DENPASAR, BALIPOST.com – Masa pandemi COVID-19 yang terjadi sejak setahun, juga berdampak pada proses keagamaan di Bali. Seperti beberapa tahapan Hari Nyepi Tahun Baru Caka 1943 di antaranya melasti, pawai ogoh-ogoh, dan maprani.
Pada Nyepi kali ini, kegiatan melasti yang biasanya dilakukan beramai-ramai menuju pantai atau sumber air lainnya, hanya dilakukan dengan ngubeng. Itu pun jumlah pesertanya terbatas.
Kepala Dinas Kebudayaan Kota Denpasar, IGN Mataram, Senin (8/3) mengatakan, pada pandemi kali ini, kegiatan melasti dilakukan dengan cara ngubeng. Meski pun wilayah desa adat tersebut berada di pesisir pantai.
Hal ini dilakukan saat ini masih dalam suasana pandemi COVID-19 serta pelaksanaan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mikro diperpanjang hingga 22 Maret 2021.
Dijelaskan, semua palawatan maupun pratima distanakan di Pura Bale Agung ataupun Pura Desa. “Kami pastikan pelaksanaan melasti yang dilakukan masing-masing desa adat di Kota Denpasar semua ngubeng. Selanjutnya, untuk prosesi nunas tirta ke segara dilaksanakan oleh perwakilan desa adat dengan jumlah terbatas, seperti Jero Mangku, serati, dan beberapa prajuru desa adat.
“Jumlahnya terbatas, hanya Jero Mangku, serati, serta beberapa prajuru adat. Usahakan yang bertugas saja yang ke sana dengan menggunakan protokol kesehatan yang ketat,” imbuhnya.
Sementara bagi krama yang ngaturang soda, cukup dari sanggah kamulan. Dari kembulan tersebut masyarakat ngayat Ida Bhatara. Pelaksanaan ngubeng ini juga berlaku bagi desa adat yang berada di pesisir pantai. “Tetap yang nunas tirta ke segara perwakilan saja. Kalau semua ke pantai kan bukan ngubeng namanya. Harus ketat agar tidak kebablasan nanti jadinya,” katanya.
Dalam pelaksanaan pangerupukan masyarakat melaksanakan prosesi mabuu-buu di rumah masing-masing. Sementara untuk pawai maupun pengarakan ogoh-ogoh ditiadakan. “Tidak ada pengarakan ogoh-ogoh, membunyikan kembang api, mercon, dan lainnya,” katanya. (Asmara Putera/balipost)