I Gusti Ketut Widana. (BP/Istimewa)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Salah satu sikap yang belakangan kian diperagakan masyarakat Bali di tengah kian merebaknya pandemi Covid-19 adalah maboya. Maboya merupakan salah satu idiom lokal Bali yang menggambarkan ulah atau tingkah polah masyarakat yang menganggap ‘’tidak serius’’ (sing seken/sing saja) terhadap apa pun yang dikatakan/dicontohkan orang, termasuk pemerintah, meski dimaksudkan untuk kebaikan bersama.

Fakta dan data kian merebaknya wabah virus Corona dan bertambah meroketnya jumlah kasus terkonfirmasi Covid-19 membuktikan salah satu penyebabnya adalah karena faktor maboya. Indikasinya, kepatuhan masyarakat terhadap penerapan protokol kesehatan cenderung melemah.

Contoh mencolok, masih banyak masyarakat yang abai menggunakan masker dengan alasan klise: lupa. Banyak juga yang menggunakan masker asal-asalan dengan menempatkannya di dagu, dalihnya tidak biasa, kurang nyaman atau bahkan merasa diri kuat (siteng) dan sehat (seger-oger), tidak mungkin terpapar virus Corona.

Belum lagi item protokol kesehatan lainnya, seperti menjaga jarak manusia secara fisik (physical distancing). Realita sosial membuktikan, apalagi bagi masyarakat Bali yang kental suasana guyub (briuk sapanggul), persis seperti pepatah Jawa mangan ora mangan sing penting ngumpul (makan tidak makan yang penting dapat berkumpul).

Dalam konteks kehidupan sosial, adat, budaya dan agama (Hindu) di Bali pun, tradisi sobyah (makrama/manyama braya) dan ngayah (sebagai media sembah) menjadikan interaksi fisikal dalam lingkup sosial sebagai penggairah kehidupan masyarakat Bali. Artinya tradisi berkumpul (mapupul) seakan menjadi roh penghidup dan penggerak urat nadi sosio-religius  masyarakat Bali. Mulai dari bertani (ka uma), gotong royong (ngeroyong), rapat (sangkep/parum), menghadiri undangan (uleman), pelaksanaan upacara (panca yadnya), termasuk kedukaan/kematian (mendem/ngaben), bahkan acara yang sebenarnya beraroma judi (tajen dan sejenisnya) semuanya mewajibkan kehadiran anggota (sekaa/krama/nyama-braya/semeton) yang sudah pasti akan mendatangkan keramaian dan menimbulkan kerumunan.

Baca juga:  Liburan Nataru, Bukti "Hospitality" Bertumbuh

Keramaian atau kerumunan masyarakat tersebut merupakan refleksi rasa kebersamaan, sekaligus terjaganya soliditas antarindividual/personal dalam lingkup sosial bernuansa komunal dan kolegial yang secara tradisional sudah mengakar kuat sejak masa silam. Hanya, di tengah situasi pandemi Covid-19, kewajiban mematuhi dan melaksanakan protokol kesehatan mutlak diperlukan dan tidak bisa ditawar lagi. Mau tidak mau tradisi beracara (sosial, adat, budaya dan agama) harus mengadopsi dan mengadaptasi kebiasaan baru, dan tentang ini sama sekali tidak boleh maboya. Apalagi terprovokasi oleh verbalisme istilah maboya yang diartikan sebagai suatu gurauan atau kebohongan semata.

Maboya jenis ini dapat pula dipleset-tafsirkan sebagai ungkapan dong boyanin dalam artikulasi makna dong kene dong keto atau dong ya (bukan begini bukan begitu atau bukan semuanya). Jadinya, tidak ada yang dapat dijadikan pegangan pasti, semua serba bukan, yang benar bukan, apalagi yang memang tidak benar, lebih bukan lagi). Muara akhirnya, menimbulkan ketidakpercayaan terhadap apa pun (seperti mewabahnya virus Corona) dan kepada siapa pun, termasuk pemerintah. Sikap dan perilaku yang ditunjukkan masyarakat pun cenderung semakin ampah (ceroboh) dan campah (meremehkan) terhadap setiap kejadian (wabah/musibah) dan segala imbauan/anjuran mematuhi protokol kesehatan. Jika sudah demikian situasinya, jangan heran bentuk sikap dan perilaku maboya ini bisa menjadi pemacu dan pemicu ‘’bom’’ besar yang efek ledakan jumlah kasus terkonfirmasi Covid-19 semakin hari kian melonjak signifikan.

Baca juga:  Kasus COVID-19 Meningkat, Dua Kawasan di Spanyol Jalani Karantina Wilayah

Diperlukan upaya menetralisir idiom lokal maboya ini agar tidak berkembang menjadi mabhaya (membahayakan), antara lain dengan terus meningkatkan derajat kesehatan (ayurdehi) dan kesejahteraan (danamdehi) agar masyarakat tetap mabayu (kuat dan sehat). Bila perlu untuk menambah  kepercayaan dan keyakinan diri, sebagai uamat Hindu tidak salah jika berkenan mabayuh, agar pikiran dan perasaan hati teduh, emosi luluh, lalu  jiwa semakin teguh dan kukuh, sehingga mewabahnya virus Corona sebagai musuh bisa cepat rapuh hingga akhirnya tidak lagi ngarusuh.

Kata kuncinya, tinggalkan sikap maboya dengan perilaku ampah dan campah, maka apa pun bentuk masalah dan jenis musibah, termasuk mewabahnya Covid- 19 akan dapat diambil hikmahnya hingga kemudian berbalik mendatangkan berkah anugerah berlimpah. Setidaknya melalui merebaknya virus Corona di senatero dunia, telah terjadi proses purifikasi (pembersihan, penyucian) alam ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa yang tanpa disadari selama ini ‘’dikuasai’’ oleh kemahalobaan manusia dengan perangkat canggih kemajuan teknologinya. Merebaknya virus Corona, seakan kini bumi dibersih-sucikan, semisal lapisan ozon kembali pulih akibat mesin-mesin industri dengan sejuta cerobong asap pencemaran terhenti beraktivitas. Hutan dan seisinya lebih tenang tanpa gangguan tangan usil bin jail pelaku illegal logging. Ikan di laut, danau dan sungai bisa bebas berenang dengan senang tanpa ancaman pukat harimau.

Baca juga:  India Berencana Gunakan Vaksin Covid-19 Sendiri

Tanpa disadari makhluk manusia (mikrokosmos/bhuwana alit) pun harus kembali kepada jati diri sebagai bagian dari alam (makrokosmos/bhuwana agung) yang wajib saling memelihara, merawat dan menjaga satu sama lain agar kehidupan semesta ini bisa berlangsung dengan saling menghidupkan, bukan sebaliknya mematikan satu dengan lainnya. Hikmah merebaknya virus Corona sejatinya adalah sekaligus sebagai berkah bagi semua makhluk di muka bumi ini: loka samesta sukhino bhawantu.

Penulis, akademisi Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *