Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Gde Satrya

Wabah Covid-19 yang mengglobal menantang perguruan tinggi untuk menjalankan dharma penelitian. Banyak aspek yang terdampak dari virus ini, selain aspek medis, virus ini menghantam banyak sendi kehidupan.

Sektor pariwisata dan segala aspek yang berkaitan (transportasi, akomodasi, destinasi, ritel) yang paling banyak mendapat pukulan berat. Di samping itu, aspek sosial menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara memunculkan aneka persoalan, mulai panic buying, disintegrasi sosial, meningkatkan stres, termasuk perilaku memanfaatkan waktu libur sekolah bukan untuk social distancing melainkan justru berlibur.

Perilaku dan fenomena sosial ini menjadi cerminan yang tak kalah peliknya dibandingkan penurunan kurs rupiah terhadap dolar AS dan turunnya devisa dari sektor pariwisata. Tentu saja, persoalan / permasalahan penelitian yang riil di masyarakat berpeluang untuk memberikan kontribusi yang khas dan unggul di kehidupan.

Dalam konteks hilirisasi penelitian, sekiranya ‘badai’ Covid-19 ini telah berlalu, akan menjadi pengalaman dan pelajaran yang berharga bagi bangsa untuk tumbuh semakin kuat dan berkembang. Hilirisasi penelitian dirupakan melalui pengabdian kepada masyarakat, melalui metode, produk maupun temuan yang dapat memperbaiki dan meningkatkan mutu kehidupan.

Teringat pesan sekaligus pencerahan cendekiawan mendiang Prof. Soetandyo Wignjosoebroto dalam sebuah pertemuan dengan para dosen yunior di Kopertis Wilayah VII Jawa Timur beberapa tahun silam. Menurut Prof. Tandyo, para scholaria sebetulnya meneruskan pekerjaan kaum biarawan/biarawati yang mengajarkan moral dan filsafat hidup yang bersumber dari Tuhan.

Baca juga:  Mengurai Kemacetan di Bali

Bedanya, sebagai guru yang mendakwahkan ilmu, ada perbedaan mengenai konten yang diajarkan di biara dan apa yang diajarkan di kampus. Para scholaria mengajarkan temuan-temuannya tentang rahasia alam semesta dan seterusnya juga tentang bagaimana techne untuk mengontrol dan memanipulasinya untuk kepentingan kemanusiaan.

Apabila para biarawan mencari dalam renungannya untuk menemukan ‘apa yang baik (etis) dan apa yang indah (estetis)’ dan kemudian mengajarkannya, para scholaria et magistroria bekerja dengan segenap indra dan akal pikirannya untuk menemukan ‘apa yang sebetulnya terjadi (deskripsi) dan apa yang sebetulnya merupakan sebab yang akan menyebabkan terjadinya akibat (eksplanasi)’ dengan paparan dan penjelasan yang betul-betul masuk akal (logis).

Kedekatan antara perguruan tinggi dengan masyarakat perlu kian dibangun menyikapi wabah Covid-19. Dalam situasi kehidupan normal, ‘pendampingan’ perguruan tinggi dalam roda pemerintahan telah digagas sejumlah kepala daerah, salah satunya Surabaya.

Atas nama Pemkot Surabaya, Wali Kota Surabaya membuat kesepakatan bersama dengan Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah VII Jawa Timur pada tahun 2011. Kesepakatan itu sebagai dasar melakukan kerja sama yang sinergis dalam rangka membuat program kebijakan mengatasi masalah-masalah perkotaan dan untuk meningkatkan pembangunan di Surabaya.

Baca juga:  Belajar di Rumah Diperpanjang, Kampus di Bali Belum Terpengaruh

Objek kerja sama meliputi bidang peningkatan SDM, pariwisata, seni dan budaya, khususnya seni tari dan karawitan, penanggulangan narkoba, dan bidang-bidang lain sesuai dengan kebutuhan yang dipandang relevan oleh kedua pihak. Pertimbangan akademis, dan bahkan dalam penerapannya di lapangan menggunakan jasa para akademisi, dirasakan sebagai pilihan yang tepat, karena tentu saja menggunakan pertimbangan yang ilmiah.

Mengacu pada konsep Myelin (Rhenald Kasali, 2010), kolaborasi perguruan tinggi dengan pemerintahan, industri dan masyarakat (pentahelix concept), menggambarkan kesatuan antara muscle memory yang terletak di seluruh jaringan otot manusia yang terbentuk karena latihan yang terus menerus dan secara mendalam dan brain memory yang terbentuk dari pengetahuan.

Gabungan keduanya terbukti berhasil membangun kehidupan bersama yang kian berkualitas, berdaya saing, berkelanjutan dan memberi kebahagiaan bagi umat manusia. Banyak kepala daerah dan komunitas masyarakat, apalagi sektor industri, di antaranya, melalui gesture, yang menjadi model keberhasilan kolaborasi konsep Pentahelix dengan riset perguruan tinggi sebagai backbone-nya, menunjukkan kecepatan, spontanitas, sikap action oriented, inisiatif, responsif, disiplin, intrapreneuring.

Baca juga:  Pemerintah Luncurkan KIP Kuliah Merdeka, Ini Besaran Bantuannya

Di berbagai kesempatan kerap kali diingatkan agar perguruan tinggi down to earth, sebagai antitesa dari eksklusivitas bak menara gading. Perwujudan kepekaan sosial itulah yang mendorong perguruan tinggi untuk senantiasa berkontribusi nyata di kehidupan, tidak sebatas mencerdaskan anak bangsa di perkuliahan, tetapi dalam setiap aspek kehidupan yang menjadi kapasitas lembaga ini.

Setiap perguruan tinggi bercita-cita untuk menjadi perguruan tinggi berkelas dunia. Altbach (2005) mendefinisikan world class university sebagai ranking among the foremost in the world; of an international standard of excellence. Keunggulan atau excellence menjadi kata kunci WCU yang mencakup riset dan publikasi internasional, tenaga pengajar berkualifikasi tinggi, kebebasan akademik dan kegairahan intelektual, manajemen dan governance, fasilitas dan pendanaan akademis yang memadai, serta jaringan internasional.

Kontribusi perguruan tinggi di masyarakat melalui pendidikan, riset dan pengabdian masyakat, termasuk saran ke pemerintahan, dirasakan sebagai tantangan menguji relevansi ilmu pengetahuan yang dimiliki serta kapasitas personal para akademisi. Wabah Covid-19 menjadi peluang perguruan tinggi untuk berdarma bakti melalui riset unggulan yang mampu menjawab dan menjadi rujukan bagi kehidupan yang lebih baik.

Penulis dosen Hotel & Tourism Business, Fakultas Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *