Sekolah
Siswa SMP sedang berada di luar kelas. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Sejumlah ide Mendikbud Nadiem Makarim banyak dikritisi karena dibiarkan lama sebagai wacana. Termasuk memberlakukan kurikulum darurat sebagai pedoman sekolah menjalankan PBM daring selama pandemi COVID-19.

Wacana ini membuat pelaku pendidikan sedikit bingung karena kurikulum darurat untuk pendidikan dasar dan menengah sampai saat ini belum diterima sekolah.

Sekretaris PGRI Provinsi Bali Dr. I Gede Wenten Aryasuda, M.Pd., Senin (24/8)mengatakan, secara birokrasi kurikulum baru diterima sekolah setelah Disdikpora Kota/Kabupaten dan Provinsi menerimanya. Makanya dia mengakui para kepala sekolah saat ini masih buta soal kurikulum darurat produk Kemendikbud RI tersebut.

Dikatakan buta karena belum jelas struktur programnya, apakah yang dimaksud kurikulum darurat itu terjadi pengurangan waktu PBM, pengurangan materi atau justru terjadi pemangkasan sejumlah mata pelajaran. Jika yang terakhir terjadi, dia khawatir kurikulum darurat akan membuat masalah baru lagi yakni terjadinya pengangguran bagi sejumah guru karena tak dipakai lagi di sekolah akibat sejumah mata pelajaran terpotong. ‘’Ini akan membuat masalah baru lagi,’’ tegasnya.

Baca juga:  1.728 Orang di PHK, Disnaker Verifikasi Suket PPDB Jalur Dampak COVID-19

Aryasuda yang juga Kepala SMP PGRI 2 Denpasar ini mengatakan, jika kurikulum darurat memuat soal pemangkasan jam tiap bidang studi dan pemangkasan mata pelajaran, dia khawatirkan khusus bagi siswa kelas akhir yakni kelas VI SD, kelas IX SMP dan kelas XII di SMA/SMK akan terjadi ketimpangan antara tuntutan kelulusan dengan materi yang diajarkan. Sebab, pemangkasan kedua jenis ini akan membuat materi pelajaran hilang dan terputus, yang justru dituntut saat kelulusan dan ijazah.

Ini akan membuat siswa tak lulus. Misalnya, mata pejaran kesenian yang dipangkas, namun di ujian dan ijazah harus ada nilai mata pelajaran kesenian. Ini membuat siswa tak lulus karena tak memenuhi syarat bahwa mereka harus mengikuti proses mata pelajaran ini sejak awal. ‘’Yang bahaya lagi adalah kurikulumnya darurat namun tuntutan penguasaan materinya tidak darurat,’’ tegasnya.

Bagi dia, sebaiknya kurikulum darurat segera didroping ke sekolah dan dengan cepat disosialisasikan agar mudah diimplementasikan di sekolah. Sebab, wajah kurikulum ini belum diketahui oleh kalangan pendidikan. Makanya dia setuju jangan ada pergantian menteri dulu termasuk di Kemendikbud agar kita bisa melihat hasil kinerjanya terlebih dulu.

Baca juga:  Ini, Konsekuensi Pemberlakuan Kurikulum Darurat bagi Sektor Pendidikan

Aryasuda menambahkan, jika pandemi Covid-19 masih lama berlangsung, sebaiknya biarkan sekolah menjalankan kurikulum standar seperti pada PBM daring dewasa ini. Dia tak setuju ada klausul kurikulum darurat ini boleh digunakan dan boleh tak digunakan oleh sekolah. Dia mengkritisi sebaiknya jangan ada pilihan semacam ini karena bisa mengganggu kualitas pendidikan kita.

Sebab, kelanjutanya akan bermasalah di kemudian hari karena siswa yang tadinya mendapat pelayanan kurikulum darurat kemudian pindah ke sekolah yang tak melaksanakan kurikulum darurat, mereka akan kelabakan. ‘’Yang paling baik semua wacana pendidikan secepatnya dijalankan agar tak membingungkan pelaku pendidikan,’’ tegasnya.

Pelaku pendidikan yang juga pengurus YPLP PGRI Provinsi Bali Drs. IGN Wirata, M.M. juga mengaku masih buta soal kurikulum darurat yang mau menggantikan Kurikulum 2013 (-13) akibat pandemi Covid-19. Kepala SMK PGRI 1 Denpasar ini menegaskan sekolah sebagai satuan pendidikan terkecil akan menerima kurikulum ini, namun sekolah diberi kebebasan menelaah disesuaikan dengan karakteristik sekolah dan kearifan lokal. Dengan demikian jelas tujuan yang ingin dicapai dan guru memiliki pedoman dan arah mengajar. ‘’Kami di SMK tiap tahu memvalidasi kurikulum bersama stakeholders,’’ tegasnya.

Baca juga:  Lebih Cinta Indonesia Setelah Berada di Negeri Orang

Kepala SMA Saraswati 1 Denpasar I Made Budiadnyana, M.Pd. menegaskan konsep kurikulum khusus atau darurat ini bagus karena diserahkan pada kondisi satuan pendidikan. Sekolah diberi kebebasan menyederhanakan kurikulum secara mandiri dan tidak diwajibkan menuntaskan seluruh capain kurikulum untuk kenaikan kelas dan kelulusan.

Hanya dia tak tahu pada bagian mananya harus dipangkas dan dihilangkan. Hanya disebutan penyederhanaan kompetensi dasar tiap mata pelajaran sehingga fokus pada kompetensi esensial dan kompetensi prasyarat untuk pembelajaran selanjutnya. Ditambahkannya, sekolah diberikan tiga pilihan yakni tetap memakai K-13, memakai kurikulum darurat atau penyederhanaan kurikulum. (Sueca/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *