Kadek Suartaya. (BP/Istimewa)

Oleh Kadek Suartaya

Bulan bahasa Bali menjadi momentum strategis bagi krama Bali untuk lebih akrab dengan budayanya. Bulan bahasa Bali juga membuat kita makin sadar bahwa Bali punya banyak peradaban yang bisa menjadi sesuluh kehidupan. Dalam kesusastraan Bali, misalnya masyarakat Bali mengenal cerita ini dengan tajuk “I Cangak Mati Baan Lobane”.

Di masa lalu, ketika mendongeng masih mentradisi, anak-anak Bali dengan penuh prihatin mengkhawatirkan nasib para ikan yang diterbangkan I Cangak ke balik bukit untuk disantap dengan rakusnya. Sebaliknya ketika tipu daya dari I Cangak terbongkar oleh I Yuyu, anak-anak pendengar satua, berona girang dan senang karena prilaku loba I Cangak menuai karma dari keculasannya.

Ulah dusta I Cangak bukan hanya pernah mesra dalam tradisi mesatua, namun hadir juga dalam Pernik lintas kultural kehidupan masyarakat Bali, terutama dalam beragam ungkapan seni. Bidang seni rupa Bali, misalnya, kerap menampilkan dongeng ini dalam relief-relief bangunan di pura-pura.

Ketika geliat pariwisata Bali berderu pada tahun 1970-an, seni visual tiga dimensi Bali–seperti tampak dalam seni patung, banyak dibuat sebagai benda souvenir yang umumnya menggambarkan figur I Cangak dengan pose mencengkeram ikan di kakinya dan menjepit ikan di mulutnya. Hal yang sama juga tampak pada seni lukis genre klasik dan modern Bali.
Sementara itu, seni tembang (sekar alit) yang bertutur tentang cerita I Cangak disimak cukup luas di tengah masyarakat Bali.

Baca juga:  Menjaga Warisan Peradaban Bali

Kendati seni vokal tradisional Bali, kini tak lagi umum didendangkan masyarakatnya, akan tetapi alunan gaguritan I Cangak yang dikumandangkan melalui rekaman pita kaset—belakangan dalam media rekam cakram, terdengar dalam rangkaian penyelenggaraan upacara-upacara keagamaan. Gaguritan Sang Cangak yang diciptakan sekitar tahun 1970 oleh I Gusti Putu Windya, sastrawan asal Desa Yehembang, Mendoyo, Jembrana, hingga kini terasa asyik didengarkan.

Lewat liukan tembang indah I Nyoman Rede dan pengartos Dewa Aji Wanten, gaguritan yang direkam komersial itu terus dicetak ulang. Kontekstualisasi dalam elaborasi dan illustrasi dari Dewa Aji Wanten terasa awet dan mengena dengan situasi kekinian. Sarat petuah dan juga kadang kocak.

Petuah utama dari pesan moral dongeng I Cangak adalah jangan mudah percaya kepada kesuatu yang belum tentu kebenarannya. Atau selalu waspada dan hati-hati, sebab manisnya madu bisa jadi didalamnya berisi racun. Seperti I Cangak yang berpura-pura menjadi pendeta yang tidak lagi memiliki hasrat dengan segala sesuatu yang bersifat duniawi.

Baca juga:  Menjadi Generasi Paham Budaya

Jualan tipu daya I Cangak kepada ikan-ikan yang lugu adalah guman mantra keagamaan palsu. Diawali dengan menebar ketakutan bahwa kehidupan para ikan terancam bahaya. Setelah ikan-ikan tak merasa tenteram dengan telaga yang dihuninya, I Cangak menawarkan janji-janji sorga, kehidupan gemah ripah, sentosa bermahligai bahagia. Terperdaya oleh kebohongan I Cangak, ikan-ikan yang malang itu dilumat habis tak tersisa hingga ke anak-anaknya.

Sebuah “anjuran” mengatakan: “Jika ingin menguai orang bodoh, bungkuslah sesuatu yang batil dengan agama”. Tingkah polah tengik I Cangak “spiritnya” sebelas duabelas dengan ungkapan tadi. Agaknya, kita perlu bercermin pada dongeng I Cangak, bila melihat fenomena dan carut marut kehidupan berbangsa sekitar dasa warsa belakangan ini.

Betapa agama naik daun jadi dagangan yang laris manis sebagai isu yang menghegemoni memenangkan kontestasi politik demi obsesi merengkuh kekuasaan. Bukan hanya itu, bahkan kobaran radikalisme keagamaan dijadikan senjata ampuh oleh sekelompok oknum dan ormas-ormas tertentu, hendak menelikung Pancasila sebagai dasar negara, untuk digantikan dengan satu sistem kenegaraan atas landasan satu agama, di tanah air tercinta Indonesia yang Berbhineka Tunggal Ika ini.

Baca juga:  Mengajegkan Peradaban Adat dan Budaya Bali

Konyolnya lagi, agama kini juga sungguh menjanjikan dijadikan ladang mengeruk keuntungan pribadi dengan berbagai kepentingan, dari pencitraan diri, tipu menipu, sampai urusan mata pencaharian-ekonomi. Dongeng I Cangak terangkum dalam cerita Tantri, sejenis kisah seribu satu malam yang berasal dari India. Beraneka dongeng yang umumnya diperankan binatang ini memang sarat dengan ajaran etika yang dituturkan Ni Diah Tantri di hadapan Raja Eswaryadala yang bernafsu untuk menidurinya.

Berkat kecerdasan, kecerdikan, serta rentetan dongeng penuh pesona dari Tantri, Sang Raja tercerahkan dan insaf atas birahi liarnya yang setiap malam wajib disuguhkan seorang perawan. Seni pertunjukan Bali, baik kesenian klasik maupun seni pengembangan sudah sering mengeksplorasi cerita Tantri, termasuk I Cangak. Dalang wayang kulit senior Desa Sukawati, Gianyar, I Wayan Wija, sejak 1981 hingga kini masih menampilkan pementasan wayang yang khusus menyuguhkan lakon-lakon cerita Tantri.

Penulis pemerhati seni budaya, dosen ISI Denpasar.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *