Oleh Erry Trisna
Pada awal 2020, saya bertemu seorang guru yang bertugas di Karangasem, Bali. Ketika berkunjung ke rumahnya, saya menyaksikan pemandangan yang membuat gagu. Di rumahnya ada sebuah ruang yang ia jadikan perpustakaan atau semacam taman baca.
Banyak buku cerita anak, majalah, dan koran yang tersusun rapi di ruang tersebut. Buku-buku itu untuk anak-anak di desa. Mereka boleh datang untuk membacanya. Boleh juga membawanya pulang, tetapi harus dikembalikan.
Wayan Paing, itulah namanya. Guru yang selalu menyisihkan rezeki untuk menambah koleksi buku. Awalnya saya tak menyangka, kumpulan buku itu berasal dari peluh sang guru. Dia bercerita kepada saya, tiap kali mendapatkan rezeki yang tak terduga, dia akan membeli buku. Dia juga menekuni sastra, beberapa bukunya ada yang sudah terbit.
Setelah mengetahui tentang apa yang dilakukan sang guru, saya pun berniat untuk mengadakan gerakan donasi buku untuknya. Hingga bulan November, saya dan beberapa teman guru melakukan bakti sosial dengan cara mengumpulkan buku, lalu mendonasikannya.
Bakti sosial itu pun kami gelar sebagai perayaan sederhana kelulusan teman-teman yang mengambil program magister (S-2) pendidikan. Selain mendonasikan buku, kami juga memasang rak-rak agar buku dan beragam bacaan di sana lebih tertata. Kami juga mengundang masyarakat setempat, kebanyakan anak-anak, melakukan pembacaan nyaring.
Lokasi tempat tinggal sang guru dekat dengan tempat berkemah, Lahangan Sweet. Pak Wayan kadang mengajak anak-anak untuk membaca buku di sana. Dia juga menghabiskan banyak waktu untuk membaca cerita, menulis karyanya di bawah pohon juwet di Lahangan Sweet.
Saat ini, mungkin saja profesi guru adalah cita-cita banyak orang. Kini, dengan adanya sertifikasi guru, tak sedikit orang berlomba-lomba menjadi guru. Kesejahteraan dan masa depan jadi lebih terjamin.
Namun, tak jarang pula, jurusan pendidikan menjadi pelarian seseorang karena tidak diterima di pilihan utama. Namun, apa pun alasannya, ketika sudah menjadi guru, maka tugas itu harus dilakoni. Tugas pokok dan fungsinya adalah mendidik, agar anak memahami berbagai ilmu pengetahuan.
Ketika mendidik, sebenarnya guru itu telah berbagi. Seorang guru ingin agar orang lain yang ada di sekitarnya mendapatkan manfaat dari ilmu, kecakapan, atau pengetahuan yang dimilikinya. Bagi seorang guru, berbagi adalah kewajiban. Dengan berbagi, sejatinya pengetahuan yang dimiliki guru tidak akan hilang, bahkan akan semakin bertumbuh.
Berbagi bisa dikatakan sebagai bagian dari berderma. Mengutip pernyataan Jorge Moll (2006), ketika seseorang memberikan derma dan kebaikan, tercipta efek pendar yang hangat. Berbagi kebaikan dapat mengaktifkan saraf kenikmatan, koneksi sosial, dan kepercayaan positif pada otak manusia.
Pak Wayan pun demikian. Dia sosok guru yang suka berbagi. Di sekolah, kewajibannya berbagi pengetahuan telah dipenuhi. Namun, dia tak berhenti sampai di situ. Di luar sekolah, dengan menyediakan fasilitas membaca, dia menikmati apa yang tampak di depannya: melihat anak-anak berkumpul, membaca, atau bercerita tentang buku-buku yang tersedia.
Kesediaan Pak Wayan untuk berbagi menunjukkan bahwa dia adalah guru yang tidak biasa, out of the box. Panggilan sebagai guru sudah mengurat akar dalam dirinya. Apa pun yang dia lakukan lahir dari semangat untuk mencerdaskan orang-orang di sekitarnya. Hal inilah yang mestinya menjadi cermin bagi guru-guru muda: egoisme dan sikap individualistis mesti dikikis.
Pada momentum Hari Guru ini pun kita selaku para guru dapat merenungi kembali pekerjaan yang selama ini telah kita jalani dan hidupi. Apakah itu hanya demi membuat kita tampak baik di mata masyarakat, bahwa kita memiliki pekerjaan sebagai guru, tidak dicap pengangguran? Atau, lewat pekerjaan itu kita sungguh-sungguh berupaya mengerahkan semua hasrat dan kecintaan kita dalam pendidikan untuk membuat siswa cerdas, berkarakter, dan siap menghadapi masa depan?
Berbagai hasil penelitian menyatakan bahwa membaca buku cerita atau sastra, dapat mengasah empati. Seperti yang diungkapkan psikolog David Comer Kidd dan Emanuele Castano (2013) bahwa penggemar bacaan fiksi memiliki tingkat empati lebih tinggi. Empati ini muncul karena pembaca mampu merasakan koneksi karakter pada cerita yang secara tak langsung melatih diri untuk memahami orang di sekitar.
Pak Wayan adalah orang yang hidup bersama sastra. Dia membaca dan menulis sastra. Menulis sastra baginya bukan untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Beliau tidak menggantungkan hidup dari royalti buku-buku yang ditulisnya. Justru, kesukaannya pada sastra itulah yang membuat dia mampu menjadi sosok yang peduli dengan keadaan di sekitarnya, menjadi penggagas taman baca. Kecintaannya kepada generasi muda ditunjukkan dengan mengajak anak-anak membaca. Banyak hal yang dapat diperoleh dari membaca. Selain pengetahuan, buku cerita akan memperkaya imajinasi. Imajinasi menjadikan anak untuk berpikir kritis, akibat munculnya rasa penasaran dari cerita yang dibaca.
Selain itu, membaca buku pun mampu menghaluskan perasaan dan menumbuhkan budi pekerti. Nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah karya sastra secara tidak sadar akan meresap dan merekonstruksi sikap dan kepribadian. Rekonstruksi bawah sadar ini akan membuat anak menjadi lebih mampu memahami orang lain. Dalam mendidik, anak-anak mestinya tidak hanya dilatih untuk makin cerdas secara pengetahuan. Mereka juga perlu dilatih berempati. Empati merupakan poin esensial dalam hubungan sosial. Kehadiran guru yang mampu menumbuhkan jiwa yang penuh empati ini merupakan harapan bagi bangsa ini. Di masa depan, teknologi akan diutamakan dalam banyak hal. Mesin akan menggantikan peran manusia pada bidang pekerjaan tertentu. Tetapi, peran guru sebagai pendidik hati dan perilaku tidak akan terganti.
Bangsa ini membutuhkan sosok guru sebagai teladan, agent of change yang mewariskan nilai-nilai kebaikan dan keluhuran budi pekerti. Guru mesti menghidupi pendidikan, tidak hanya menumpang hidup dari pendidikan. Guru mesti memiliki jiwa untuk berbagi, tidak sekadar mementingkan diri sendiri. Selamat Hari Guru.
Penulis, guru tinggal di Bali