Oleh Dewa Ayu Eka S.
Di tengah ramainya pemberitaan tentang mulainya pelaksanaan vaksinasi Covid-19, dunia maya dihebohkan oleh berita seorang asing bernama Kristen Gray yang mengajak orang-orang asing lainnya untuk pindah dan menetap di Bali dengan alasan biaya hidup yang murah. Beritanya menjadi viral karena cuitannya dilakukan di tengah penutupan pintu masuk untuk warga negara asing (WNA) ke Indonesia sejak 1 Januari 2021.
Cerita viral tersebut memang berakhir dengan dideportasinya Kristen Gray dan pasangannya dari Indonesia. Namun kisah yang terlanjur viral ini masih menyisakan pertanyaan, “murahkah biaya hidup di Bali?”.
Dalam 5 tahun terakhir Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) mencatat rata-rata pengeluaran per orang per bulan penduduk Bali terus mengalami kenaikan. Di tahun 2016 setiap penduduk Bali setiap bulannya rata-rata mengeluarkan Rp 1.099.561,00 untuk mengonsumsi makanan dan bukan makanan.
Di tahun 2020 naik sampai 37 persen menjadi Rp 1.509.666,00. Data tahun 2020 tersebut pencatatannya memang dilakukan pada bulan Maret 2020 merujuk pada kondisi pandemi Covid-19 yang belum begitu dirasakan. Sebagai catatan, besaran rupiah untuk konsumsi setiap penduduk ini hanya mencakup komoditas yang benar-benar dikonsumsi oleh rumah tangga.
Misal, jika rumah tangga membeli 2 kg beras dalam referensi waktu pencacahan, yang dikonsumsi sendiri hanya 1 kg, dan sisanya diberikan ke pihak lain (seperti untuk barang bawaan saat madelokan, diberikan ke orang tua yang berbeda rumah tangga, dan sebagainya), maka yang dicatat hanya yang dikonsumsi oleh seluruh anggota rumah tangga itu saja.
Untuk konsumsi komoditas bukan makanan sedikit berbeda pencatatannya dilihat dari kemasan yang telah dibuka dalam referensi waktu tertentu. Misal, jika rumah tangga baru menggunakan setengah bungkus dari detergen dalam referensi waktu tertentu tersebut, maka pegeluaran konsumsinya adalah satu bungkus detergen. Selanjutnya, pengeluaran konsumsi setiap rumah tangga dibagi sejumlah anggota rumah tangga untuk untuk memperoleh rata-rata pengeluaran per kapita (setiap individu).
Kembali ke besarnya rata-rata pengeluaran setiap penduduk menjadikan Bali masuk ke dalam enam besar provinsi dengan pengeluaran tertinggi di Indonesia. Di tahun 2020, Bali berada di posisi ke-enam provinsi dengan rata-rata pengeluaran per kapita per bulan tertinggi, satu tingkat di bawah Provinsi Banten.
Empat provinsi lain yang berada di atas Banten adalah Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, dan DKI Jakarta (yang tertinggi). Malah di tahun 2019, Bali menempati posisi ke-tujuh provinsi dengan rata-rata pengeluaran per kapita per bulan tertinggi di Indonesia.
Lebih dari lima puluh persen pengeluaran konsumsi penduduk Bali di tahun 2020 diperuntukkan untuk bukan makanan.
Pengeluaran terbesar penduduk Bali adalah untuk perumahan dan fasilitas rumah tangga, yang mengambil 52 persen dari seluruh pengeluaran bukan makanan atau 29 persen dari seluruh pengeluaran konsumsi. Pengeluaran untuk rumah ini mencakup pengeluaran untuk sewa rumah, air, listrik, pengeluaran untuk kendaraan bermotor, bahan bakar, serta untuk telekomunikasi.
Pengeluaran lain yang cukup besar adalah pengeluaran untuk keperluan pesta dan upacara/kenduri, walau tidak mengambil porsi terbesar dalam pengeluaran. Rata-rata pengeluaran untuk keperluan upacara per penduduk per bulan di Bali berbeda cukup signifikan dibanding dengan provinsi lain di Indonesia. Rata-rata pengeluaran/ kapita/bulan untuk keperluan pesta/upacara ini selalu yang tertinggi di Indonesia dalam lebih dari satu dekade terakhir.
Seperti di tahun 2020, rata-rata penduduk Bali mengonsumsi keperluan pesta/ upacara mencapai Rp. 70.128,00, sedangkan DKI Jakarta yang notabene sebagai provinsi dengan rata-rata pengeluaran tertinggi, setiap penduduknya hanya menghabiskan Rp 31.983,00 per bulannya.
Namun kesan berbeda tampaknya dirasakan penduduk yang tinggal di Bali memasuki bulan april tahun 2020. Rilis berita resmi statistik Badan Pusat Statistik Provinsi Bali mencatat, Kota Denpasar mengalami 6 kali deflasi di tahun 2020 masing-masing di bulan April, Mei, Juli, Agustus, September dan Oktober (tahun 2019 hanya 3 kali). Begitu juga dengan Kota Singaraja yang tercatat mengalami 4 kali deflasi masing-masing di bulan April, Mei, Agustus, dan Oktober, lebih banyak dibanding tahun 2019 (3 kali deflasi dalam setahun).
Kota Denpasar dan Kota Singaraja adalah dua kota yang mewakili Bali dalam pencatatan inflasi nasional. Terjadinya deflasi menunjukkan terjadi penurunan harga suatu komoditas/barang/jasa dalam kurun waktu tertentu (dalam hal ini dibandingkan dengan bulan sebelumnya). Dampak pandemi Covid-19 yang sangat keras menghantam Bali diduga telah menyebabkan terjadinya penurunan permintaan akan barang atau jasa di Bali.
Turunnya kunjungan wisatawan yang merupakan sumber penggerak utama perekonomian diduga membuat Bali kehilangan salah satu pasar utama dari produk barang dan jasa yang dihasilkan. Kondisi ini memiliki efek domino yang telah menggerus mata pencaharian sebagian besar masyarakat yang menggantungkan hidup dari gemerlap pariwisata. Bagi sebagian masyarakat Bali yang terdampak, disinyalir menunda pembelian atas barang atau jasa menjadi pilihan paling masuk akal untuk tetap bertahan.
Kisah viral Kristen Gray memang telah berlalu, namun bagi sebagian orang mungkin masih mengusik rasa ingin tahunya. Anggapan biaya hidup di Bali murah bisa saja memiliki makna relatif. Apalagi jika biaya hidup di Bali dibandingkan dengan biaya hidup yang dikeluarkan oleh Kristen Gray di negara asalnya.
Namun terlepas dari itu semua, kondisi Bali saat ini memang bisa saja mencerminkan adanya “diskon” yang dapat dinikmati oleh mereka yang pernah berkunjung sebelumnya. Mulai dari kondisi penurunan harga barang dan jasa serta adanya penawaran potongan harga yang diberikan oleh para pelaku pariwisata di Bali. Dalam kondisi normal (bukan masa pandemi) Bali termasuk ke dalam enam besar provinsi dengan rata-rata pengeluaran penduduk tertinggi untuk per kapita (penduduk) per bulan, ini menjadi pesan bahwa dibanding wilayah lain di Indonesia, biaya hidup di Bali tidak bisa dikatakan murah meskipun juga bukan yang tertinggi.
Penulis, bekerja di Badan Pusat Statistik Provinsi Bali