Viraguna Bagoes Oka. (BP/dok)

Oleh Viraguna Bagoes Oka

Tepat 30 tahun berlalu sejak 1990 saat mulai  bangkitnya pariwisata Bali secara pelan dan pasti, Bali tambah digandrungi wisatawan mancanegara dengan julukan “Bali the island of God”. Dalam perkembangannya, pascakerusuhan etnis tahun 1998 telah menyebabkan terjadinya migrasi masyarakat keturunan secara masif dari berbagai daerah di Indonesia dan memilih Bali sebagai tujuan utama untuk mengadu nasib untuk hidup damai karena menganggap masyarakat Bali yang terkenal welcome dan penuh keramahtamahan terhadap krama tamiu (pendatang) sesuai adat istiadat dan budayanya yang adiluhung.

Seiring dengan migrasi yang terjadi ke Bali sejak tahun 1998 tersebut, telah memberi dampak terhadap perekonomian Bali sehingga dunia usaha Bali berkembang baik di bidang pariwisata, perdagangan barang dan jasa serta sarana pendukungnya tumbuh lebih pesat. Puncak dari perkembangan ekonomi Bali terjadi pada era tahun 2008-2015 (terutama pascakrisis mortgage 2008 di Eropa) yang berdampak masifnya investor mancanegara datang menyerbu Bali banyak pula yang berbisnis dan menetap di Bali. Pada era tersebut Bali benar-benar telah menjelma menjadi branding/magnit dunia.

Tidak saja untuk pariwisata (wisman dan wisdom), namun juga untuk tujuan investasi, bisnis life style, perdagangan barang/jasa, bisnis spekulasi tanah/properti hingga bisnis untuk tujuan pencucian uang (money laundering) atas hasil korupsi yang sulit terbendung berikut bisnis turunannya (saat itu Bali tidak punya blue print tata ruang dan infrastruktur serta visi Bali jangka panjang).

Pada era ini, puncak kejayaan pariwisata dan perekonomian/bisnis di Bali juga ditandai dengan pertumbuhan ekonomi Bali selalu moncreng dan tertinggi yaitu tercatat 8-9% (di atas nasional 6-6,5%) dibandingkan daerah-daerah lainnya di Indonesia.

Pascaera tersebut hingga 2018, mulailah munculnya tanda-tanda kejenuhan dan melesunya perekonomian Bali, yaitu dimulai pada awal tahun 2017 ditandai oleh ancaman krisis global dan meningkatnya ketegangan ekonomi dan perang dagang antara China dan Amerika 2018-2019. Dan puncaknya krisis dan depresi datang pada saat datangnya bencana pandemi Covid-19 yang berawal dari China dan menyebar cepat ke seluruh dunia pada akhir 2019 yang berlangsung dan masih berlanjut hingga kini.

Baca juga:  Ekonomi Bali Pascakebijakan Bebas Karantina, Pulih Lebih Cepat Tapi Belum Normal

Siapkan ekonomi Bali menyongsong era normal baru tahun 2021?

Memperhatikan kilas balik perekonomian Bali dalam kurun waktu 30 tahun lalu, antara lain yang telah membuat perekonomian Bali terlanjur terbiasa pada “zona nyaman” dengan pertumbuhan ekonomi yang selalu di atas pertumbuhan ekonomi nasional, yang telah membuat masyarakat dan pelaku usaha Bali tidak siap dan sangat terpukul dalam menghadapi datangnya krisis multidimensi ini, dan telah membuat industri pariwisata Bali dan turunannya terpuruk paling dalam dibanding daerah lainnya di Indonesia. Oleh karena itu, di era normal baru tahun 2021 ini, apakah Bali siap untuk menghadapinya?

Sebagaimana diketahui bahwa selama tahun 2020 telah  terjadi stagnasi/mati surinya perekonomian Bali. Kegiatan perekonomian/dunia usaha Bali baik dari sisi permintaan (demand side) maupun dari sisi penawaran (supply side) telah berada pada tahap mati suri akibat pandemi Covid-19 yang penyebarannya berkepanjangan penuh ketidakpastian. Dari demand side, tidak terjadi permintaan pasar yang wajar (daya beli turun drastis) akibat banyakya PHK (70-80% dirumahkan) dan fiscal policy dalam goverment spending (BLT dan safety net) yang terhambat (tidak berjalan efektif karena permasalahan birokrasi), sementara di sisi penawaran (produksi dunia usaha) yang mengalami hambatan sistemik antara lain karena terbatasnya likuiditas dan ancaman kredit macet, sementara dunia keuangan perbankan enggan menyalurkan kredit (karena masih fokus restrukturisasi kredit bermasalah) walau suku bunga acuan BI telah turun ke angka 3,75%. Selain itu, monetary policy Bank Setral tidak bisa direspons dunia usaha (in sensitive) terhadap penurunan suku bunga acuan tersebut.

Baca juga:  "Grand Design" Bali Pascapandemi COVID-19

Selain itu, dalam perkembangan ekonomi nasional saat ini, dukungan APBN 2021 yang masih defisit yang berada di kisaran 5,80% dari PDB dan prediksi 2021 di angka 5,70%. Di lain pihak, kebijakan strategis pemerintah secara substantif juga belum berpihak kepada sektor pariwisata sebagaimana tercermin dalam rencana APBN pemerintah tahun 2021 yang lebih diprioritaskan ke sektor pendidikan (Rp 550 triliun), kesehatan (Rp 169,7 triliun), perlindungan sosial (Rp 421 trilun), infrastruktur Rp 413,8 triliun, ketahanan pangan Rp 104,2 triliun) dan pariwisata hanya mendapat porsi sebesar Rp 15,7 triliun atau 8% dari APBN 2021. Kondisi APBN 2021 ini sangat tidak menguntungkan bagi prospek perekonomian Bali yang masih sangat tergantung pada sektor pariwisatanya.

Memperhatikan dukungan dan perhatian pemerintah untuk sektor pariwisata masih rendah dalam APBN 2021, tercermin pada sektor pariwisata masuk dalam urutan ke 6 (setelah prioritas pada sektor pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, infrastruktur dan ketahanan pangan). Dengan demikian, maka ekonomi nasional terutama Bali yang sangat tergantung pada sektor pariwisata (dengan alokasi dana anggaran yang dialokasikan hanya sebesar Rp 15,7 triliun atau 7,5% pada sektor pariwisata seluruh Indonesia), maka dapat dipastikan bahwa ekonomi Bali tahun 2021 ini tidak akan banyak tertolong oleh APBN dan berpotensi tetap terpuruk dan terancam benyah latig.

Selain itu, nampaknya upaya pemerintah pusat dan lokal juga banyak terkendala oleh birokrasi dan euforia politik kebablasan serta mindset serta perilaku dunia usaha yang tidak siap beradaptasi (apalagi kepastian penerapan vaksin yang masih berpolemik) di era normal baru, sehingga menyebabkan Bali dalam satu sampai dengan dua tahun ke depan akan berpotensi paling terpuruk menerima dampaknya dari pandemi dan krisis/depresi ekonomi yang terjadi dibandingkan wilayah lain di Indonesia .

Di tengah permasalahan dan ancaman/tantangan pandemi dan depresi ekonomi/terpuruknya industri pariwisata Bali saat ini, namun masih terdapat celah/peluang dan harapan bagi Bali untuk bisa keluar dari ancaman keterpurukan, antara lain dengan mewujudkan atau  mengupayakan hal hal sebagai berikut:

Baca juga:  Gerakan Ekonomi Hindu?

Pertama, mengupayakan kepemimpinan Bali di semua strata (gubernur, bupati, wali kota, jajaran di bawahnya serta tokoh masyarakatnya) bisa solid, bersatu padu, fokus untuk mengatasi depresi ekonomi Bali. Atau minimal gubernur, bupati, wali kota secara bersama-sama tampil di depan publik masyarakat Bali untuk bisa memberi inspirasi dan contoh nyata yang berkesinambungan bahwa kepemimpinan Bali sungguh-sungguh komit, ikut memberikan keteladanan yang konsisten dan konkrit terutama kepada masyarakat krama Bali di tingkat bawah dan yang paling terpuruk untuk bisa ikut serta mendukung/mewujudkan Bali Bangkit.

Kedua, menciptakan birokrasi pemerintahan dan tata kelola yang bersih, efisien, dan kredibel (good governance) yang berorientasi kepada hasil yang produktif serta agar mampu mengoptimalkan sentra-sentra usaha milik pemprov, pemda dan pemkot yang lebih sehat berorientasi kepada kemajuan Bali yang nyata berbasis transparansi, akuntabilitas, bertanggung jawab independen dan terpercaya (trusted).

Ketiga, mewujudkan budaya kerja gotong royong, etos kerja yang produktif, usaha kreatif penuh gairah dan inisiatif (mulai dari diri sendiri, mulai dari lingkungan dan mulai dari sekarang) dengan memanfaatkan potensi lokal yang ada untuk bisa menciptakan produk baru dan lapangan kerja baru sehingga menumbuhkan dan menggerakkan sisi permintaan baru (demand side). Dengan bergeraknya sisi permintaan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi lokal, maka sisi penawaran (demand side) akan mulai pula bisa bergerak karena dunia usaha mulai tumbuh mengikuti demand side, sehingga lembaga keuangan/perbankan mulai confidence untuk menyalurkan kreditnya kepada usaha produktif/bankable yang pada gilirannya investasi akan bisa tampil sebagai panglima penggerak ekonomi Bali yang multiindustri atau tidak hanya sektor pariwisata semata.

Penulis pemerhati ekonomi, keuangan dan perbankan

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *