Kadisbud Bali I Wayan “Kun” Adnyana. (BP/dok)

Oleh Wayan Kun Adnyana

Memaknai berpulang sosok perupa kontemporer Indonesia, Made Wianta, pada Jumat, 13 November 2020, mengantar pada renungan tentang totalitas kesenimanan; perjalanan dan pendakian panjang, sekaligus jalan pulang ke Abadian. Sosok perupa kelahiran Apuan, Tabanan, 20 Desember 1949 dalam memori medan seni rupa Indonesia merupakan maestro dengan jelajah kreatif lintas batas.

Energi dan gairah untuk menjadikan kesenian sebagai dharma kemanusiaan tidak pernah lekang. Ia berpendirian dalam memperjuangkan gagasan-gagasan avant garde, walau di sana-sini arus kritik, juga silang pandang yang datang. Ia teguh dan tegap untuk mengumandangkan jalan kesenian sebagai medan kedamaian dan persahabatan abadi.

Sejak suntuk mengenali, menggali, dan memaknai khazanah magis ruang-ruang sunyi Karangasem era 1970-an, Wianta memasuki kedalaman akar tradisi rajah. Daya spiritis personal hadir pada keliaran makhluk-makhluk rekaan yang dikreasi memenuhi bidang kanvas, dan juga medium kertas berbagai ukuran. Tradisi rajah mengejawantah jadi ekspresi modern tentang keluasan keyakinan spiritis.

Wianta mengikuti studi seni rupa melalui pendidikan akademik STSRI (ASRI) Yogyakarta, termasuk memasuki sekolah seni kejuruan pada Kokar Bali dan Sekolah Menengah Seni Rupa di Denpasar. Paradigma seni modern tentu sejak dini telah turut membangun persepsi dan jalan kreatif, terlebih pengalaman melintasi berbagai ruang seni dunia, sejak di Brussel, Belgia, tahun 1976, termasuk New York, Basel, dan Paris.

Baca juga:  Menjaring Wisatawan Lewat Promosi Cagar Budaya

Kecakapan artistik melampaui medium, juga jelajah lintas media selain ditopang proses studi akademik, juga dimekarkan oleh pergaulan lintas disiplin. Wianta intensif melakukan diskusi, dialog, dan bercengkrama dalam bergulatan pemikiran dengan berbagai kalangan, dari sastrawan, perupa, kritikus, jurnalis, hingga aparatus pemegang kebijakan publik. Sikap terbuka, dan juga memasuki romantika diskusi beragam latar pemikiran, tercermin pada karya-karyanya yang kadang-kadang melampaui selera zamannya. Karya seni peristiwa (happening art) yang digagasnya acap menuai kontroversi. Tidak sedikit kemudian yang hadir sebagai inspirasi perupa muda, seperti beragam karya instalasi dan seni rupa video.

Jelajah Medan Seni Dunia  

Pascamenyelami dunia surealistik dalam seri-Karangasem, Wianta seperti memasuki dunia kosmopolitan dengan kemeriahan warna dan dimensi. Seri geometrik, dengan taburan artistik titik warna menyembur bebas, berikut pada fase-fase tertentu menjadi rapi dan tertata, karya seni lukis peraih Dharma Kusuma Provinsi Bali 1998 ini hadir dalam berbagai forum pameran dunia.

Baca juga:  Defisit Empati

Berbagai peristiwa monumental seni rupa ia gagas, seperti Art and Peace di pengujung milenium ke-2 (1999). Tampil pada Biennale Venezia tahun 2003 dengan tajuk ‘’Dream Land’’, karya hasil refleksi tragedi bom Bali 2002. Termasuk yang teranyar karya seri ‘’Run-Manhattan’’, rangkaian renungan sejarah rempah Nusantara, yang ditautkan dengan keberadaan perjanjian Breda 1667; yang mempertukarkan Manhattan yang dimiliki Belanda dengan Pulau Run, di kepulauan Maluku yang dikuasai Inggris.

Tema seni yang diangkat Wianta sangat luas, dari persoalan sosial politik, lingkungan, sejarah, dan juga antropologi budaya. Ia mengeksplorasi peristiwa, dari tragedi sampai perayaan tentang kemenangan, menjadi karya-karya reflektif. Peristiwa diringkus sekaligus dibebaskan menjadi karya. Kemudian, publik setidaknya apresian seni menakar peristiwa dalam beragam memori, termasuk memori visual yang dihadirkan pada karya-karya Made Wianta.

Baca juga:  Jangkar Moral Desa

Pesan kemanusiaan secara subtil terepresentasikan pada karya, terutama karya seni rupa peristiwa (happening art) yang digelar di berbagai ruang dan waktu; dari jalan raya, pesisir pantai, gunung, hingga gedung-gedung bersejarah. Keteguhan dan keterbukaan Wianta sangat ditopang kehadiran Intan Kirana Wianta sebagai istri sang maestro.

Ia merupakan salah seorang cucu Ki Hadjar Dewantara, yang mewarisi nilai-nilai keterbukaan, sekaligu juga melekat memori budaya yang plural. Intan bersama kedua putrinya, Buratwangi dan Sanjiwani, dengan sabar merawat Wianta yang hampir lima tahun menderita sakit.

Meskipun sakit, Wianta tetap menunjukkan gairah dan mengisi waktu dengan membuat gambar dan sketsa. Bahkan karya-karyanya tetap menghiasi berbagai pameran penting. Hanya beberapa bulan terakhir ia beristirahat total, sebelum Hyang Widhi memanggil.

Sangat banyak hal yang dapat dikisahkan membaca seniman multitalenta Made Wianta. Bali tentu bangga memiliki putra penuh dedikasi, sekaligus telah menghiasi peradaban seni dengan karya-karya terbaik, sekaligus menginspirasi. Selamat jalan Bli Made Wianta; amor ing Acintya.

Penulis, sahabat Made Wianta

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *