006, kita dapat belajar untuk memulihkan image Indonesia di mata dunia nantinya ketika wabah Covid-19 berakhir.
Kesadaran bahwa turisme mesti ditumbuhkan dengan melibatkan dunia usaha tidak sebatas pada partisipasi pembangunan, tetapi juga perlu pada ranah partisipasi sosial kini menemukan relevansinya. Dalam situasi normal, kontribusi industri kepada lingkungan bermakna CSR (corporate social responsibility), namun dalam kondisi pandemi Covid-19 yang menghantam semua sendi kehidupan ini, keterlibatan korporasi dalam membantu meringankan beban sesama merupakan murni aksi yang didorong oleh bela rasa kemanusiaan.
Sinergi business to business dan business to government dalam bingkai gotong royong menangani wabah Corona ini sekiranya relevan dan menjadi roh bentuk kerja sama yang diatur di beberapa peraturan, seperti Permendagri 69/2007 tentang Kerja Sama Pembangunan Perkotaan, Permendagri 19/2009 tentang Pedoman Peningkatan Kapasitas Pelaksanaan Kerja Sama Daerah, Permendagri 22/2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerja Sama Daerah, Peraturan Pemerintah 50/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah, Peraturan Pemerintah 56/2011 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, atau Peraturan Pemerintah 2/2012 tenang Hibah.
Sebagaimana pariwisata merupakan industri yang terkait dengan berbagai aspek, demikian pulalah aksi kemanusiaan dari industri pariwisata merupakan kerja lintas kedinasan/departemen. Dalam konteks CSR, semisal renovasi taman kota, melibatkan berbagai instansi.
Renovasi serta perawatan taman dikerjakan oleh Dinas Pekerjaan Umum, Bina Marga dan Pematusan, bagian inti pertamanan dikerjakan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan, pengamanan sekitar area taman menjadi tanggung jawab Satpol PP, penataan pedagang kaki lima dikelola oleh Dinas Koperasi dan UKM, pengemasan menjadi objek wisata menjadi tanggung jawab Dinas Pariwisata. Teamwork lintas kedinasan menjadi ciri khas CSR bidang pariwisata.
Ada fenomena unik yang ditemukan di lapangan dalam hal kecenderungan perusahaan yang melakukan CSR di bidang pariwisata sebagai social response (Susanto, 2003), karena semata-mata untuk berkontribusi atau sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada pemerintah dan masyarakat.
Hal ini diharapkan terulang pada penanggulangan bersama wabah Covid-19 saat ini, di mana penyelamatan internal menjadi prioritas pertama, dan dilanjutkan pada keterlibatan di lingkungan sosial. Karena CSR prinsipnya adalah konsep yang berkaitan dengan tanggung jawab perusahaan terhadap karyawan dan lingkungan. Pengertian lingkungan bisa sangat luas mulai dari pemerintah hingga masyarakat sekitar operasi perusahaan yang bersangkutan.
Bentuk tanggung jawabnya bermacam-macam, seperti pemberdayaan ekonomi, hukum, berperilaku etis terhadap masyarakat sekitar hingga pada bentuk kegiatan-kegiatan filantropis. Melalui belarasa kemanusiaan, kita meyakini adanya pertolongan Tuhan dalam situasi sulit saat ini. Sekiranya badai Covid-19 ini akan segera berakhir, dan pariwisata kita kembali pulih. Semoga Bali dapat menjadi awal yang baik untuk menumbuhkan lagi pariwisata di Tanah Air.
Penulis, Dosen Hotel & Tourism Business, Fakultas Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya