Ratusan warga, Selasa (7/3) melakukan aksi damai yang di isi dengan aksi bersih sampah dan pengibaran bendera Tolak Reklamasi di Teluk Benoa. (BP/dok)
DENPASAR, BALIPOST.com – Terik matahari yang menyinari perairan Teluk Benoa tak menyurutkan aksi damai menolak rencana reklamasi Teluk Benoa yang kembali digelar Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI) dan Pasubayan Desa Adat/Pakraman Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa, Selasa (7/3) siang.

Massa bertolak menaiki perahu, masing-masing dari Sanur, Kepaon, Pemogan, Kelan, Kedonganan, Jimbaran, Bualu, dan Tanjung Benoa untuk akhirnya bertemu di perairan Teluk Benoa yang akan direklamasi.

Sebagian massa menceburkan diri ke Teluk Benoa dan menyanyikan lagu Bali Tolak Reklamasi. Tidak lupa mereka mengepalkan tangan kiri sebagai simbol perlawanan terhadap investor rakus.

Bendera ForBALI dan Pasubayan dikibarkan untuk lebih menegaskan bahwa sebagian besar masyarakat Bali menolak rencana menguruk Teluk Benoa seluas 700 hektar.

Sebagian lagi tidak ikut berenang dan bertahan di atas perahu meneriakkan penolakan reklamasi Teluk Benoa. Puluhan perahu yang mengangkut massa kemudian merapat ke muntig Pan Rasmin. Orasi-orasi penolakan lantas dilakukan diatas muntig tersebut.

Baca juga:  Warga Bali Meninggal Akibat COVID-19 Masih Bertambah 2 Digit, Kesembuhan Lampaui Kasus Baru

Koordinator Divisi Kampanye Politik ForBALI, Suriadi Darmoko mengatakan, aksi di perairan Teluk Benoa ini adalah respon cepat terhadap kedatangan Komisi VII DPR RI ke Bali.

Agenda dari Komisi yang membidangi lingkungan hidup ini salah satunya diketahui membahas reklamasi Teluk Benoa. Namun tanpa melibatkan masyarakat, khususnya di desa adat yang terdampak dan sudah menyatakan menolak.

“Kami memandang Komisi VII sebagai perwakilan rakyat seharusnya bertemu dengan rakyat. Ada desa adat yang berhadapan langsung dengan Teluk Benoa yang sikapnya jelas menolak reklamasi. Kalau tidak menemui rakyat, lalu mereka menemui siapa,” ujarnya.

Suriadi kembali menegaskan, penolakan reklamasi tidak hanya dilakukan oleh desa adat yang berhadapan langsung dengan Teluk Benoa. Tapi juga ditolak oleh desa adat yang tidak secara langsung berhadapan dengan Teluk Benoa karena melihat dampak negatif yang ditimbulkan.

Baca juga:  Jaga Kelestarian, Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang Dimulai

Baik dari sisi lingkungan hidup, maupun sosial budaya. Sebagai anggota DPR, Komisi VII mestinya mengutamakan aspirasi rakyat. Bukan malah sebaliknya, seolah-olah tidak mengetahui penolakan masyarakat adat terhadap reklamasi Teluk Benoa.

“Kami juga sengaja melakukan aksi saat Teluk Benoa pasang untuk menunjukkan bahwa Teluk Benoa memiliki fase pasang surut yang alamiah. Karena yang selama ini dikampanyekan adalah kondisi Teluk Benoa saat surut, yang hanya tanah,” imbuh pria yang juga Direktur Eksekutif Walhi Bali ini.

Wakil Bendesa Adat Kelan, Nyoman Parta mengatakan, pembangunan fisik di wilayah Badung khususnya Badung selatan sudah terlalu massif. Konsep kepariwisataan yang berbasis budaya, kearifan lokal, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan bahkan terkesan sudah “jauh panggang dari api”. Apalagi bila rencana reklamasi Teluk Benoa tetap dipaksakan. Parta mengaku sulit mencari alasan untuk setuju.

“Kalau luasan laut di urug 700 hektar, seluas itulah biota laut di urug dan akan menimbulkan perubahan arus laut. Seluas itu pula tidak ada akses bagi masyarakat luas untuk mencari nafkah di laut,” ujarnya.

Baca juga:  Dua Hari, Tambahan Kasus COVID-19 Bali Masih di Atas 270

Parta menambahkan, reklamasi juga bukanlah solusi atas pendangkalan yang terjadi di Teluk Benoa akibat proses sedimentasi. Sebab, akar masalah sedimentasi sebetulnya terletak di daerah hulu. Bagaimana sekarang pemerintah mengajak masyarakat di hulu, khususnya di daerah aliran sungai agar menjaga sampah atau kotoran disana tidak sampai mengalir ke Teluk Benoa.

“Kemudian Teluk Benoa sebagai kawasan suci, harusnya dikonservasi. Kawasan suci ini menyangkut metafisik. Kemampuan manusia terbatas untuk melihat hal-hal seperti itu. Tapi kalau kita ramah kepada alam dan memahami kecerdasannya, alam akan memberikan berkah melimpah,” imbuhnya.

Sebaliknya, lanjut Parta, upaya destruktif terhadap alam karena ambisi dan keuntugan ekonomi semata hanya akan mengundang terjadinya bencana. Mengingat, tidak ada manusia sakti yang bisa mengalahkan kekuatan alam. (rindra/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *