Oleh Albertha Dwi Setyorini dan Ari Yuniarso

Sebagai daerah yang sangat tergantung pada kepariwisataan, Bali mengalami keterpurukan setelah pandemi COVID-19 melanda sejak awal 2020 sampai dengan saat ini. Jumlah turis terus menurun bahkan nyaris tidak ada sama sekali yang berkunjung, terlebih setelah adanya penutupan penerbangan komersial internasional dan diberlakukannya pembatasan bersyarat protokol kesehatan bagi penerbangan jalur domestik, jalur darat dan laut untuk mencegah meluasnya penularan COVID-19.

Ketika pandemi menghantam Bali dan sektor pariwisatanya seakan mati suri, hal ini tentu sangat berdampak bagi pulau Bali yang perputaran ekonominya bergantung pada pariwisata, efek domino pun terjadi dari menurunnya wisatawan mengakibatkan berhentinya roda perputaran perekonomian masyarakat Bali karena banyaknya masyarakat yang kehilangan sumber pendapatan dari sektor pariwisata. Wacana lama pun kembali muncul, Bali sebaiknya kembali ke pertanian sebagai penopang utama pembangunan ekonominya.

Selama ini, Bali dianggap terlalu menomorsatukan pariwisata dan sebaliknya, melupakan sektor pertanian sebagai akarnya. Bagi Dewa Alit, 43 tahun, yang sebelumnya bekerja sebagai guide senior, sekarang layaknya main ayunan tembak (sling shot), sangat menyenangkan, tetapi juga rentan. Posisinya sangat berubah cepat, naik turun.

Setelah sempat merasakan kejayaan bekerja di sektor pariwisata, sekarang Dewa Alit panggilan akrabnya, sedang menghadapi situasi sulit akibat pandemi COVID-19. Begitu pariwisata Bali menunjukkan gejala akan mati suri sejak awal Maret 2020, Dewa Alit dalam upaya untuk mempertahankan perekonomian keluarga, teringat kembali akan ladang pertanian yang dimilikinya.

Dewa Alit memang lahir dan besar di salah satu pusat produksi bunga di Bali. Rumahnya di Dusun Sarimertha, Desa Negari, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung, dikelilingi oleh areal perkebunan bunga marigold yang terhampar luas dan sangat indah dilihat mata.

Baca juga:  Konservasi Lingkungan Berbasis Sosio Kultural

Ladang yang luas ini ditumbuhi oleh bunga-bunga marigold yang berwarna kuning keemasan di sela-sela hijaunya dedaunan. Biasanya pada akhir pekan banyak wisatawan yang berkunjung kesini untuk sekedar berswafoto berlatar belakang hamparan kebun bunga marigold luar biasa cantik dan instagramable sekedar untuk koleksi pribadi, ataupun akan diunggah di media sosial.

Bunga marigold atau calindula yang memiliki nama latin Tagetes erecta ini adalah bunga yang berasal dari Amerika Tengah dan Meksiko. Marigold mempunyai arti “tiap sepanjang bulan” dan alasan dari namanya inilah bunga ini selalu tumbuh tiap awal bulan.

Pada musim panas, bunga marigold ini tumbuh nonstop dan jarang menemui kendala. Di Bali sendiri lebih dikenal dengan nama gemitir atau gumitir.

Bunga marigold ini memiliki ciri-ciri yang khas, bunganya berbentuk bulat dengan kelopak yang menumpuk, terdiri berbagai macam varietas bahkan ada yang menyerupai bunga matahari, warna bunga marigold tersebut juga beragam ada yang berwarna orange, kuning, marun, warna emas, bahkan ada yang berwarna campuran. Bunga gemitir atau marigold adalah bunga biasa saja, seperti juga pada umumnya bunga lainnya, tetapi akan terlihat berbeda jika tengah berada di ladang bunga tersebut.

Hamparan bunga yang kuning keemasan dengan batang dan daunnya yang terlihat hijau pekat, berpadu indah dan serasi serta tampil cantik, menyuguhkan pemandangan taman di alam bebas yang akan membuat decak kagum. Para petani bunga di Bali membudidayakan bunga marigold karena bunga ini memiliki masa panen yang cepat dan harga jual yang lebih baik.

Baca juga:  Membangun Sistem Pendidikan Antikorupsi

Bunga marigold ini digunakan dalam rangkaian upacara pemujaan keagamaan umat Hindu Bali ataupun dalam sesajen yang disatukan bersama beras dan dupa sehingga membuatnya menjadi paduan yang cantik dan sempurna, terkadang digunakan juga sebagai kalungan bunga, menyambut tamu atau wisatawan yang datang.

Pada pertengahan Desember 2020 lalu, musim panen bunga marigold telah tiba. Dewa Alit dengan cekatan menghubungkan para petani bunga di desanya dengan pembeli yang berada di kota melalui teknologi yang dulu juga membesarkannya di bisnis pariwisata, internet.

Menurutnya, selama ini hasil pertanian tersebut dijual kepada tengkulak. Akibatnya, petani bunga hanya mendapatkan sedikit keuntungan.

Dia pun berusaha mempertemukan langsung petani di tingkat produksi dengan konsumen di tingkat konsumsi melalui aplikasi. “Selain lewat aplikasi, konsumen juga bisa berbelanja lewat, Facebook, Instagram, Whatsapp atau Messenger,” lanjutnya berpromosi.

Dunia digital yang semakin berkembang membuat para pelaku pasar, baik produsen maupun konsumen beramai-ramai memilih menjual dan berbelanja di toko online melalui media internet karena dinilai lebih praktis, aman, dan efisien. Pola pelaku usaha ini dikenal dengan istilah e-commerce.

Menggunakan e-commerce dalam melakukan transaksi bisnis akan memberikan kemudahan bagi pelaku usaha dan konsumen. Salah satu alasan mengapa transaksi melalui e-commerce lebih banyak diminati daripada pola perdagangan secara konvensional diantaranya adalah dengan menggunakan e-commerce transaksi dapat dilakukan dengan cepat, mudah, dan biaya yang lebih rendah.

Baca juga:  Hari Ibu, Bupati Gianyar Wujudkan Mimpi Almarhum Istri

Tentu saja, penjualan melalui media e-commerce juga akan menguntungkan bagi konsumen untuk efisiensi ekonomi.
Pada masa pandemi seperti sekarang ini, pemanfaatan e-commerce yang memiliki jaringan luas, sehingga memudahkan orang untuk mengaksesnya tanpa adanya kontak fisik antara user/konsumen dengan pelaku usaha.

Para pelaku usaha dapat mengatasi jarak secara fisik karena proses penjualan dan tawar-menawar dapat dilakukan melalui media internet. Para pelaku usahapun dapat dengan mudah menawarkan produk kepada konsumen hanya dengan membuka layanan e-commerce melalui komputer ataupun perangkat mobile (smartphone, handphone, tablet) menggunakan koneksi internet dan web browser untuk memasukkan data dan informasi produk, harga produk, foto produk, kontak yang dapat dihubungi, dan lokasi fisik pelaku usaha berada, sehingga memberikan manfaat juga kepada konsumen, karena konsumen dapat dengan mudah mencari barang atau jasa yang dibutuhkan melalui komputer atau perangkat mobile dan koneksi internet.

Dengan bertemunya langsung antara produsen dan konsumen pada tingkat konsumsi, justru mendapatkan harga yang lebih baik, praktis, aman, dan nyaman. “Dari sisi pendapatan memang tidak sebesar pariwisata, tetapi bertani dan menjual secara online lebih kuat pondasinya, menjadikan harapan yang lebih baik untuk bertahan hidup untuk saat ini dan bisa menjadi peluang masa depan masyarakat Bali, khususnya para petani bunga marigold,” ujar Dewa Alit.

Penulis : Mahasiswa Program Doktor, Konsentrasi Service Management, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Trisakti

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *