GIANYAR, BALIPOST.com – Polemik pensertifikatan tanah Desa Adat Jero Kuta Pejeng, Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar masih bergulir. Menyikapi kondisi ini pihak Desa Adat Jero Kuta menggelar diskusi dengan intansi terkait di Wantilan Pura Penataran Sasih, Pejeng, Kamis (8/10).

Instansi terkait yang hadir pun menyarankan agar persoalan ini diselesaikan ditingkat desa adat. Sementara berdasarkan awig-awig desa setempat, dua warga yang sebelumnya dikenakan sanksi kanorayang, kini terancam dikeluarkan dari Desa Adat Jero Kuta Pejeng.

Bendesa Adat Jero Kuta Pejeng, Tjokorda Gde Putra Pemayun mengatakan pertemuan prajuru Desa Adat Jero Kuta Pejeng bersama instansi terkait memang inisiatif di desa adat setempat. Hasilnya, sejumlah instansi terkait mulai dari pihak Kepolisian, Danramil, Camat, Kesbangpol Gianyar, Majelis Desa Adat Gianyar hingga BPN Gianyar masalah itu diselesaikan di tingkat desa adat.

“Dari pertemuan tadi sudah dijelaskan bagaimana kronologis pensertifikatan itu. Intinya MDA, Camat, Kasat Bimas, termasuk BPN menyarankan agar diadakan pertemuan kembali di tingkat desa. Karena sampai saat ini pihak yang keberatan belum bisa dipertemukan,” jelasnya.

Baca juga:  Kontribusi Masuk Bali Disatukan Dengan Harga Tiket Pesawat

Terkait dua warga yang kena Kanorayang, Bendesa Adat menjelaskan sanksi tersebut diberikan lantaran dua warga ini tidak menjalankan awig-awig setempat. Dijabarkan awig-awig yang dilanggar ialah ketika ada permasalahan atau keberatan harus melalui beberapa tahapan dari tingkat kelihan, paruman banjar, bendesa, paruman desa hingga tingkatan yang lebih tinggi. Ketika tidak mencapai titik temu, baru bisa melapor ke pihak berwajib. Namun sebelum melewati tahapan itu, dua warga ini langsung melapor ke pihak berwajib.

“Sedangkan tahapan ini semua tidak mereka lakukan terhadap kita di desa, ujug-ujug sudah melaporkan prajuru yang isinya pemalsuan penandatanganan surat di BPN, setelah ada pertemuan disini bersama BPN, dijelaskan oleh BPN bahwa tidak ada surat palsu sudah semua sesuai aturan pensertifikatan, ” katanya.

Dikatakan, pihak desa sudah memberikan kesempatan kepada dua warga tersebut, agar sanksi kanorayang bisa dicabut. Namun kelonggaran ini tidak dimanfaatkan dengan baik. ” Desa sudah memberikan kesempatan untuk meminta maaf di desa dalam tiga kali pertemuan dan mencabut laporan. Namun sampai saat ini tidak ada langkah-langkah tersebut,” paparnya.

Baca juga:  Keberadaan Perda Lebih Perkuat Desa Adat dan Saling “Gisi”  

Tjokorda Gde Pemayun juga menyampaikan bila warga yang menerima sanksi kanorayang itu mau meminta maaf ke desa adat dan mencabut laporan dalam tiga kali paruman, secara otomatis sanksi kanorayang akan dicabut oleh pihak desa adat. Langkah itu bukan hanya kebijakan dari perangkat desa adat, melainkan memang sudah tercantum dalam awig -awig desa setempat.

“Jika sampai paruman ketiga tidak ada meminta maaf dan mencabut laporannya. Ya mereka (penerima sanksi kanorayang-red) hak dan kewajiban mereka diputus dari desa adat. Sehingga apa yang menjadi hak desa berupa karang desa harus dikembalikan ke desa adat,” tegasnya.

Disinggung apakah hal ini berarti dua warga tersebut diusir bila pada paruman ketiga tidak meminta maaf dan mencabut laporan? Bendesa Adat Jero Kuta Pejeng mengatakan agar aturan itu diartikan sendiri. “Itu silahkan artikan sendiri, intinya mereka harus menyerahkan hak dan kewajibannya ke desa adat, termasuk karangan desa yang ditempatinya (diserahkan ke desa adat-red),” tandasnya.

Baca juga:  Peluncuran Desa Bersih dari Narkoba

Sementara itu Ketua Tim dari BPN Gianyar, Made Oka Darmawan mejelaskan pensertifikatan itu merupakan program dari Presiden Jokowi bahwa semua bidang tanah harus didaftarkan. Ditambahkan untuk di Desa Pejeng sendiri antusias warga awalnya berjalan dengan lancar, maka diproseslah tanah PKD ini sampai akhirnya terbit sertifikat. Selanjutnya mau dibagikan akhir tahun 2019 untuk mendata mana yang belum bersertifikat.

Rencana ada penyerahan, tetapi akhirnya ada yang keberatan. “Apa yang dipermasalahkan ini semestinya diselesaikan di desa. Karena ini tanah adat, mana tanah adat dan mana hak milik sudah jelas awignya,” paparnya.

Dikatakan bila persoalan ini sudah selesai di desa adat, khususnya untuk menentukan tanah tersebut. Disampaikan bahwa BPN tidak bisa menentukan mana tanah adat dan tidak. “Cukup selesaikan di adat jika ada yang keberatan, kemudian sesuai hasil rapat diserahkan ke kami. Kalau bisa diselesaikan di adat, supaya tidak sampai meluas lagi,” imbuhnya. (Manik Astajaya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *