I Ketut Putra Erawan. (BP/Istimewa)

Oleh I Ketut Putra Erawan, Ph.D.

Pilkada Bali 2020 ini untuk rakyat? Keraguan tersebut sebenarnya muncul pada setiap pilkada. Namun keraguan kali ini beralasan. Penjaringan aspirasi masyarakat diterjemahkan sebagai usulan nama untuk diusung partai. Perdebatan dan penalaran publik diarahkan dan berpusat pada partai pengusung, elektabilitas, dan manuver politik.

Minggu terakhir ini, fokus pembicaraan publik hanya pada rekomendasi partai pusat. Dia basis ‘’legalitas’’ bagi calon. Selanjutnya didaftarkan ke KPUD lewat tontonan yang menghibur. Ada yang datang dengan mobil kuno, disambut Hanoman. Ada yang berjalan kaki beberapa kilometer sambil menyapa warga. Sementara media berisi berita reaksi calon tersingkir, serta tokoh yang calonnya tidak direkomendasi. Bangga, optimis, sedih, dan kecewa adalah warna pilkada minggu ini.

Lalu, rakyat sebagai akar dan tujuan pilkada di mana? Kenapa perdebatan tentang program untuk kesejahteraan rakyat yang tengah terpapar pandemi Covid-19 sangat terbatas? Kenapa persoalan riil yang dihadapi Denpasar, Badung, Tabanan, Jembrana, Bangli, dan Karangasem tidak mendominasi perdebatan? Kenapa wajah-wajah elite yang berseliweran? Kenapa tampang-tampang kumuh tanpa harapan jarang tampak. Mereka tidak bisa berdiam di rumah, karena rezeki mereka ada di jalan. Mereka tidak bisa bekerja dari rumah karena teknologi dan komunikasi barang asing untuk mereka.

Tanpa program yang jelas, pilkada seperti pasar tanpa barang yang dijual. Kepercayaan terhadap penjual (figur dan partai) menjadi hampiran sebuah pilihan. Ketika informasi tidak disampaikan dan partai-partai susah dibedakan, pemilih menggunakan hubungan emosional atau simbol tokoh sejarah. Ketika emosi yang mengungguli rasio, pilkada menjadi rentan pada gesekan, tidak peka pada perubahan dan kemajuan. Pilkada mandek sebagai instrumen demokrasi yang memajukan dirinya.

Baca juga:  Guru, Berbagi dan Empati

Program Hanya Rutin

Dari pembacaan terbatas, ada tiga pola program yang ditawarkan para incumbent untuk Pilkada Bali 2020. Pertama, melanjutkan memberi berbagai bantuan kepada masyarakat. Bantuan tersebut baik yang berwujud bantuan pendidikan, kesehatan, penduduk lanjut usia, pembangunan infrastruktur serta bantuan pada institusi dan aktivitas adat/budaya. Para incumbent di Badung, Denpasar, Tabanan, dan Karangasem menekankan keberlanjutan bagi program-program ini. Kedua, incumbent juga terutama yang dari PDI-P menyatakan akan menyelaraskan program kabupatennya (misalnya Badung dan Tabanan) dengan program-program provinsi yang sebenarnya sejenis. Ketiga, program-program baru yang ditawarkan sebenarnya memperluas bantuan di atas, seperti misalnya bantuan kepada pura paibon.

Para penantang untuk Pilkada Bali ada yang menawarkan ‘’tatanan baru’’ atau program baru tanpa kejelasan bentuknya. Yang membedakan mereka adalah kemungkinan alokasi-alokasi program tersebut kepada wilayah baru para pendukung mereka. Jadi politik tergantung pada basis massa pendukung yang dimobilisasi oleh aktor-aktor politik. Partai politik tidak perlu memiliki massa, mereka hanya perlu memegang orang-orang atau institusi-institusi yang punya massa itu.

Ini bentuk evolusi baru patron-client politics, kata Novaes (2015) dalam disertasinya berjudul ‘’Modular Parties: Party Systems with Detachable Clienteles’’ dari Berkeley University, USA. Hubungan partai dengan massa seperti sistem franchise atau multi-level marketing. Partai-partai politik tidak perlu membayar transaksi terus-menerus dengan massa pendukungnya. Tetapi cukup bertransaksi dengan para penghubung, pemimpin, dan organisasinya. Modular Party System ini tampaknya bisa membantu kita memahami kenapa tokoh dan massa pendukung juga bisa berganti baju partai menjadi partai lain dalam pilkada berikutnya.

Baca juga:  Konsep Ekonomi Kerthi Bali Digagas Koster Wujudkan Keharmonisan Pembangunan

Penjelasan lain kenapa program-program yang ditawarkan hanya rutin adalah karena koalisi partai pendukung dan pengusung calon hanya mempertimbangkan kalkulasi konstelasi politik lokal dan kepentingan politik pragmatis semata. Pola koalisi ini oleh Slater dan Simmons (2012) disebut sebagai Promiscuous Power-Sharing atau bagi-bagi kekuasaan tanpa etika. Kita bisa lihat pada pengusung partai politik di berbagai kabupaten/kota di Bali. Partai apa saja bisa bergabung dengan partai apa saja. Bupati yang diusung oleh satu partai, sekarang mendukung adiknya dari partai lain. Calon bupati dari kalangan profesional akhirnya ditinggalkan oleh partai pengusung karena incumbent elektibilitasnya lebih tinggi.

Baik sistem kepartaian yang cenderung modular maupun koalisi yang promiscuous tersebut membuat pilkada menjadi ajang para elite dan kekuatan politik semata. Karena rakyat hanya ‘’figuran’’ atau ‘’clients’’, maka program yang ditawarkan berbentuk rutin berwujud bantuan-bantuan episodik saja.

Program Responsif dan Strategis

Sebenarnya saat ini perubahan punya peluang. Pandemi Covid-19 menuntut transformasi dan perubahan. Wujudnya adalah tawaran program responsif dan progresif. Program responsif adalah program-program untuk membuat daerah bisa merespons dampak dari pandemik. Bentuknya inovasi terhadap sistem kesehatan masyarakat dan respons kebencanaan, pengangguran dan kemiskinan, serta pengembangan usaha kecil dan menengah. Program untuk membuat lapangan kerja baru bagi penganggur dari jasa perhotelan, restoran, transportasi dan usaha perjalanan, serta lainnya. Belum lagi kebutuhan bagi pekerja kapal pesiar atau berbagai spa di luar negeri. Merespons keresahan tamatan sekolah menengah dan perguruan tinggi yang percaya dirinya jatuh karena tidak efektifnya kelas lewat daring.

Baca juga:  Prioritas Siswa Miskin Dalam PPDB

Program strategis adalah berbagai aktivitas yang dilakukan saat ini sebagai persiapan dan investasi bagi masyarakat jangka panjang. Contoh dari program strategis tersebut adalah mengubah fondasi ekonomi yang hanya bersandar pada pariwisata budaya ke aktivitas lain yang menguntungkan untuk jangka panjang. Misalnya Bali disiapkan untuk menjadi pusat pengembangan pengetahuan/teknologi masa depan dengan bekerja sama dengan berbagai negara termaju bidang pengetahuan/teknologi. Pandemik Covid-19 menyadarkan kita pada perlunya riset dan industri kesehatan. Pengembangan pusat penelitian penyakit menular, penyakit tropis, penelitian vaksin, penelitian obat alternatif, dll. bisa menjadi unggulan yang mengubah aktivitas produksi di Bali.

Tantangan saat dan pascapandemik signifikan. Keterbatasan PAD, karena pajak, retribusi, dan pemasukan lain yang berkurang serta menurunnya bantuan pemerintah. Perlunya program-program yang responsif itu akan memaksa partai-partai politik dan pemimpin politik untuk memperbesar kapasitas daerah. Serta mencari sumber dan daya dukung baru baik nasional maupun internasional.

Mengandalkan transaksi dan koalisi pragmatis tidak akan memberikan solusi jangka pendek maupun jangka panjang. Karena politik seperti itu tidak responsif dan strategis. Kalau pilkada hanya menjadi sarana memilih pemimpin, maka secara filsafati dia gagal. Gagal dalam merespons kebutuhan rakyat kini serta gagal dalam menyiapkan masa depan.

Penulis, Direktur Eksekutif Institute for Peace and Democracy, Indonesia

Pengajar Ilmu Politik Unud, Bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *