Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Headline Bali Post (1/10) tentang potensi gempa besar (megathrust) yang dapat dialami Bali bagai menegaskan kembali headline Bali Post (20/3) yang bertajuk ‘’Waspada Potensi Gempa Besar di Bali Selatan’’. Keduanya semakin menyiratkan ancaman nyata gempa besar dari segmen Bali.

Subduksi aktif lempeng Indo-Australia yang menghunjam lempeng Eurasia, memang berada hanya sekitar 100 kilometer di selatan Bali. Segmen Bali sendiri merupakan ujung Sunda Megathrust yang dibagi menjadi Andaman megathrust, Sumatera megathrust, Java megathrust, dan segmen Bali.

Potensi gempa bumi besar beserta tsunami memang ada pada Sunda Megathrust, yang dapat terjadi di sepanjang pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa, hingga wilayah pantai selatan Bali. Sebagai zona pertemuan antara lempeng Eurasia (terdiri dua mikro-lempeng, Burma dan Sunda) yang dihunjam oleh lempeng Indo-Australia, zona ini merupakan yang paling aktif di bumi dan bertanggung jawab atas banyak gempa bumi besar; termasuk gempa dan tsunami Aceh pada tahun 2004.

Menurut Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, ancaman paling nyata ada di sepanjang pantai barat Sumatera, kemudian lautan selatan Jawa; jaraknya sekitar 200-250 km di laut lepas. Kemudian di wilayah selatan Bali ke arah timur dan sisi utara Papua.

Jika kekuatan gempanya besar dan sumber gempanya dangkal, bisa sangat memungkinkan terjadinya tsunami. Kita tentu tidak ingin ada harga sangat mahal yang harus dibayar, akibat ketidaksiapan krama Bali dalam menyikapi kenyataan bahwa Bali berada di segmen Sunda Megathrust, yang menuntut untuk selalu siap dengan segala bentuk antisipasi dan siaga menghadapi datangnya bencana gempa dan tsunami.

Baca juga:  Miskonsepsi Filosofis Pendidikan

Hampir sepanjang pantai selatan Bali adalah pantai yang relatif landai. Hanya kawasan Nusa Dua yang pantainya merupakan wilayah berbukit-bukit.

Kondisi tersebut membuat kawasan Bali Selatan menjadi area yang rawan, jika tidak dilakukan upaya teknis untuk meredam terjangan air bah tsunami yang bisa terjadi kapan saja. Selain itu juga ada data penelitian yang menunjukkan adanya kawasan potensi rawan likuifaksi di kawasan Bali Selatan.

Kerawanan Bali dari ancaman bencana gempa besar tidak hanya di wilayah Bali Selatan. Karena di Bali Utara juga ada potensi gempa besar dengan adanya jalur back-arch (busur belakang) yang terbentang dari utara Flores menerus hingga utara Bali (dikenal sebagai Sesar Naik Flores) dan masuk ke daratan di Jawa Timur menjadi Sesar Kendeng sebagaimana dilansir data publikasi LIPI pada 2017.

Struktur geologi Sesar Naik Flores di timur laut Bali itulah yang memicu gempa besar bermagnitudo 7 menjelang tengah malam 22 November 1815, bertepatan dengan hari Rabu Umanis Kulantir tahun Çaka 1737. Menurut laporan dalam “Catalogue of Tsunami on the Western Shore of the Pacific Ocean” yang disusun oleh S.L.Soloviev dan Ch.N.Go, gempa ini telah memicu terjadinya tsunami di Buleleng yang menelan korban jiwa 1.200 orang.

Baca juga:  Bali "Dikepung" Bencana, Dari Hidrometeorologi hingga Gempa Megathrust Berpotensi Tsunami

Sementara di wilayah Bali Selatan diterjang gempa besar bermagnitudo 6,6 pada pagi hari 21 Januari 1917, yang dikenal sebagai Gejer Bali. Gempa dengan episenter di laut sebelah tenggara Bali ini telah meluluhlantakkan Pulau Dewata, sebagaimana ditulis Henk Schulte Nordholt dalam bukunya ‘’The Spell of Power’’.

Gempa yang menelan korban jiwa 1.500-an orang ini memicu tsunami dengan ketinggian mencapai 2 meter di wilayah Klungkung dan Benoa.

Tata Ruang Bali

Tidak ada salahnya kita belajar dari bandara baru Yogyakarta. Desain Bandara Yogyakarta International Airport (YIA) sudah mengantisipasi adanya potensi gempa dan tsunami Sunda Megathrust. Sepanjang pantai di selatan bandara ditanam cemara udang dan dibuat bukit pasir, guna meredam derasnya terjangan tsunami. Sementara konstruksi bangunan YIA sendiri disebut telah disiapkan guna menghadapi gempa bumi bermagnitudo hingga skala 8.

Bali harus kita jaga eksistensinya dalam menghadapi potensi gempa dan tsunami dari Sunda Megathrust. Harus kita tunjukkan bahwa Bali siap menghadapi dan mampu meminimalkan dampak buruk bencana tersebut. Antara lain melalui beberapa langkah seperti berikut.

Pertama, sosialisasi tentang mitigasi bencana gempa dan tsunami harus dilakukan kepada seluruh lapisan masyarakat krama Bali secara terus-menerus. Secara sinergi melibatkan seluruh instansi yang bertanggung jawab terhadap masalah kebencanaan. Sejak dari BPBD, BNPB, BMKG, PVMBG hingga Basarnas. Utamanya harus saling bertukar data dan informasi agar setiap instansi dapat bergerak dalam satu-kesatuan langkah yang selaras.

Baca juga:  Pendulum Kebudayaan Bali

Kedua, harus ada komitmen kuat dalam optimalisasi teknologi bangunan agar bangunan memiliki kemampuan ketahanan terhadap gempa dengan angka magnitudo besar, yang dikendalikan melalui mekanisme Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Hal ini mengingat realitas bahwa sebagian besar korban jiwa dalam setiap gempa adalah akibat tertimpa reruntuhan bangunan, bukan akibat langsung dari gempanya sendiri. Kecuali dalam hal terrjadinya likuifaksi dan tsunami.

Ketiga, perlunya infrastruktur tata ruang dan lingkungan sebagai upaya meredam akibat buruk bencana gempa megathrust dan tsunami. Berupa software (perangkat lunak) maupun hardware (perangkat keras). Perangkat lunak bisa berwujud peta digital kawasan bencana, notifikasi gempa/tsunami melalui gadget, atau perangkat peringatan dini tsunami.

Sementara perangkat keras dapat berupa marka penanda jalur evakuasi, tata ruang wilayah ramah bencana, atau tanamam bakau dan cemara udang guna meredam tsunami.

Pada akhirnya, upaya menanamkan budaya sadar bencana gempa dalam benak krama Bali harus menjadi tujuan akhir yang signifikan. Sikap sadar bencana yang berarti selalu berdamai dengan alam, akan menciptakan sikap untuk selalu siaga terhadap bencana gempa yang dapat datang sewaktu-waktu.

Dalam perilaku keseharian, krama Bali sebenarnya sudah berpegang pada filosofi Tri Hita Karana. Krama Bali diharapkan akan mampu menyiapkan lingkungan huniannya guna meminimalkan akibat buruk bencana alam.

Penulis Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *