Suka Arjawa. (BP/dok)

Oleh GPB Suka Arjawa

COVID-19 sampai sekarang masih belum dapat ditangani oleh manusia, tetapi rasa optimis secara pelan-pelan telah mulai muncul. Wacana vaksinasi massal terstruktur mulai dibicarakan. Kita sangat berharap agar vaksin ini sukses diterapkan tidak saja di Indonesia tetapi juga di dunia. Sebagai negara yang berpenduduk nomor 4 terbesar di dunia, sistematika vaksinasi dan vaksin ini harus benar-benar diperhatikan di Indonesia.

Ada catatan kurang baik bagi perilaku sosial kita, bahwa tindakan yang bersifat massal sering kali berbuah protes dan sebagian lagi bahkan keributan. Catatan ‘’kedemokrasian’’  Indonesia itu buruk. Jika tidak protes ya… bentrokan. Vaksinasi massal, apalagi yang bersifat sangat mendasar bagi kehidupan, sangat berpotensi untuk dua hal ini: protes dan kerusuhan.

Meskipun Indonesia memiliki hari raya Nyepi dan puasa untuk masyarakat muslim, tetapi dengan kegamangan sikap sosial dan harus diakui juga pemerintah dan aparat (baik formal maupun semiformal) terhadap wabah ini, maka cara yang paling bagus bagi masyarakat untuk menghindar dari korban Covid adalah dengan memanfaatkan vaksin.

Seharusnya, apabila kita mau sedikit berkorban dan berjuang, maka secara teoretik wabah ini dapat diatasi secara sosial. Jika dipadukan antara fenomena Nyepi di Bali dengan puasa masyarakat muslim di Indonesia, maka dalam 20 hari seharusnya secara teoretik dapat ditekan atau jangan-jangan dapat dihilangkan.

Artinya, mari kita diam di rumah selama 20 hari, menderita selama jangka waktu itu, mengendalikan diri, memberikan sebagian penghasilan kita kepada mereka yang benar-benar tidak mampu untuk mendukung suplai logistiknya. Apa artinya menderita 20 hari jika itu mampu menyembuhkan berpuluh-puluh tahun dan menghilangkan wabah.

Baca juga:  Hadapi Resesi Kurangi Resepsi

Tetapi, jangankan kita menggerakkan kearifan lokal seperti yang diungkapkan di atas, menaati protokol kesehatan saja masyarakat tidak mampu, dan malah berkoar-koar mengaku sehat.

Karena itulah kemudian vaksin menjadi jawaban (mahal dan lama) dari wabah Covid-19 ini. Dikatakan mahal, karena bagaimanapun negara harus mengeluarkan biaya (subsidi) yang tidak banyak, paling tidak untuk 250 juta rakyat Indonesia. Bagaimanapun kelak, masyarakat juga harus membayar harga vaksin ini.

Jika dikaitkan dengan keusilan oknum-oknum yang suka bermain keuntungan, kita juga harus waspada dengan keaslian vaksinnya kelak. Dengan tujuan keuntungan, akan ada saja oknum-oknum yang bermain memalsukan vaksin, seperti yang juga ada di obat-obatan dan apalagi kesehatan makanan yang beredar. Karena itu pemerintah harus ketat dengan hal-hal seperti ini.

Dikatakan lama, sudah jelas karena harus ada penelitian yang mendalam dan tidak boleh main-main dengan persoalan vaksin ini. Harus ada pentahapannya dan benar-benar dengan kajian ilmiah, sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Konon menurut para ahli, apabila virus itu bermutasi dan cerdas ‘’mempertahankan’’ diri pada inangnya sesuai dengan ciri-ciri kehidupan ras manusianya, maka bertambah lagi lama waktu yang ditunggu.

Artinya, vaksin yang diperlukan oleh orang Indonesia dapat berbeda dengan orang dari Thailand, Korea, apalagi orang Eropa. Bahkan di Indonesia saja kemungkinan akan ada vaksin yang berbeda antara warga yang berada di bagian barat garis Wallace dengan bagian timurnya. Demikian pula dengan warga yang ada di Papua. Dengan adanya perbedaan ras di dalam  bangsa Indonesia ini sendiri, maka mau tidak mau Indonesia harus menguasai penelitian dan pengembangan tentang vaksin tersebut.

Baca juga:  Subsidi Pertanian Versus Kompensasi BBM

Dunia perguruan tinggi Indonesia benar-benar mempunyai tantangan tersendiri  untuk mengembangkan vaksin sesuai dengan kondisi riil kebutuhan bangsa Indonesia yang beragam secara suku dan ras. Yang tidak bisa dilupakan adalah pengobatan tradisional Indonesia. Ratusan suku di Indonesia mempunyai cara-cara pengobatan tersendiri. Bukan tidak mungkin satu di antara pengobatan tradisional itu mampu mengobati Covid ini. Atau mungkin penggabungan antara pengobatan tradisional yang satu dengan yang lain akan menghasilkan sintesa obat baru yang jauh lebih hebat dari obat-obatan Barat yang lain.

Maka, jika ada kelompok masyarakat atau perorangan yang menguasai lontar tentang pengobatan tradisional, mohon dengan hormat jangan disakralkan. Berikan kesempatan para ilmuwan mengeksplorasinya demi kepentingan masyarakat dan manusia di seluruh dunia. Indonesia juga mempunyai aneka ragam hayati tumbuhan obat yang membikin negara lain cemburu.

Eksplorasi terhadap tumbuh-tumbuhan ini perlu dilakukan di seluruh pelosok Indonesia. Ke depan, kita tidak tahu penyakit apa saja yang akan mungkin muncul lagi yang menjangkiti orang Indonesia. Maka, dengan potensi tumbuhan hayati itu, Indonesia mesti harus waspada. Lepas apakah virus Corona ini hasil rekayasa atau bukan, tetapi penyakit itu telah ada dan harus dihadapi dengan berbagai cara.

Dengan demikian, pemaksinan yang kelak dilakukan pemerintah (kiranya dalam waktu dua atau tiga bulan ini) harus benar-benar mendapatkan pengawasan ketat. Pengawasan terhadap vaksin itu sendiri (maaf keaslian dan keampuhannya) dan juga pengawasan sosialnya. Terhadap kualitas vaksin, ini sudah tentu kementerian yang terkait mesti memerhatikan dari sekarang. Bagaimanapun di belakang fenomena vaksin ini, ada ranah bisnis. Dan bisnis ini, di mana pun itu ada ada juga rekayasa tertentu demi keuntungan pribadi dan keuntungan kelompok.

Baca juga:  Waspadai “KDRS”!

Kemudian yang mesti mendapat perhatian utama adalah masyarakat. Yang pertama-tama mesti diingat pemerintah Indonesia adalah di Belanda menemukan kata ‘’amok’’. Masyarakat suka mengamuk terhadap hal-hal yang dipandang menyangkut dasar dari kehidupan. Vaksin adalah dasar karena ia menyelamatkan kehidupan. Jangankan vaksin, terhadap tanah adat saja masyarakat sering membawa pacul atau senjata apa saja untuk mempertahankannya. Pemerintah adalah pemegang kuasa utama terhadap penyebaran, pembagian dan sistematika vaksin ini.

Jadi, upaya sistematika pembagian vaksin ini haruslah disosialisasikan sejak sekarang, jauh-jauh hari kepada masyarakat agar mereka tidak mengamuk. Sistematika itu juga harus mempunyai alasan yang jelas agar dapat dimengerti. Sistematika ini pun mesti ‘’disistematika’’ pula secara bertingkat. Sangat setuju kalau misalnya yang mendapat vaksin paling dulu adalah petugas kesehatan. Petugas kesehatan ini juga harus disistematika, yang dimulai dengan dokter yang bersentuhan secara langsung dengan penyakit ini. Selanjutnya perawat, sopir mobil ambulans dan seterusya. Prinsipnya adil dan profesional. Ini masalah hidup tidak boleh main-main.

Penulis, staf pengajar Sosiologi FISIP Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *