Oleh I Gede Arya Sugiartha
Dalam pandangan sosiologis dinyatakan bahwa seni akan tumbuh dan berkembang pesat jika masyarakat berada dalam keadaan normal dan sejahtera dari segi ekonomi. Jika kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan telah terpenuhi maka barulah manusia memiliki waktu untuk menikmati hiburan, maka ketika itulah seni baru akan dibutuhkan.
Dengan prinsip ini seni menjadi kebutuhan terakhir dari kehidupan manusia, artinya kehadirannya boleh ada dan boleh juga tidak. Jika sebuah masyarakat mengalami kekacauan, baik karena konflik, perang, bencana alam maupun wabah, maka seni menjadi hal pertama yang ‘’dihentikan’’ karena kita harus mendahulukan keselamatan jiwa manusia.
Namun agak berbeda dengan masyarakat Bali, di mana seni adalah kehidupan itu sendiri, seni untuk menunjang kualitas hidup, dalam kondisi apa pun seni tetap dipedulikan. Dulu, ketika masyarakat Bali belum sejahtera dari segi ekonomi, seni lebih menjadi bagian dari kehidupan ritual dan hiburan pribadi yang membuat masyarakat merasa bahagia dan tulus berbakti kepada Tuhan.
Ketika masyarakat Bali sudah sejahtera yang konon banyak disebabkan oleh globalisasi seperti pariwisata, muncul seni presentasi (tontonan) untuk menghibur, baik tamu yang datang maupun masyarakat Bali sendiri.
Berbagai hajatan seni digelar untuk memberikan kesempatan kepada seniman berkreativitas dan masyarakat luas untuk menikmati. Ratusan bahkan ribuan karya seni terlahir dengan berbagai bentuk dan modelnya, sehingga menjadikan Bali semakin layak disebut sebagai Pulau Kesenian. Kondisi terakhir akibat pandemi Covid-19, dengan pembatasan sosial menyebabkan berbagai aktivitas seni tidak bisa dilaksanakan.
Berbagai kegiatan ritual, hajatan seni budaya seperti Pesta Kesenian Bali (PKB), dan perayaan-perayaan yang memerlukan kehadiran seni ‘’terpaksa’’ dihentikan sementara selama masa pandemi. Meski demikian, seniman Bali tidak pernah kehilangan daya kreatif, justru dalam kondisi semuanya terportal, terbelenggu, dan terhenti, seniman dapat melahirkan sesuatu yang baru.
Saya mengamati setidaknya ada dua potensi penting dalam diri seniman Bali yang menyebabkan mereka bisa eksis, yaitu kreatif dan sikap profesional. Pertama, seniman kreatif selalu memiliki banyak gagasan, ide, sigap, serta mampu menggunakan bermacam-macam cara dan pendekatan dalam penciptaan karya baru. Dengan kreativitas orang dapat melakukan berbagai upaya, dari pemuliaan khazanah budaya yang diwariskan hingga hal-hal baru yang dirasakan relevan dengan kebutuhan kekinian. Kreativitas dalam merancang karya seni selain mengggunakan objek material lokal juga dilakukan dengan silang budaya, kolaborasi, dan penerapan teknologi.
Kedua, seniman yang bersikap profesional selain memiliki keterampilan artistik juga memiliki kepekaan intuisi, ketajaman gagasan, peka membaca situasi dan kondisi zaman, serta tetap komitmen pada kualitas. Sikap pasif ‘’menunggu wahyu’’ bukanlah ciri seniman profesional, karena kehadiran seni bukanlah sesuatu yang terberi melainkan harus diperjuangkan dengan kerja kreatif. Adalah tugas seniman untuk menciptakan karya seni yang memiliki daya tarik (auditif, visual, naratif, sensual, erotis) dan mengandung tuntunan. Ringkas kata, sebuah sajian seni harus menghibur, memukau, menyentuh haru, atau memperkaya batin pemirsa, jika gagal masyarakat akan meninggalkannya.
Dengan berbekal dua potensi seperti di atas seniman Bali mampu bertahan. Salah satu hal yang cukup membanggakan adalah munculnya seni virtual. Seni virtual, yang lahir sebagai hasil pencarian celah di tengah wabah, kini mewujud dalam citra dan estetika baru.
Ia tidak lagi mempermasalahkan, apalagi mendikotomi antara yang real dan yang virtual. Sesuatu yang dulu dianggap virtual (maya) kini dapat menjadi realitas, yang dulu real kini diwujudkan secara virtual. Sebuah imajinasi, khayalan, renungan, serta ide yang sebelumnya tidak dapat diwujudkan sempurna di alam nyata kini menjadi real di alam virtual.
Hal yang sama juga dapat dilakukan dalam pertunjukan lainnya, seperti gamelan dan wayang. Penabuh gamelan Bali seperti Gong Kebyar yang biasanya berjumlah 30-35 personel bisa dikurangi menjadi minimal 10-15 orang agar penabuh bisa menjaga jarak selama pentas.
Masker yang digunakan dapat ditata menjadi bagian dari kostum penabuh. Untuk mendapatkan kualitas suara dilakukan penataan teknik permainan, motif pukulan, dan pola interaksi antar fungsi instrumen.
Memang dalam kondisi seperti ini repertoar-repertoar lama agak sulit diadaptasi karena takut melanggar pakem, namun seniman dapat menciptakan berbagai repertoar baru sesuai kebutuhan. Demikian halnya dengan tata penyajian yang biasanya cenderung berkerumun, kini ditata berjarak satu meter atau dengan membuat pola penempatan instrumen sesuai dengan bentuk dan kondisi panggung. Dalam hal ini memang dituntut kepekaan dan kerja sama yang lebih baik dari seluruh pemain gamelan agar kualitas pertunjukan tetap bisa dipertahankan.
Dapat ditegaskan bahwa, dari segi kreativitas, dampak pandemi Covid-19 dapat diatasi oleh seniman dengan melakukan adaptasi kreatif berlandaskan sikap profesional. Meski demikian, satu problem penting yang terjadi saat ini adalah kesempatan seniman untuk tampil menjadi sangat terbatas.
Bagi seniman Bali yang kini telah menjadikan seni sebagai tumpuan hidupnya, kemandekan pentas merupakan pukulan yang cukup berat. Para penari Topeng, Arja, Bondres, dan Dalang yang biasa pentas dalam acara-acara ritual kini jarang ada yang menanggap karena kegiatan ritual sangat jarang digelar.
Demikian halnya dengan seniman yang biasanya tampil di daerah tujuan pariwisata, seperti hotel, restoran, dan pantai karena belum ada tamu secara otomatis mereka kehilangan pekerjaan. Begitu juga bagi seniman Bali yang biasa pentas dan beraktivitas di luar negeri, kesempatannya juga terhenti karena pandemi global yang menghantam seluruh dunia.
Penulis, Rektor Institut Seni Indonesia Denpasar