Sampah kayu-kayu dan ranting berbagai ukuran yang terseret saat banjir bandang di Sungai Pulukan akhir pekan lalu. (BP/Olo)

NEGARA, BALIPOST.com – Banjir bandang yang terjadi di beberapa alur sungai besar di Jembrana hampir setiap tahun terjadi. Terhitung selama tiga tahun terakhir, sudah ada tiga kali banjir bandang yang berurutan baik di Kecamatan Mendoyo dan Kecamatan Pekutatan.

Data yang dihimpun Balipost, diawali pada akhir tahun 2018 di alur Sungai Bilukpoh, Penyaringan, banjir bandang menyapu jembatan dan sejumlah rumah. Berlanjut 2020, banjir bandang merembet ke Timur, tepatnya di alur Sungai Yehembang. Dampaknya pada bagian hilir di Desa Yehembang, Yehembang Kauh dan Yehembang Kangin.

Dan pada awal 2021 ini, banjir bandang melanda alur Sungai Yeh Satang, Medewi dan Sungai Pulukan di Kecamatan Pekutatan. Dampaknya juga sangat merugikan bagi warga terutama di permukiman sekitar sungai. Dalam setiap air bah dari hulu itu juga disertai dengan sampah-sampah ranting dan batang yang jumlahnya sangat banyak.

Yang lebih miris, di beberapa pusat hulu alur Sungai itu merupakan hutan-hutan lindung yang mendapat Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) yang pengelolannya melibatkan masyarakat.

Baca juga:  SIS Hadirkan New Ertiga Diesel Hybrid

Putu Bawa, salah satu pelaksana program kelestarian hutan di Jembrana, mengungkapkan sejumlah bencana banjir bandang yang terjadi di Jembrana ini harus sudah pada posisi titik mencari solusi. Harus diakui rentetan kejadian banjir bandang yang melanda, harus ditelusuri dengan pasti berbasis data. Tidak hanya berdasarkan asumsi. Bawa yang saat ini mendirikan Hutan Belajar di Yehembang Kauh menilai untuk mencari permasalahan mesti ada investigasi menyeluruh.

“Kita lihat jalur sungainya, kita lihat hutannya dan kita cek curah hujannya. Minimal dari ketiga komponen tersebut kita bisa simpulkan apa penyebab banjir kemarin. Kalau melihat kondisi hutannya kita bisa lihat secara langsung atau melalui citra satelit,” tandasnya.
Dengan berbasis data itu, akan muncul akar masalah dan segera mencari solusi yang tepat. Memang, di alur Sungai Yeh Satang, Sungai Pulukan dan Pekutatan itu hulu sungai dari hutan lindung yang di antaranya mendapat HPHD. Desa Yeh Sumbul 210 hektar , Medewi 199 ha dan Pulukan 201 hektar diberikan HPHD. Tetapi apakah itu berjalan efektif atau tidak, mesti dengan basis data. Tidak hanya sekedar anggapan, bahwa di wilayah hutan sudah gundul.

Baca juga:  Banjir di Perkotaan, Diduga Ini Pemicunya

Wakil Ketua DPRD Jembrana, I Wayan Suardika, mengatakan terkait HPHD, di Jembrana ada 20 kelompok atau wilayah yang sudah mendapatkan HPHD. Sistemnya ada yang dijalankan kelompok masyarakat dan ada yang dijalankan langsung desa melalui BUMDEs. Selain itu ada beberapa hutan wilayah yang belum mendapatkan HPHD. “Menurut saya, semua yang mengajukan itu diberikan HPHD saja. Sehingga tidak mengambang dan dimanfaatkan secara liar,” terang Suardika.

Peran pemerintah daerah juga harus lebih dalam. Sebab selama ini kewenangan ada di KPH Bali Barat sangat terbatas personil. Dari sekitar 16 orang petugas KPH, harus melakukan pengawasan seluas 38 ribu hektar hutan lindung di Jembrana. Dan untuk HPHD selama ini ada pengawasan atau pendampingan secara intens. Dengan jumlah personil yang terbatas itu, pasti kewalahan. Padahal sesuai amanat Peraturan Menteri Kehutatan dan Lingkungan Hidup nomor 83 tahun 2016, harus disiapkan pendamping.

Baca juga:  Warga Meninggal Karena COVID-19 Terus Bertambah, Terbanyak Ada di Dua Zona Ini

“Disinilah perlunya di Kabupaten Jembrana yang memiliki luas hutan lindung yang cukup luas, berperan juga untuk melakukan pengawasan. Apakah itu di Dinas Lingkungan Hidup atau yang lain. Kami usulkan agar nantinya di Kebun Raya Jagatnata ini menjadi sentral,“ terangnya. Sehingga di Kabupaten bisa menyediakan pendamping yang secara intens melakukan program HPHD itu.

Sebab di beberapa hutan yang sudah HPHD dan berhasil menjaga kelestarian tidak terlepas dari pendampingan yang bagus. Saat ini, bukan lagi jamannya melakukan melakukan penegakan hukum. Tetapi bagaimana pengelolaan hutan melibatkan masyarakat untuk menjaga kelestarian. “Kami yakin kalau didampingi dengan benar, masyarakat tidak akan merusak hutan. Ini karena ulah oknum tidak bertanggungjawab. Mafia, ada masyarakat yang kerjanya merabas hutan lalu dijual. Dan ini tidak dilakukan semua masyarakat,” tegas Suardika.

Kejadian di Sungai Pulukan merupakan yang kesekiankalinya terjadi dan menjadi catatan penting untuk dicarikan solusi nanti. Sehingga bencana banjir bandang yang hampir setiap tahun terjadi ini tidak terulang. (Surya Dharma/Balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *